BAB - DUA BELAS ( SORA POV )

1211 Words
Episode sebelumnya: Aku juga tidak tahu siapa diriku yang sebenarnya. Tidak ada rasa takut sama sekali dengan apa yang lakukan setiap harinya. Aku yang bisa menahan rasa sakit, dingin, lapar, dan haus. Aku yang bisa menahan pukulan, tamparan, dan tusukan tanpa berteriak. Aku juga bertanya-tanya siapa diriku. Dan ketika orang lain menanyakan itu, aku ingin bertanya balik, pada diriku sendiri. Siapa aku? == "Apa?" Mark menoleh ke arah Stella. Seperti yang aku harapkan, Stella hanya melongok karena merasa di perhatikan. Sedangkan dia langsung mengabaikan keberadaanku dengan cara secepat mungkin mengalihkan pandangannya karena enggan bersitatap denganku. Mungkin juga Stella melongok karena tak mendengarkan perbincangan kami. Anehnya, dia tetap di sini. Padahal dari gelagatnya dia tidak peduli dengan Mark. "BOHONG!" "Terserah. Sekarang kau ingin melompat? Lompatlah,” gertakku. Mark terlihat kebingungan. Ia terus menerus melihat ke bawah lalu melihatku secara bergantian. “Kenapa? takut?” “Jangan menggertakku!” teriaknya. Aku tersenyum menang. “Kenapa banyak anak muda yang suka menyia-nyiakan masa depannya? Apa karena kau tidak memiliki tujuan hidup?” “Bicara apa kau? Tentu saja aku punya!” “Lantas? Kenapa memilih jalan pintas?” Sambil berbicara, aku terus mendekatinya. Dia menyadari taktikku lalu memilih untuk terus mundur di tepi atap, yang hanya memiliki lebar kurang dari setengah meter itu. Suara sirine mulai berbunyi. Langkah orang-orang yang berlari menuju gedung timur semakin mendekat. Tidak ada waktu, bel pelajaran pertama akan dimulai, dan Yoona akan segera melihat ini. Aku tidak ingin dia membicarakan hal ini dengan Bibi Kim. Dia akan terkejut jika aku melakukan sesuatu yang berani ini. Lalu yang paling parah adalah Yian. Pemuda itu pasti akan melontarkan petuahnya lagi. Aku pernah berkelahi dengan beberapa preman pasar. Tentu saja, bibi begitu ketakutan sambil memarahiku. Dia bilang aku adalah seorang wanita. Harus bisa menjauhi kekerasan. Dia juga menyesali bagaimana aku bisa mendapat begitu banyak luka. Bibi Kim bahkan memohon padaku untuk bisa hidup normal seperti kehidupan orang biasa. Menjauhi yang namanya luka seperti yang kudapatkan ketika ia menemukanku pertama kali. Dan hal itu benar-benar bekerja. Aku bisa menikmati hari-hariku dengan santai. Nasihatnya sedikit mengejutkanku. Dia benar. Aku menyadari, setiap luka yang kuterima, setiap goresan dan bekas jahitan akan selamanya berada di tubuhku. Aku telah melupakan semuanya, kenapa aku harus kembali mendapatkan luka-luka itu lagi. Bibi Kim hanya ingin aku terbebas dari hal-hal yang mengerikan yang mungkin pernah kulakukan. Sayangnya, ingatan itu semakin kuat. Aku pikir seiring berjalannya waktu aku bisa melupakannya. Tapi semakin kupaksa malah semakin sering muncul. Niatku untuk menghindari perkelahian malah lebih sering datang di setiap kesempatan. Aku... mulai merasa tidak yakin. Apakah kebebasanku sudah benar? Atau sebenarnya, ada sesuatu yang sebenarnya belum terselesaikan. Sampai tidak ada lagi langkah mundur darinya, aku berlari mendekat. Memeluknya, dan kami jatuh ke lantai. Mark mulai memberontak, tapi aku berhasil menahannya dengan cengkeraman kuatku pada kedua lengannya yang kokoh. “Kau tidak boleh mati! Seberat apapun hidupmu, yakinlah kau masih memiliki kesempatan kedua! Jika kau gagal, masih ada kesempatan ketiga!! Keempat, dan seterusnya. .tidak ada masalah yang terselesaikan hanya karena kamu bunuuh diri! Justru orang yang kau tinggalkan akan mendapat masalah akan tindakanmu itu. " Mark membeku. Stella menganga melihat tindakan dan kata-kataku. Perlahan aku melepaskan cengkeramanku, lalu duduk di depannya. Menghela napas lega saat Mark mulai menangis cecegukan seperti anak kecil. Stella mendekat dan memberikan pukulan keras ke kepalanya. Giliranku yang menganga dibuatnya. “Sebenarnya, aku takut mati. Pikiran untuk melompat datang setelah aku ditolak olehnya. Karena itu aku tidak bisa berpikir jernih. Karena itulah aku…” Alasan Mark itu membuat perutku sakit meskipun aku tidak bisa merasakannya. Akhirnya, aku tidak bisa menahan tawaku. Stella kembali melontarkan kata-kata lebih kasar pada Mark karena telah membuat kehebohan ini. "TERJUN SANA KE LAUT!" Stella menggeram. Aku tersenyum menjauh dari atap. Bel pelajaran pertama berbunyi. Para petugas pemadam kebakaran dan juga staf guru mulai berdatangan. Mereka mengamankan Mark segera setelah kubuat ia terjatuh ke lantai. Dan yang kulihat diantara mereka ada Yian yang berdiri sambil menatapku tajam. Segera setelah aku turun dari tangga, atlet taekwondo itu menarik lenganku hingga kami sampai ke dasar tangga. Yian masih terus bungkam sampai ia memojokkan ku ke sebuah dinding yang letaknya berada di bawah tangga. “Mau mati, ya? Apa itu tadi? Berdiri seperti burung tanpa rasa takut! Kau membuatku khawatir, Sora!" katanya seperti ingin menangis. Aku menatap wajahnya. Dari sana aku bisa melihat butiran-butiran kecil di ekor matanya. Dia melepaskan pelukannya lalu mencubit pipiku, "Jangan melakukan hal konyol lagi. Aku khawatir melihatmu berdiri seperti itu." Aku mendesah lembut dengan satu anggukan padanya. "Jangan khawatir. Aku tidak akan mati hanya karena jatuh dari—" candaku tapi Yian seperti enggan untuk tertawa. Ia semakin mendekatkan wajahnya hingga aku bisa mencium parfum kesukaannya itu. Melihatnya sedekat ini, aku bahkan bisa melihat bulu matanya yang indah itu. Aku bahkan juga bisa bercermin lewat kelereng matanya tersebut. “Cukup! Jangan dilanjutkan,” kesalnya. Aku mengangguk lagi sambil meminta maaf padanya. Tapi setelah kulalukan, aku merasa menyesal. Kenapa aku harus minta maaf? “Ayo masuk. Bel istirahat nanti, tunggu aku. " Kami keluar dari pojokan kemudian berjalan bersama menuju kelas masing-masing. "Kenapa? Apa aku akan ditraktir makan lagi?" Yian menoleh sambil menaikkan alisnya ke atas. Tapi kemudian sudut bibirnya terangkat. "Kau punya ide mau makan di mana?" "Kita sedang membicarakan waktu bel istirahat kemudian pergi ke kantin kan?" Yian tertawa. Aku mengeryit. Wajahnya yang pucat kini telah berwarna kembali. Saat tengah asik mengobrol sambil berjalan, beberapa siswa mengawasi kami. Dan beberapa dari tatapan mereka, tampak bergantian tengah menilaiku. Aku jadi penasaran, apa penilaian mereka padaku. "Uhmm di luar kantin juga tak masalah," jawabnya santai. Tapi tidak denganku. Para murid-murid itu masih membicarakan ku bahkan ketika aku dan Yian berpisah di depan kelasku. "Pokoknya bel nanti, aku ke sini lagi." Pesan Yian sambil menarik telingaku ke bawah. Aku tidak merasa itu menggemaskan, tapi bagi siswi-siswi yang melihat ini, mereka semakin kencang beriuh. Aku dengar mereka mulai menyebut namaku. Mungkin ada yang menyadari tindakan nekatku tadi. Ada juga yang mungkin menilai hubunganku dengan Yian, siswa populer di sekolah ini. Entahlah. Yian semakin posesif padaku. Aku diperlakukan seperti pacar olehnya di sekolah ini. "Oke," jawabku singkat yang langsung masuk begitu Yian hampir saja ingin mengacak rambutku di depan yang lain. Biasanya aku tak peduli. Tapi baru kali ini aku merasa risih karena diperhatikan. Melihatnya terus-menerus mengkhawatirkanku, membuat sesuatu bersarang di dadaku. Dan entah kenapa, itu membuatku sedikit tersiksa. *** "Kau keren sekali!" "Itu benar!" sahut yang lain. Karena kejadian tadi, aku jadi perbincangan di kelas. Beberapa siswa yang sebelumnya mengabaikanku sekarang mendatangikj, mengatakan bahwa aku terlihat tenang dan cool ketika membantu korban untuk tak melakukan aksi nekatnya. Anggota geng Stella yang dulu yang pernah berurusan denganku juga semakin takut setiap kali kami bersinggungan mata. Namun, yang tidak berubah adalah tatapan sinis Yoona yang semakin hari semakin mengabaikanku. "Terima kasih," jawabku canggung. Aku melirik Yoona, yang sangat kontras dengan situasiku. Dia duduk sendirian tanpa teman. Terlihat gelisah sambil menatap ponselnya berulang kali. Salah satu gadis cantik bernama Exel memperhatikan tatapanku. Ia kemudian mengomentari Yoona, yang dia anggap menyedihkan karena tidak punya teman. “Jangan memandangnya atau berteman dengannya. Dia gadis yang payah,” katanya. Mendengarnya mengatakan itu, membuatku kesal. Aku meninggalkan mereka di depan mejaku, mengikuti Yoona yang keluar dari kelas. Kemana perginya gadis itu? Bukankah kelas akan segera dimulai? - gumamku dalam hati. . . bersambung
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD