Episode Sebelumnya:
"Suatu hari, aku ingin memukulnya sekali saja."
"Kau yakin? Kau mungkin tidak akan bermain di tingkat nasional lagi jika ketahuan memukuli orang."
==
Malam turun begitu cepat. Kami bertiga makan malam sederhana tanpa percakapan apapun. Sangat tenang, dan entah kenapa aku tidak terlalu suka aura seperti ini. Aku terus memperhatikan Yoona, yang sepertinya tidak begitu bersemangat menyantap makanan kesukaannya. Dia hanya menghabiskan setengah dari lauknya lalu bangkit meninggalkan meja makan. Aku jadi semakin gelisah melihat beberapa memar lagi di lutut dan sikunya. Bibi Kim tentu tidak memperhatikannya karena dia rabun jauh.
Yoona juga tidak mengatakan apa-apa sejak kami bertengkar di sekolah. Dia lebih sering menatapku sinis dan kemudian pergi. Kali ini juga, dia melakukan hal yang sama. Dia keluar tanpa pamit.
"Yoona, kamu mau kemana? Yoona! "
Lagi-lagi Yoona mengabaikan panggilan ibunya. Aku pikir dia mungkin bergaul dengan gengnya.
"Bagaimana hari pertamamu di sekolah?"
Bibi Kim bertanya setelah Yoona pergi. Aku tersenyum sambil mengangguk dengan semangat tentang hal itu.
Semuanya baik-baik saja bahkan harus berurusan dengan Stella, pikirku.
"Apa Yoona baik-baik saja? Dia tidak tampak bersemangat."
Aku mulai duduk lebih dekat dan berbicara sedikit lebih pelan dari biasanya, "Kupikir begitu, aku tidak melihatnya hari ini di sekolah."
"APA??"
Bibi terkejut membuat suara begitu keras. Aku melompat mundur karena mendengar teriakannya. Jari telunjukku akhirnya membuat suasana kembali tenang, meski bibi masih melotot, membombardirku dengan berjuta pertanyaan di benaknya.
"Tidak... maksudku, aku tidak melihatnya di sekolah karena aku tersesat. Jadi saat pelajaran kedua, aku pergi keliling sekolah saja," kataku membuat Bibi Kim menertawakan kebodohanku.
"Bagaimana kau bisa tersesat? Apa Yian tidak membantumu?"
“Kita beda kelas, bi. Tentu saja dia tidak tahu apapun,” kataku yang membuat bibiku semakin tertawa.
"Iya..kau benar juga.
Kami akhirnya menyelesaikan makan malam tanpa Yoona. Setelah selesai membereskan semuanya, aku bergegas keluar rumah. Aku pikir, aku tahu ke mana dia pergi. Saat menyusuri tempat berkumpulnya geng kirikuzen, aku tidak menemukannya disana. Aku bingung harus mencarinya kemana. Maka kuputuskan untuk kembali ke rumah. Lain kali, aku akan mengikutinya diam-diam.
***
Setelah bergulat dengan bau amis di dermaga, aku buru-buru membersihkan diri dan bersiap untuk berangkat ke sekolah. Pukul 6 pagi, masih ada 1 jam tersisa untuk mengisi perut di minimarket.
Berbagai macam mobil mulai memenuhi jalan yang menjadi pusat perhatian di sekolah. Kebanyakan dari mereka menggunakan kendaraan bermerek mahal; tentu saja itu dikarenakan sekolah di sini tergolong elit dan mahal. Kota ini benar-benar tempat untuk memanjakan semua orang. Fasilitas umum, fasilitas bermain, dan hiburan semua tersedia lengkap, dan berdekatan. Namun semua itu juga dibarengi dengan tingkat kriminalitasnya yang semakin meningkat.
Lima cangkir ramen dan tiga kopi s**u panas telah habis. Aku tidak bisa menyembunyikan senyum anehku pada kasir yang begitu terpaku melihatku makan. Aku bisa menebak apa yang ada di pikirannya tapi tidak apa-apa. Aku bisa maklum kenapa ia menatapku seperti tak percaya seperti itu.
Beberapa siswa SMA SEIRIN mulai memadati sekolah. Beberapa dari mereka berjalan sambil membaca buku, mengobrol dengan teman, bahkan ada yang sebagian berjalan sambil melihat ke langit. Semua terlihat normal pada umumnya.
Tapi tiba-tiba, dari arah gedung timur, banyak siswa yang berlarian menuju tempat itu. Aku jadi ingin mencari tahu apa yang terjadi.
Pemandangan pagi yang tidak biasa. Seseorang berdiri di tepi atap, membuat para murid histeris melihatnya.
"Siapa dia? Apa yang dilakukan si i***t itu di atap? Apa dia mencoba bunuh diri?"
Komentar para siswa yang mulai bergidik ngeri, yang anehnya malah tidak ada yang bergerak untuk menyelamatkan. Mereka justru hanya sibuk merekam video atau membuat status di internet, mengabaikan orang yang hampir jatuh dari gedung 5 lantai sekolah itu.
"JANGAN ADA SESEORANG MENCOBA MENYELAMATKANKU! AKU INGIN MATI!" teriaknya bersamaan dengan hembusan nafasku yang tidak teratur dari saat menaiki tangga menuju lantai paling atas.
Aku melihat Stella berdiri, menggaruk-garukkan kepalanya sambil menggigit kukunya. Dia melihatku mengatur napas. Kemudian tertawa terbahak-bahak melihat kedatanganku.
"Kau... sedang apa kamu di sini?"
"Kau sendiri? Kenapa hanya menonton dan tidak menyuruhnya turun?" sungutku, yang disambut dengan gumaman kekesalan Stella padaku.
"Bukan urusanku," ucapnya arogan.
Aku menggeram pelan lalu mulai mendekati anak laki-laki berambut coklat dengan kacamata minusnya yang jatuh ke tengah hidungnya. Dia melirikku tajam sambil menodongkan pisau saku ke arahku.
"SIAPA KAU? JANGAN MENDEKAT! ATAU AKU AKAN MELOMPAT!" ancamnya.
Tatapanku beredar ke seluruh area di atap. Saat dia terus mengoceh, aku berhasil mendekatinya. Meninggalkan jarak 100 meter darinya. Aku ikut naik ke atap sambil menatapnya. Kulihat di bawah sudah penuh dengan para murid yang menyaksikan kejadian ini.
"Ya sudah. Lakukanlah!" ucapku yang menantangnya untuk melompat denganku serta.
Stella malah melontarkan tatapan tajam dan nyaris histeris bersamaan dengan murid-murid lain di bawah sana.. Siswa tersebut semakin bingung melihatku mengangkat satu kaki ke depan, merasakan kaki kananku digelitik oleh hembusan angin yang cukup kencang dari atap. Aku mengulurkan tangan sambil memejamkan mata seperti Deja Vu. Bayangan masa lalu melintas begitu aku memejamkan mata. Itu membuatku terpana karena ini pertama kalinya aku bisa melihat masa laluku dengan jelas.
Di ingatanku, aku sedang berdiri di posisi yang sama. Aku merentangkan tangan sambil mengenakan sesuatu di belakang punggungku. Kulihat ada seseorang yang berusaha mendekatiku. Tapi kemudian aku memilih terjun namun aku tak cedera sama sekali. Aku malah turun dengan santai karena ada parasut di belakangku.
"Siapa kau? Kenapa kau juga ingin melompat denganku?"
Siswa berambut coklat itu bernama Mark. Itu yang tertulis di name tagnya. Senyumku kembali ketika aku mendengar seseorang bertanya seperti itu lagi kepadaku. Menanyakan hal yang tak bisa kujawab. Yaitu..siapa aku.
Aku juga tidak tahu siapa diriku yang sebenarnya. Tidak ada rasa takut sama sekali dengan apa yang lakukan setiap harinya. Aku yang bisa menahan rasa sakit, dingin, lapar, dan haus. Aku yang bisa menahan pukulan, tamparan, dan tusukan tanpa berteriak. Aku juga bertanya-tanya siapa diriku. Dan ketika orang lain menanyakan itu, aku ingin bertanya balik, pada diriku sendiri. Siapa aku?
Dari bawah, aku melihat Yian juga menonton pertunjukan ini. Dengan wajah cemas, dia langsung bergegas melewati gerbang lalu berlari kencang menuju tempat ini.
Aku harus menyelesaikan ini dengan cepat; jika tidak, Yian akan menguliahi ku lagi. Panjang kali lebar dan penuh dengan tuntutan.
"Aku? Aku adalah malaikat maut. Apa kau bisa melihatku? Hanya kau yang bisa melihatku berdiri di sini," ucapku yang semakin membuatnya takut.
.
.
Bersambung