Part 03 (18+)

3202 Words
Christ mengucek halus kelopak matanya sambil menguap, begitu adzan maghrib berkumandang membangunkannya dari tidur nyenyaknya setelah kelelahan melakukan aktifitas ranjang dengan wanita seksi yang sering mengekor padanya di setiap hari. Dilihatnya mona yang tengah tertidur pulas disampingnya dengan keadaan tanpa satu helai benangpun membuatnya melingkarkan pergelangan tangannya ditubuh polos sang wanita. Bibir tipisnya bahkan tidak henti-hentinya mengecupi setiap inci tubuh mulusnya. Membuat mona yang sedang asik terlelap kembali terusik akibat aksi jail sang pria. Satu erangan bahkan berhasil lolos dari mulut kecil tersebut ketika Christ dengan nakal meremas pelan kedua d**a ranum milik kekasihnya. "Christ." Rengek Mona dengan suara serak. Cenderung parau, karena aktifitas melelahkan yang dia lakukan seharian ini. Mona melingkarkan erat tangannya di sela-sela bantal. Christ tetap mengganggu. Memaksa wanita tersebut untuk bangun, karena sebentar lagi mereka harus keluar. "Cepat bangun mona ! Atau kita akan terlambat." Desis Christ. Menggigit tipis telinga bagian luar mona dengan tangan yang terus merayap menyusuri bagian perut menuju pangkal pahanya. " f**k. " Umpatnya. Sesuatu sudah terlihat basah. "Kau sudah basah rupanya ?" Lanjutnya lagi di susul jemari tersebut yang mengusap lembut pangkal paha milik sang wanita. Sementara Mona yang sama sekali tidak menjawab, hanya terlihat diam sambil menikmati sentuhan yang dilakukan oleh pria disampingnya. Sambil menggigit bibir. Wanita itu dengan napas yang mulai memberat dan kelopak mata yang tetap setia terpejam. Membiarkan aksi nakal kekasihnya. "Kurang ajar. kau benar-benar menyiksaku Mona. Fuck." Tutur Christ seraya bangkit berdiri, kemudian membalik tubuh mona untuk menghadapnya. Mona hanya menatap sayu kekasihnya. Dilakukannya kembali adegan panas tersebut meskipun dengan waktu yang sudah sangat mepet. Christ bahkan tidak dapat berhenti jika saja saat itu sang direktur tidak menghubunginya terlebih dahulu melalui ponsel pribadi miliknya. "Halo " Jawab Christ mengangkat sembarang, panggilan tersebut tanpa melepaskan sedikitpun penyatuan ditubuhnya. "Christ kau dimana ? Jangan membuatku malu dan marah, sebentar lagi acaranya akan segera dimulai dan aku benar-benar membutuhkanmu brengsek." Teriak seorang pria paruh baya tersebut. Dengan sangat murka, sang pria terdengar mengetatkan rahangnya. Sambil menggerakan miliknya, Christ menjawab omelan pria paruh baya tersebut dengan santai. "Oh. Itu ? Aku akan tiba dalam tiga puluh menit lagi bos ! itupun jika kau memang tidak keberatan ?!." Jawabnya, sambil satu tangannya meremas lembut sesuatu yang paling di sukai oleh Mona. Terdengar umpatan serta makian kesal dari arah sana, namun Christ sama sekali tidak terpengaruh ataupun peduli karenanya. Ia memilih untuk menjatuhkan ponsel tersebut, tepat di samping tempat tidurnya dan menggempur kembali wanita didepannya dengan tempo yang sangat cepat sehingga membuat erangan kembali terdengar di mulut kedua nya. "Christ." "Kurang keras sayang !" "Fuck." Racauan keduanya tetap berlanjut meskipun ponsel di sampingnya masih menyala. Christ dan Mona tetap melanjutkan aksinya. Sampai selesai dan keduanya langsung bergerak kearah kamar mandi. Membersihkan singkat tubuh polosnya, barulah Christ dan Mona keluar dan pergi menuju tempat diadakannya acara. Dicarinya sang direktur ke setiap penjuru ruangan namun tak ditemukan. "Kemana dia ?" Gumam Christ sambil menatap sekeliling. "Apakah dia marah karena aku terlambat tiga puluh menit saja ?" Lanjutnya sambil terus mencari. Ditanyainya satu persatu rekan satu profesinya namun tak ada satupun yang tahu kemana perginya pria tua tersebut ?. Christ mengumpat. "Sialan." Umpatnya sambil terus berjalan dan menyeret pelan lengan wanita disampingnya. "Sayang." Panggil orang tersebut tiba-tiba saat tangannya tidak mampu lagi untuk mengikuti langkah Christ. "Sebentar ! aku ingin ke toilet dulu, kamu tidak keberatan kan jika harus mencarinya sendiri ? Aku sudah tidak tahan, ini darurat soalnya." Ucap mona menghentikan gerakan Christ yang sejak tadi terus menyeret tubuhnya untuk ikut mencari keberadaan sang direktur, tempat keduanya bekerja. Christ tentu langsung berhenti ketika mendengar sebuah rengekan dari wanita disampingnya. "Ah, ya ? maafkan aku Mona, aku lupa kalau kau masih bersama denganku sejak tadi." Ucapnya seraya melepaskan genggaman tersebut. "Pergilah !." Lanjutnya lagi. "Biar aku yang akan mencarinya sendiri." Kemudian memilih untuk melanjutkan kembali langkahnya. Christ mencari keberadaan dari pria tua tersebut. Setiap sudut tidak ada yang luput. Tapi sang atasan tidak sekalipun di temukan olehnya. "Kemana dia sebenarnya ?." Gumam Christ, tetap menghentakkan kaki. Tapi masih terus mencari meskipun rasa kesal sudah menjalar melewati ubun-ubun. Sementara Mona yang pamit juga tetap melangkahkan kedua kakinya menuju toilet. Wajahnya terlihat sedikit bingung ketika tidak mendapati tanda petunjuk yang biasanya tertera didepan pintu yang menunjukan mana toilet yang diperuntukan untuk wanita, dan mana toilet yang diperuntukan untuk pria. Ditambah situasi yang sepi, semakin membuat hatinya meringis tidak kuat menahan gejolak dikandung kemihnya yang hampir penuh dan meminta untuk segera dikeluarkan. Sehingga tanpa berpikir. Wanita itu pada akhirnya memilih untuk memutuskan memasuki toilet yang berada disebelah kirinya. Dimasukinya toilet tersebut tanpa berfikir ulang. Baru juga satu langkah Mona memasuki toilet, namun dirinya sudah dikejutkan dengan kondisi toilet yang sedikit berbeda dengan toilet wanita pada umumnya. Semua tata letak tidak seperti biasanya. "Aneh." Gumamnya. Antara ragu dan juga takut. Mona menggigit bibir bawahnya mencoba menimang-menimang kembali untuk melanjutkan atau keluar dari toilet tersebut ? Namun semakin berpikir, semakin tidak kuat pula kandung kemihnya untuk menahan Miksi. "Aduh, udah gak kuat lagi" Jeritnya dengan pelan, langsung berlari masuk kedalam salah satu pintu toilet yang ada didepannya. Dan bodohnya dia, yang lupa untuk mengunci pintu tersebut dari dalam. Sementara seorang pria paruh baya yang sedari tadi mengawasi gerak gerik Mona didalam toiletnya, langsung keluar dan mengunci pintu utama toilet tersebut dengan gerakan cepatnya. Tak lupa dipasangnya juga papan peringatan diluar pintu tersebut agar tidak ada siapapun yang akan mengganggu aktifitasnya nanti. Berjalan dengan sangat pelan Sambil mengusap rahang tumpulnya, pria paruh baya tersebut langsung membuka pintu toilet Mona dengan gerakan menjijikan khas nya. Krieet_ Membuat Mona yang sedang membersihkan diri di atas toilet duduknya seketika terkejut melihat pria tersebut sudah berada didepannya. Dengan bibir basah, dan sorot mata yang dipenuhi kabut gairah. Mona berteriak. "Kau ?." Pelototnya. Berjengit kaget, Tentu saja dia kaget melihat pria tersebut sudah berada di depan dirinya. "Apa yang kau lakukan disini ?" Teriaknya. Mulai terlihat panik. Dia hendak berdiri dari tempatnya namun dihentikan oleh pria tersebut. Dicengkeramnya kedua lengan Mona agar tetap berada ditempatnya. "Ssstt ... Tenanglah sayang ! Aku tidak akan menyakitimu." Bisiknya seraya mencium brutal pipi wanita didepannya namun ditolak mentah-mentah oleh Mona. "Diam-lah !" Ucapnya lagi mencoba menaklukan Mona. Satu tangannya mulai mengusap lembut permukaan paha mulus terbuka milik pramugarinya. Mona Menjerit. Dia terus memberikan peringatan. Tapi tidak pernah di gubris oleh pria gila di depannya. "Diamlah ! aku paling suka pose menantang seperti ini." Tekannya. Malah atasannya semakin menekan keras sesuatu yang paling sensitif di tubuh Mona. Awalnya Mona tidak mau. Christ yang tidak pernah mau memperlakukannya dengan lembut, tiba-tiba di perlakukan begitu lembut oleh pria lain yang begitu mendamba dirinya di belakang sana. "Jangan !" Mulutnya berkata jangan namun tubuhnya malah berkata lain. Mona menikmati segala yang di lakukan oleh atasannya. Mata terpejam. Bibir terus mengelak. Tapi tubuh tidak bisa membohongi hasratnya. "Mona." Racaunya. Di sela-sela kegiatannya. Sang atasan masih menyempatkan diri untuk melihat ekspresi wanita jarahannya. Sesekali bertanya. Tapi Mona tidak pernah sudi untuk menjawabnya. Dia hanya mengerang. Disela-sela penolakan munafiknya. Mona hanya bisa mencengkram kuat salah satu sisi tembok atau apapun yang bisa dia gunakan sebagai pegangan. Berkali-kali mendapatkan pelepasan tapi tidak pernah merasakan perasaan cukup. Mona yang sama gilanya. Mulai mengikuti permainan yang dilakukan oleh atasannya tersebut. Mereka bermain selama tiga jam lebih. Dengan berbagai posisi, Pada akhirnya wanita itu kalah. Dengan emosi dan juga hasrat sesaatnya. Terus meminta lebih tanpa mengingat lagi wajah Christ yang mungkin saat ini sedang lelah mencarinya. Mona hanyalah wanita gila yang haus akan kasih sayang. Begitu mendapatkan pria yang bisa memberinya kenyamanan. Dia jadi lupa dengan obsesinya pada Christ. *** Sesuai dugaan, Ditempat lain Christ juga masih mencoba untuk menghubungi ponsel Mona. Berkali-kali di hubungi, namun tidak ada satupun jawaban dari wanita tersebut. "Pergi kemana wanita ini sebenarnya ?" Gumam Christ dengan kesal. Dia ingin cepat keluar, tapi Mona malah menghambatnya. Christ yang tidak terlalu menyukai sesuatu yang berbau bisnis, mulai melihat sekeliling sambil menempelkan kembali ponsel tersebut di daun telinga. Jika Mona tidak segera muncul untuk menemuinya, terpaksa mungkin dia juga harus meninggalkannya seorang diri di tempat ini. "Ini bahkan sudah lebih dari tiga jam tapi mereka belum kembali, Pak Handoko menghilang, Mona juga ikut menghilang. Kemana mereka sebenarnya ? aneh." Dalam kesalnya, otak masih bisa mencerna keanehan tersebut. Nomor Mona kembali dia tekan. Setidaknya, sebelum dia benar-benar pergi dia harus memastikan terlebih dahulu jika Mona memang dalam keadaan baik-baik saja untuk bisa dia tinggal. "Tidak ada." Drapp, Drapp, Drapp... Malah suara langkah kaki dari arah belakang, yang terdengar semakin mendekat bukannya jawaban panggilan dari Mona yang sejak tadi dihubungi olehnya. Christ yang tidak tertarik sama sekali tidak mau menolehkan wajahnya. "Oh. tuhan ku." Tapi orang tersebut malah terdengar mendesah sambil terus menghampiri dirinya. "Tuan Christ. Rupanya anda di sini ?." Tanya-nya lagi. Christ mulai merasakan aura yang buruk. Jika sudah ada Zidan. Dia yakin ketenangannya pasti akan terancam. "Tuan." Kukuhnya lagi. Tetap memaksa. Christ juga tetap memaksa teguh dengan pendiriannya untuk tidak berbalik. "Tuan, maaf sebelumnya. Tapi bisakah anda menolong saya satu kali ini lagi ? Saya benar-benar tidak tahu lagi kemana saya harus meminta tolong saat ini ?." Monolognya. Di dengar, atau tidak di dengar ? Sekretaris pak Handoko nyatanya begitu bersikeras untuk meminta bantuan pada Christ. Christ terus menolak. Dia tetap acuh tak acuh. Tapi pria di belakangnya juga begitu gigih untuk meminta bantuan darinya. "Tolong saya tuan !." "Tuan." Teriaknya lagi. Menyentuh sikut Christ. Sambil membalikan paksa pria tersebut menghadapnya. "Tuan." "Apa lagi ?." Jawab Christ, terdengar santai namun sedikit ketus karena pria di belakangnya membalikan paksa dirinya. "Maafkan saya." "Ck." Christ hanya berdecak. Tapi asisten pak Handoko tidak peduli. Dia mulai menceritakan kesulitannya. Ada seorang bupati yang ingin menemui perwakilan dari mereka, tapi sampai saat ini Zidan bahkan belum menemukan keberadaan atasannya. "Kalau bukan pada anda, terus saya harus minta tolong pada siapa lagi ? tolonglah tuan ! Saya mohon ! Setelah ini saya janji, tuan mau pergi kemanapun saya pasti bebaskan." Tawarnya. Di sinilah, sebenarnya posisi penting Christ. Kenapa seburuk apapun dia, pak Handoko dan juga jajarannya tidak pernah berani memecat Christ ?. Dalam situasi genting, pria ini selalu bisa di andalkan. Bermodalkan tampang melas dan juga tidak berdaya. Lagi-lagi Christ hanya bisa berdecak. Sudah begini dia bisa apa lagi ? Keberhasilan maskapai sama dengan keberhasilan dirinya. Jika maskapai tempatnya bekerja mengalami krisis, otomatis gajinya juga akan mengalami sedikit perubahan. Zidan di sini juga tidak bisa di remehkan. Selain menerima. Dia juga tidak bisa menghindar lagi, karena bisa di pastikan, pria itu akan terus mengikutinya sampai Christ benar-benar mau dan menuruti permintaannya. "Sekali ini lagi saja !." Tawarnya. "Iya tuan. Mari !." Antusias Zidan. Akhirnya sang pria mau menuruti bujukannya. Christ di giring. Mereka berbincang selama lima belas menit lamanya. Setelahnya, Zidan dan Christ pun akhirnya pamit undur diri. Zidan mengantar Christ sampai di depan tempat parkir. Setelah menarik napas. Asisten tersebut menyerahkan satu buah kunci mobil untuk di gunakan oleh Christ. "Ini hadiah. Tuan bisa memakainya sepuas hati tuan ! Saya juga akan menyampaikan pada yang lainnya agar tidak ada satupun yang mengganggu tuan selama berlibur. Sekali lagi terima kasih banyak. Saya pastikan setelah ini saya juga akan menyampaikannya langsung pada atasan." Maksud dari perkataannya sudah bisa Christ tangkap dengan jelas. Memang harus seperti itu ! Pak Handoko wajib di beritahu soal ini ! Syukur-syukur bonusnya ikut di naikan jika proyek ini suatu saat bisa berjalan dengan lancar. "Ya dan pastikan juga dia menambahkan bonus kita diakhir bulan Zidan ! Sebuah proyek tidak akan berhasil, jika dia tidak melakukan tanggung jawabnya hingga akhir." Zidan mengangguk. Dia setuju. Untuk bagian itu dia akan mendiskusikannya pada atasaanya. Sambil mengerling, kedua pria tampan tersebut berpisah. Christ masuk ke dalam mobil. Sedangkan Zidan masuk kembali kedalam gedung. *** Benar-benar mengemudikan mobilnya dengan kecepatan diatas rata-rata. Christ mulai membelah jalanan lenggang kota tersebut, menuju tempat tujuan awal dirinya bersama Mona siang tadi. Matanya terus berbinar. Meskipun tidak tahu tempat apa ini ? tapi matanya tidak bisa berbohong. Christ suka melihat keindahan dari kota tersebut dimalam hari. Bagaimana sejuknya angin menerpa wajahnya. Suasana di sini ternyata tidak sepadat di ibukota. Masih banyak tanah kosong dan beberapa pepohonan rindang menghiasi jalanan yang di lewati oleh mobilnya. Mulai membuka sebuah aplikasi. Christ tertarik untuk mencari beberapa penginapan yang ada di sekitar sini. Sebuah rumah dengan design rumah panggung yang letaknya cukup jauh dari pemukiman namun memberikan pemandangan pegunungan asri dan juga menakjubkan. Christ berhenti sejenak untuk melihat lebih jauh lokasi dari perumahan tersebut. "Sepertinya ini cocok." Monolognya mulai meneliti, kemudian membuat janji temu dengan pemilik penginapan tersebut untuk bertemu langsung malam ini. Satu kali tekan. Syukurnya orang tersebut juga merespon cepat jawaban pesanan yang di lakukan oleh Christ. Christ melajukan kembali sedan hitam miliknya. Kebetulan tempat yang hendak dia tuju juga tidak terlalu jauh lokasinya. Cukup dua kali belokan dan dirinya akan segera sampai di rumah tersebut. Malam yang begitu cerah disertai kerlap-kerlip bintang serta alunan suara hewan yang menyambut indra pendengaran Christ begitu mobilnya memasuki area pekarangan villa. Di lajukannya semakin dalam mobil tersebut melewati beberapa pepohonan yang tertata rapih di setiap pinggirnya. Sepertinya penginapannya akan berdekatan dengan sebuah perkebunan teh. Sepanjang jalan. Hanya tanaman itu yang Christ lihat di setiap sudutnya. Tin, tin, tin. Bunyi klakson di bunyikan. Seorang pria paruh baya dengan ikat kepala khas sunda yang melingkar di kepala botaknya terlihat sudah berdiri antusias menyambut kedatangan pria yang tadi menghubunginya melewati aplikasi jejaring sosial media sambil tersenyum sopan. "Selamat malam." Ucap Christ. "Apa benar ini dengan pak Radun ?" Tanyanya lagi dengan sangat sopan setelah turun dari dalam mobil dan menghampiri seseorang didepannya. "Muhun kang, Leres. Akang ini akang Christ sanes ? anu bade ngendong di landeh mamang ?" Jawab-nya dengan logat sunda yang begitu kental. Sementara Christ hanya diam melongo, tidak mengerti apa yang di katakan oleh orang di depannya. "Maaf mang." Potongnya "Saya kurang paham dengan bahasa yang mamang gunakan, bisa kita bicara menggunakan bahasa indonesia saja ?." Pintanya sambil tersenyum canggung mengusap pelan tengkuk bagian belakangnya. Yang di tanya malah langsung tertawa karena lupa sedang bersama siapa dia saat ini bicara. "Aeh enya poho gening." Ucapnya seraya menepuk jidat "hapunten ya kang, mamang teh hilap akang dongkapna ti jakarta." Ucapnya sambil terus tertawa konyol sementara Christ hanya tersenyum kaku, tidak paham dengan apa yang dikatakan oleh pria tersebut. "Ya Allah eta si akang. Ntos atuh kang itu karunya si aa na nepi ka olohok kitu, sok atuh buruken candak kalebet si ujang kasepna !." Sampai Seorang wanita paruh baya tiba-tiba keluar dari dalam rumah, langsung menegur keras suaminya sambil berjalan pelan menghampiri kearah mereka berdua. Christ yang melihat wanita tersebut berjalan kearahnya langsung menunduk hormat seraya mencium sopan punggung tangannya. "Selamat malam bu." Ucapnya sambil tersenyum hangat. "Gustiiii. " Bukannya menjawab, wanita tersebut malah berteriak heboh melihat Christ dengan tampilannya seperti itu mencium sopan punggung tangannya. "Ni kasep kieu gening." Teriaknya dengan suara histeris, mengusap lembut punggung sang pria sambil tertawa dengan renyahnya. "Panggil nin wae ya kang jangan panggil ibu !" Ucapnya dengan terbata, sedikit menambahkan bahasa indonesia agar pria didepannya paham dengan maksud dan tujuannya. Christ hanya mengangguk seraya balas tersenyum kearah sang wanita. Nin terlihat kembali merentangkan tangannya. "Sok buru atuh kang gera dicandak tamuna kalebet !" Pinta Nin lagi pada sang suami. Membuat Mang Radun yang sedang melamun seketika langsung mengangguk untuk mempersilahkan Christ mengikuti mereka hingga kedalam rumah. "Mangga Kang !" Ucapnya. Dengan sangat sopan. Christ yang hendak melangkahkan kedua kakinya, malah mendadak berhenti ketika melihat bayangan seorang gadis berjalan terburu-buru dibelakang punggungnya. "Ada orang." Gumamnya. seraya berbalik menoleh kearah belakang. "Maira, Usuuu." Bukan Christ Namun bi ijah yang berteriak memanggil gadis tersebut. Istri dari pak Radun itu langsung berlari menghampiri Gadis tersebut, yang terus saja berjalan acuh didepannya. Christ hanya diam saja. Sedangkan Maira Mau tidak mau jadi menolehkan wajahnya. Berbalik sebentar, seraya tersenyum manis kearah wanita yang saat ini memanggilnya. Ke arah pak Radun dan juga pada pria asing yang ada disampingnya. "Usu, Ya allah. Usu teh bade kamana tabuh sakieu teh geulis ? bobo dibumi nin wae yu ?!" Tawar bi ijah mengusap lembut rambut Maira yang terlihat berantakan. Sayangnya Maira malah menggelengkan kepalanya. Dia menolak halus tawaran wanita tersebut. "Nuhun nin. Maira mau ke makam ayah. Cuman sebentar kok." Jawabnya seraya terus tersenyum. Membuat bi ijah yang mendengar hal tersebut langsung membelalakkan bola Matanya seketika. "Ke makam ayah ? tabuh sakieu ? Gustii, Akaaang." Teriaknya lagi dengan heboh. Pak radun yang sedang bersama tamu mereka terpaksa jadi ikut berlari untuk menghampiri keduanya. Dengan wajah panik. Dia pikir, Maira dan istrinya mengalami masalah. "Aya naon nin ? Kunaon meni heboh kitu ?" Tanya-nya ikut terlihat panik, mendengar jeritan histeris dari istri tua nya tersebut. Tanpa menoleh. Sang istri hanya berbisik pelan ke arah suaminya. "Itu maira bade ka makam saurna." Bisiknya, meminta bantuan suaminya, agar mau membujuk Maira untuk ikut pulang bersama dirinya. Mang radun langsung berbalik menatap maira dengan tatapan sendu nya "Usu ?" Panggilnya namun segera dibalas gelengan oleh maira. "Maira cuman mau ke makam ayah. Mau bacain surah Yasin mang." Jawab Maira mencoba menjelaskan. Tatapannya penuh harap, agar kedua suami istri tersebut tidak lagi menghalangi jalannya. Mang radun pun hanya menatap istrinya sekilas sambil mulai berpikir sebentar. Menimang-nimang antara wajah sendu Maira dan juga wajah panik istrinya. Berat di Maira, Sang pria terpaksa memberi isyarat pada sang istri agar mau mengijinkan maira untuk pergi. "Ijinkan saja !." Bisiknya. Namun langsung di tepis keras oleh istrinya. "Enjing wae nya su, tos wengi atuh ! Ngiring wae sareng nin yu ! Mau kan ?" Kukuh bi ijah memaksa maira agar ikut dengannya. Dilihatnya kaki maira yang semakin bengkak membuat air matanya luruh seketika. Gadis yang begitu di manja oleh ayahnya. Kini terlihat berantakan saat orang tua tersebut meninggalkan Maira selamanya. "Gustii Usu dedeuh teuing gelis, hayu atuh ngiring sareng nin wae nya ! Nanti biar nin obatin lukanya ya !" Tawar bi ijah, bahkan sudah memeluk tubuh ringkih Maira namun maira tetap menggelengkan kepalanya. "Maira cuman mau sama ayah nin. Kenapa harus di halangi ?" Jawabnya dengan mata yang mulai berkaca-kaca. Suaranya serak. Mang radun yang tadinya diam. Lama-kelamaan menjadi tidak tega setelah mendengar jawabannya. Bi Ijah di tarik ke belakang. Pria itu tidak akan menghalangi Maira untuk menemui pusara ayahnya. Sementara tangan satunya juga mulai mengusap lembut ujung rambut Maira. "Boleh. Tapi hati-hati ya neng ! Nanti kalau sudah selesai, mamang jemput !" Pesannya. Di balas anggukan penuh antusias dari Maira. Christ yang berdiri tidak jauh dari mereka diam-diam hanya bisa memperhatikan kegiatan ketiganya termasuk maira. Dari ujung kaki sampai ujung rambut. Gadis yang begitu cantik. Walaupun penampilannya acak-acakan ditambah gelapnya malam. Namun, tidak mampu menutupi sedikitpun kecantikan alami yang di miliki gadis tersebut. Setelah mengijinkan Maira pergi. Mang radun dan bi ijah pun akhirnya berjalan kembali menghampiri Christian yang sejak tadi hanya diam melongo, memperhatikan maira yang mulai berjalan semakin jauh menuju area pemakaman. "Punten nya kang. Itu tadi putrinya juragan kami namanya Maira, Ayahnya baru saja meninggal tadi sore. Anak itu hidup sendirian. Tidak ada satupun keluarga yang neng Maira miliki." Ucap Mang Radun mencoba menjelaskan perihal keributan yang ada di depan sana. Tidak mau terlalu peduli. Christ hanya diam saja. Dia seperti tidak berniat untuk mengetahui hal tersebut lebih lanjut. Mang radun dan bi ijah mengantarkan Christ menuju rumah sewaannya, setelah itu bi ijah kembali kerumah miliknya, sedangkan Mang radun berjalan kearah pemakaman untuk menjemput maira agar tidak terlalu lama berada didalam pemakaman.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD