Syukurlah, hari ini aku tiba di kantor tepat pada waktunya. Aku berniat untuk langsung ke Rumah Sakit setelah pulang dari aktivitas hari ini. Aku berharap hubungan ku dan Mama akan lebih membaik setelah semua kejadian yang menimpa Mama.
Sebenarnya aku sama sekali tidak menghitung kasih sayang dan tenaga yang telah aku curahkan kepada beliau, tapi aku sangat berharap beliau akan memberikan aku sedikit perhatian dan kasih sayangnya yang telah lama aku impikan dan aku inginkan. Aku ingin dianggap sebagai anak, bukan musuh di rumah suamiku.
Sesuai dengan perkiraan ku. Hari ini aku dapat menyelesaikan semua tugas dengan baik seperti biasanya. Sekarang aku bergerak menuju ke Rumah Sakit dengan semangat yang menggebu-gebu. Aku membayangkan bagaimana senyum Mama menyambut ku dan untuk itu, aku harus membawakan Mama sesuatu yang beliau suka.
Di pertengahan jalan, aku berhenti di sebuah toko buah dan aku membeli sebuah parcel besar yang memuat beberapa jenis buah yang Mama sukai seperti anggur, jeruk, apel, dan juga pisang. Merasa siap, aku segera melanjutkan langkahku menuju Rumah Sakit dan rasanya aku sudah tidak sabar lagi.
Pink
"Sayang, dimana?" tanya Anjar melalui pesan dengan emoji yang manis.
"Di jalan menuju ke Rumah Sakit, Anjar. Kenapa?"
Pink
"Ngak apa-apa, aku juga mau jalan ke Tumah Sakit. Tapi sepertinya kamu akan lebih dahulu tiba, Cantika."
"Iya, terus maunya gimana, Njar? Bareng-bareng atau aku masuk duluan?"
Pink
"Kamu duluan aja ya, Sayang. Nggak papa kok."
"Ya sudah kalau gitu. Nanti aku bilang sama Mama kalau anak kesayangannya sedang di jalan."
Pink
"Siap setuju. Makasih ya istriku, Sayang. I love you."
"Kembali kasih, Anjar. I love you to."
Perasaan bahagia semakin meningkat setelah mendapatkan pesan dari Anjar. Rasanya hidupku akan sempurna jika Mama bersedia menyayangi aku, ditambah lagi dengan Anjar yang selalu mencintai aku. Kemudian, aku juga berharap. Suatu saat nanti, Papa juga akan melihatku sebagai seorang anak.
Begitu juga dengan adik-adik Anjar yang lainnya. Aku sangat ingin menjadi cahaya, bukan menjadi kegelapan di dalam keluarga mereka. Semoga Tuhan memberikan kelancaran dan kemudahan untuk ku menggapai impian.
Pukul 14.30 WIB, aku tiba di Rumah Sakit dengan wajah lelah. Tapi demi memberikan tampilan yang baik untuk Mama, aku memasang senyum terbaik ku dan berjalan dengan do'a. Aku berharap Mama sudah bisa tersenyum dan berbicara, walaupun sedikit dan aku juga berhayal Mama akan memanggil namaku kali ini.
Setibanya di depan ruang perawatan Mama, aku langsung mengetuk pintunya dengan tenang dan santai. "Masuk!" sahut seseorang dari dalam ruang perawatan dan aku yakin itu adalah suara Maya.
"Terimakasih," jawab ku sambil masuk ke dalam ruangan. Saat ini aku sedang melihat Maya mengupas sebuah apel untuk Mama. Mereka tampak sangat akrab dan dekat seperti biasanya.
Tanpa pikir panjang, dengan memasang senyum yang manis, aku berjalan lambat menuju arah ranjang perawatan Mama. "Kak Cantika baru datang?" tanya Maya seolah-olah tampak kaget saat melihat aku berada di Rumah Sakit. Namun saat itu, aku tidak berpikir yang macam-macam kepada dirinya
"Iya, maaf ya Maya, Mama. Cantika baru saja pulang dari kantor. Ini pun Cantika memutuskan untuk langsung ke Rumah Sakit agar bisa melihat kondisi terbaru Mama."
"Mama, Maya pamit keluar sebentar ya. Soalnya ada yang harus Maya cari. Lagipula disini kan sudah ada Kak Cantika," ucap Maya dengan nada suara yang sinis dan bergaya sangat lelah.
Mama sama sekali tidak menjawab ucapan dari Maya dan tampaknya beliau membiarkan Maya pergi untuk meninggalkan kami di dalam ruangan ini, berdua saja. Tiba-tiba Mama menatapku tajam. Saat itu, aku merasa akan ada sesuatu yang buruk segera terjadi.
Entahlah, aku tidak mengerti firasat apa ini? Tapi yang jelas, tatapan Mama itu sama seperti saat Mama melihat ku pertama kali ketika kami bertemu. Tidak, tapi tidak mungkin, barangkali ini hanya perasaanku saja.
Aku memberanikan diri untuk mendekati Mama. Perlahan, aku mengambil tangannya untuk bersalaman. Tapi dengan seketika, Mama menepis tangan kanan ku cukup kuat. Aku yang terkejut langsung menatap Mama yang tampak sangat marah terhadap ku. Ya Tuhan, apalagi salah ku kali ini? Aku bertanya di dalam hati dengan mata yang sudah berkaca-kaca.
"Mama ... ."
"Apa yang kamu inginkan? Apa belum cukup kamu sudah mengambil, mencuri, dan merubah Putraku menjadi seorang anak yang berperilaku buruk terhadap orang tuanya? Sekarang, apa yang kamu lakukan di sini dengan memasang wajah lugumu itu?" tanya Mama dengan suara pelan, namun terdengar begitu tajam dan menusuk dalam hingga tembus ke jantungku.
"Apa salah Cantika, Ma? Tolong katakan. Cantika sama sekali tidak mengerti dengan ucapan Mama. Cantika juga tidak pernah mencuri ataupun merebut Anjar dari Mama," sanggah ku sembari menatap Mama yang tampak sesak dan sulit mengatur napasnya dengan baik.
"Jangan pura-pura bodoh kamu!" kata Mama sambil memegang d**a kirinya. "Pergi kamu dari sini! Saya tidak ingin melihat wajahmu lagi."
"Cantika mohon maaf kepada Mama jika kehadiran Cantika malah membuat Mama semakin marah dan sakit. Cantika akan segera pergi dari sini, Ma," ucap ku, laku bergegas keluar dari ruang perawatan dan berlari kecil sambil mengusap air mata yang terlanjur tumpah di kedua pipiku.
Saat menyusuri terowongan Rumah Sakit, tanpa sadar aku menabrak tubuh Anjar. Aku hampir terjatuh, tapi Anjar menangkap ku dengan cepat. Saat Anjar melihat bahwa orang yang ia tabrak adalah aku dengan mata yang sudah basah, Anjar pun langsung memeluk tanpa bertanya dan banyak bicara.
"Anjar ... ." ucap ku sambil membenamkan wajah di dadanya. Aroma parfum yang Anjar kenakan sangat berbeda, beraroma khas dan familiar di hidungku. Hal itu membuat aku tahu bahwa ia adalah Anjar, tanpa perlu melihat.
"Iya, Sayang. Ini aku."
"Anjar, aku ingin istirahat di rumah Ayah malam ini. Apa boleh?" tanya ku lirih setengah memelas.
"Iya, Sayang. Tentu saja," jawab Anjar sambil memeluk tubuhku dengan erat. "Kalau gitu, aku antar kamu sekarang ya! Dan tolong, jangan menangis lagi!"
Aku mengangguk-anggukkan kepala tanda setuju dengan permintaan Anjar. Lagipula aku tidak ingin membebaninya dengan pikiran yang macam-macam.
"Sayang, sebaiknya kamu tetap di sini saja untuk menemani Mama karena beliau hanya sendirian di dalam ruangan. Lagipula aku kan bawa kendaraan sendiri, nanti malah repot bolak-balik mengurus kendaraan. Kamu tenang aja, Sayang. Aku nggak apa-apa kok. Aku adalah Cantika milikmu yang kuat." Aku berkata sambil tersenyum.
"Tapi, Sayang. Apa kamu yakin?" tanya Anjar sambil menatap dan mengusap air mataku.
"Tentu saja, jangan khawatir!"
"Baiklah kalau begitu. Hati-hati ya! Satu lagi, aku sangat mencintai kamu, Cantika."
"Aku juga sangat mencintai kamu, Anjar."
Anjar menggandeng tanganku dan mengantarkan ku hingga ke area parkiran. Dengan kecupan kecil yang ia berikan di dahiku, membuat aku menjadi lebih tenang, santai, dan lebih bahagia.
"Tunggu aku di rumah Ayah ya, Tika! Aku segera menyusul mu setelah Mama ada yang menemani," ujar Anjar dan aku menganggukkan kepalaku karena setuju dengan rencananya. Entah apa yang akan terjadi setelah ini? Aku sama sekali tidak kecewa.
Bersambung.