Muka Dua

1156 Words
Muka Dua Anjar sudah terlelap di sampingku. Sementara itu, aku masih menikmati wajahnya yang tampak jauh lebih tenang dan nyaman. Senyumku tertarik sempurna, seusai dengan kebahagiaan yang aku rasakan malam ini. Pink "Kak, kamu santai aja di rumah. Biar sampai besok sore, Maya dan Bram yang menjaga Mama. Kakak pasti capek kan?" Aku membaca chat dari Maya yang tiba-tiba muncul di hp ku. "Oke," jawab ku tanpa ingin basa basi. Hemh, aneh sekali. Biasanya Maya dan Bram sama sekali tidak peduli dengan rasa lelah ku dan Anjar. Tapi ya sudahlah, mungkin memang saatnya aku dan Anjar beristirahat dan menghabiskan banyak waktu bersama. Lagipula, aku yakin Maya dan Bram mampu menjaga dan mengurus Mama dengan baik. Kata ku sambil melingkarkan tangan di perut Anjar yang terasa keras. ***** Pagi menjelang, tapi nampaknya Anjar masih belum ingin bangun. "Sayang, sudah pukul 08.00 WIB," ucap ku berbisik di telinga Anjar. Aku terpaksa membohongi Anjar agar ia tidak terlambat untuk bertugas. Padahal saat ini, masih pukul 06.30 WIB. "Emh. Sejak kapan kamu pandai mengerjai aku, Sayang?" tanya Anjar sembari memiringkan wajah dan tubuhnya. "Bagaimana kamu bisa tahu, Sayang? Kamu kan belum membuka kedua matamu sama sekali sejak tadi," ucap ku heran sambil menyisir rambut Anjar ke belakang dengan jari tangan kiri ku. "Rahasia itu, Sayang ku." "Ya sudah, kalau begitu aku bangun duluan ya Anjar karena aku ingin sekali membersihkan diri yang terasa lengket sejak tadi malam. Kamu istirahat aja dulu sebentar lagi, biar nanti aku yang bawakan sarapan ke kamar." Aku segera menjauhkan tubuhku dari Anjar, namun saat aku hendak berdiri, Anjar menarik tangan kanan ku dengan kuat dan membuat aku terjatuh di ranjang dengan lembut. "Siapa bilang kamu boleh berdiri dan meninggalkan aku, Sayang? Aku masih ingin bersamamu dan memelukmu, jadi jangan macam-macam ya!" "Sayang, nanti aku telat Anjar. Aku nggak mau lho diketawain lagi seperti kemarin. Kamu nggak tahu kan apa yang terjadi gara-gara perkataanmu itu? Aku jadi malu kalau mengingatnya kembali," ucap ku manja sambil terus menjauhi tubuhku dari pelukan Anjar. "Aku tidak peduli, Sayang. Yang aku inginkan saat ini adalah kamu disini bersamaku dan aku bebas memelukmu dalam waktu yang aku inginkan. Kamu itu istriku, Cantika." "Heeemh, baiklah. Sepertinya aku tidak punya pilihan," ucap ku dengan senyum yang lebar. Saat aku memasrahkan tubuhku disisi Anjar, Anjar langsung menarik tali lingerie yang aku kenakan. Dia menurunkan pakaian ku hingga ke bawah pusat, lalu Anjar membenamkan wajahnya di buah dadaku sambil memeluk dengan erat. "Anjar, Sayang apa lagi yang ingin kamu lakukan? Jangan macam-macam ya! Aku tidak ingin terlambat." "Tidak, tenang saja! Aku hanya ingin begitu dekat dengan napas dan detak jantungmu. Aku ingin menjadi laki-laki yang begitu lekat dengan kulit tipis mu ini, dalam kurun waktu yang cukup lama, Sayang," goda Anjar yang terus membenamkan wajahnya di belahan d**a ku. "Kamu seperti anak kecil, Anjar. Suatu saat nanti jika kamu sudah memiliki bayi, kamu tidak boleh melakukan hal ini lagi ya!" kata ku sambil memeluk kepala Anjar dan mengelusnya dengan lembut. Tapi Anjar malah semakin kuat memelukku sembari membenamkan wajahnya. "Boleh dong. Aku akan berbagi dengan bayinya." "Sayang, nanti sepulang kerja kita ke rumah sakit ya. Aku ngak enak hati lho sayang, soalnya kita seperti tidak perduli pada Mama. Takutnya beliau menganggap kita tidak pernah menjenguknya." "Apapun yang kamu inginkan, Cantika sayang." "Ya ampun Anjar, kamu manggil aku kayak gitu. Tiba-tiba aku jadi teringat dengan n****+ deh, apa kabar ya itu anak? Kangen banget rasanya. Lagipula semenjak aku di rumah ini dan bekerja, aku sama sekali tidak pernah bertemu dengan Sherly dan juga yang lainnya." "Sabar Sayang pasti ada waktunya. Nanti kita ajak Serly dan yang lainnya untuk makan malam bareng. Sekarang, aku mohon kamu diam sejenak karena aku ingin menikmati waktu bersamamu dalam ketenangan!" "Anjar iiih, kamu kayak nggak pernah ketemu aku aja. Jangan ngomong kayak gitu deh! Rasanya kita jadi jauh banget dan kamu seperti ingin meninggalkan aku. Aku tidak suka bahasa mu itu, Sayang," ucap ku sambil memeluk Anjar semakin erat. Tiba-tiba ada rasa nyeri dan takut di dalam hatiku saat mendengarkan ucapan Anjar. Entah apa yang akan terjadi, aku tidak tahu tapi ini seperti mendapat firasat buruk dan aku tidak ingin terjadi. Apapun akan aku lakukan. Apapun akan aku ganti kan untuk terus dapat bersamaan suamiku. Aku tidak bisa hidup tanpanya dan aku sangat mencintainya. Ya Tuhan, tolonglah ... jaga suamiku, aku mohon. Sekitar 30 menit berlalu, alarm di handphone Anjar berbunyi dan itu membangunkannya dari pelukanku yang hangat. "Waktunya kerja, Sayang. Sebenarnya aku sangat malas sekali, tapi aku harus mengumpulkan banyak uang untuk biaya kehidupan kita dan anak-anak. Asal kamu tau saja Tika, sebenarnya aku sangat ingin sekali kamu berhenti bekerja dan hanya fokus mengurus aku dan anak-anak yang banyak suatu saat nanti." "Kalau itu yang kamu inginkan, Anjar. Maka aku akan melakukannya dengan iklas." "Serius?" "Iya ... ." "Aku sangat mencintai kamu, Cantika." "Aku juga sangat mencintai kamu, Anjar. Selalu dan selamanya." Setelah aksi bersama dalam curahan hati mengenai rasa cinta, aku dan Anjar pun segera membersihkan diri. Kami melakukannya berbarengan dan itu sangat membuat kami bahagia. Sepanjang aksi mandi, kami saling menggoda dan menyentuh dengan nakal. Kami juga melakukan apapun yang membuat kami kembali gairah, namun tetap bertahan tanpa bercinta. Walau begitu, kami sangat menikmati setiap momen bersama, meskipun itu sangat menyiksa. Aku harap, kami dapat menikmati semua ini hingga menua dan hilang bersama. Sementara situasi di Rumah Sakit ketika mama sudah membuka kedua matanya. Mama memperhatikan setiap orang yang berada bersamanya, beliau tampak kecewa karena tidak melihat Anjar disisinya. "Maya, kenapa Anjar tidak datang kemari untuk menjenguk Mama? Apa selama ini dia juga seperti ini, bersikap acuh tak acuh dan tidak peduli terhadap Mama?" "Ya begitulah Mam, mau gimana lagi? Kak Anjar lebih memilih bersama Kak Cantika di rumah. Ya, yang jelas Mam, mereka selalu bersenang-senang berdua. Apa lagi Kak Cantika, dia terlihat seperti Ratu yang sangat berkuasa di rumah itu semenjak Mama dirawat di Rumah Sakit dan tidak sadarkan diri." "Begitu ya? Terima kasih ya, Maya. Untung saja ada kamu disini yang mengurus dan menemani Mama selama ini. Kamu memang anak menantu yang terbaik Maya dan Mama memang tidak salah pilih," ucap Mama sambil menelan air liurnya yang berat dengan wajah yang terlihat marah. "Nggak masalah Mam, ini kan sudah tugas dan kewajiban Maya. Lagipula, sejak dulu Maya kan sangat menyayangi Mama." "Mama sangat beruntung memiliki kamu sebagai istrinya Bram. Mama sangat tidak menyangka Anjar bisa bersikap seperti ini terhadap Mama. Ini seperti bukan Anjar yang Mama kenal, ini bukan Anjar anak Mama." "Sudahlah, Ma. Yang terpenting, sekarang Mama sudah sadarkan diri dan apa yang Maya katakan barusan, tidak perlu lagi Mama bahas. Maya nggak mau terjadi salah paham dan pertengkaran. Maya hanya berusaha mengatakan semua kebenarannya." Kurang ajar, ternyata wanita itu sudah mengubah anak ku yang baik menjadi anak yang berperilaku buruk. Bahkan dia tidak peduli pada Mamanya sendiri yang tengah terletak tidak berdaya. Ujar Mama di dalam hati, sembari meneteskan air mata dari kedua sudut matanya yang redup. Bersambung ...
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD