Pukul 17.00 WIB. Aku menatap lurus ke depan tanpa mampu menangkap informasi yang diberikan oleh pembawa persentase. Otakku hanya pada Anjar, kata-kata darinya selalu terngiang-ngiang di telingaku seperti gasing listrik otomatis berkekuatan tinggi.
Berkali-kali aku mencoba untuk fokus, tapi hasilnya selalu saja nihil. Anjar ... awas kamu ya! Nanti malam aku akan balas dendam. Ucap ku di dalam hati sambil tersenyum sendiri.
"Cantika."
"Iya Anjar, Sayang," jawab ku spontan saat dipanggil oleh seseorang dan ternyata adalah direktur utama perusahaan.
"Ha ha ha ha ha." Terdengar suara tawa lepas di dalam ruangan dimana kami berkumpul untuk meeting dan itu menyadarkan aku bahwa yang menyapa ku bukanlah Anjar melainkan Direktur utama perusahaan.
"Maaf, maaf, maaf Pak. Saya benar-benar tidak sengaja," ujar ku sambil berdiri dan menundukkan kepala cukup lama hingga beliau juga tertawa sebelum aku berpikir jika beliau marah besar kepadaku.
"Haduh ... sebaiknya kita pending 30 menit untuk beristirahat ya," ucap Direktur utama perusahaan yang syukurnya dapat mengerti keadaan ku dan tidak langsung marah. "Kalau pengantin baru memang begitu. Lagi seru-serunya dan sayang-sayangnya. Saya dulu juga begitu."
Suara tawa masih terdengar di telingaku. Kali ini aku sangat merasa bodoh dan aku jadi menyadari bahwa selama ini, otakku dan tubuhku sudah sangat merindukan Anjar. Walaupun mulutku selalu berkata tidak, sudahlah, cukup, ataupun tidak masalah.
Ya ampun, aku benar-benar malu saat ini. Apa yang sudah aku lakukan? Ini tampak sangat bodoh. Kesalahan yang fatal dan aku merasa semua orang tengah menatap sambil mengolok ke arah ku.
"Anjar, awas kamu ya. Aku benar-benar sudah geram," ucap ku dengan suara yang kecil sambil berjalan keluar dari ruangan dan mengepal tanganku karena merasa gemas.
*****
Pukul 19.40 WIB, urusan di kantor sudah selesai. Aku pun bergegas untuk pulang, apalagi Anjar baru saja mengirimkan aku sebuah foto selfie yang memperlihatkan dirinya sudah berada di dalam kamar dalam posisi santai di atas tempat tidur dan menuliskan kata di bawah foto yang ia kirimkan.
"I am ready." Aku membaca tulisan bergerak miring berwarna merah tersebut dengan suara yang kecil. "Dasar nyebelin," lalu aku tersenyum karena sudah membayangkan bagaimana malam ini akan berakhir.
Hampir pukul 21.00 WIB, aku baru tiba di rumah. Tanpa memperhatikan sekeliling, aku langsung menuju kamar dimana Anjar telah menungguku.
Ceklek
"Kebiasaan banget, sedang tidur pintu kamar enggak pernah dikunci," gerutu ku sambil melangkah masuk ke dalam kamar.
Sesampainya di dekat tempat tidur, aku melihat Anjar sedang tertidur pulas. Tidak ingin mengganggunya, aku berpikir untuk segera membersihkan diri terlebih dahulu.
Dengan segera, aku masuk ke dalam kamar mandi untuk memberikan kesegaran pada tubuhku. Sekitar 20 menit membersihkan diri, lalu aku keluar dari kamar mandi dan melihat Anjar masih tertidur pulas.
Siap mengeringkan tubuh, aku langsung mengenakan lingerie merah muda pemberian Serly. Aku berdiri sambil menatap cermin, pakaian ini sangat menggoda. Aku yakin saat Anjar bangun nanti, dia akan memulai kegilaannya seperti biasa. Ucapku di dalam hati sambil tersenyum.
Dengan santai dan perlahan, aku merebahkan tubuhku di samping Anjar. Rasanya sangat tidak tega membangunkan nya kali ini, jadi aku membiarkan saja ia beristirahat terlebih dahulu sesuka hatinya. Walau di sisi lain, aku juga berharap malam ini akan menjadi malam yang indah seperti yang Anjar katakan kepadaku.
Satu jam berlalu. Tidak seperti biasanya, kali ini aku merasa sangat gelisah dan sangat menginginkan sentuhan-sentuhan Anjar yang bisa membuat aku meraung dan menggila. Aku mencoba untuk tenang dan menutup kedua mataku, tapi ini sangat sulit. Dengan gelisah, aku terus berputar-putar dan membolik-balik tubuhku.
Tidak tahan lagi, aku memutuskan untuk duduk dan menggoda Anjar terlebih dahulu. Tidak ada pilihan, aku harus melakukannya! Daripada aku tidak bisa tidur gara-gara memikirkan hal ini. Ucapku di dalam hati, sembari mengumpulkan keberanian.
"Huuuh ... ." Aku menarik napas panjang dan membuangnya perlahan.
Dari sisi, aku menarik selimut yang Anjar kenakan untuk menutup seluruh tubuhnya hingga batas leher. Anjar mulai tampak bergerak dan wajahnya menoleh ke arah ku. Tanpa pikir panjang, dengan cepat aku menempelkan bibirku pada bibir Anjar dengan penuh perasaan.
Pada saat aku melakukannya, aku melihat Anjar melipat dahinya sambil berusaha membuka kedua matanya. Satu hal yang aku tahu, jika Anjar telah membuka matanya maka aku akan kalah telak malam ini.
Anjar membuka matanya dan melihatku dengan tatapan yang tajam. Tak perlu menunggu waktu yang lama, ia pun melakukan perlawanan langsung dan mulai membakar hasratku.
"Aku mau kamu, Cantika," ucap Anjar yang mulai menggiring hasratku menuju ke puncaknya.
"Ahhh," desah ku mulai mengisi mulutku yang penuh dengan hawa hangat karena sudah tergoda.
Anjar mulai menikmati bagian leher hingga dadaku sembari menurunkan tali seukuran lidi di pundakku. Seperti bayi raksasa, Anjar mulai menikmati bagian ujung buah dadaku yang berwarna coklat kemerahan dengan penuh perasaan.
Dadaku naik turun menahan kegelisahan yang telah tercipta. Anjar memang rajanya bagiku dan ia selalu saja tahu harus apa dan bagaimana. Rintih ku terdengar cukup kuat di telingaku sendiri, seiring dengan sentuhan Anjar yang bertambah.
"Sayaaang."
"Teruslah merintih dan menggeliat, Sayang ku!" Anjar berkata sembari melepaskan mulutnya dari buah dadaku dan ia langsung memindahkan bibirnya pada mahkota milikku yang paling berharga.
Kecupan dan lumatan nakal terasa menggelitik hingga ke seluruh bagian tubuhku. Seperti seekor ular betina, tubuhku meliuk-liuk di atas tempat tidur dan mulai basah akibat keringat.
Sepuluh menit berlalu, aku terus memohon kepada Anjar untuk melepaskan permainan bibirnya dari bagian sensitif milikku. Tapi ia tidak bersedia melakukannya. Aku mulai melemah dan kelelahan sesaat setelah mengeluarkan air bening milikku yang terasa berat.
Sambil menatap tajam, Anjar langsung memberikan ku dorongan dan hentakan bertubi-tubi. Persis seperti malam pertama kami dan aku sangat menikmatinya. Tidak ingin bahagia sendiri, aku pun memberikan perlawanan dengan menggoyangkan pinggulku dan membalas setiap gerakan Anjar yang kuat.
"Cantika, Sayang. Rasanya luar biasa, ini sangat hebat," ucap Anjar memicu semangatku yang semakin menjadi.
Sesekali kami saling mengatur napas untuk mencapai ketenangan kami. Aku menatap mata suamiku yang sudah menyipit dan berbinar. Aku tahu, sebenarnya ia sudah mencapai batasnya. Namun ia terus bertahan untuk memberikan kepuasan kepadaku.
Menyadari hal tersebut, aku mulai mengecup bibir Anjar dan tidak melepaskan bibirku dari bibirnya. Aku terus memacu napasku agar ia bisa merasakan perasaan dan rinduku yang teramat dalam pada dirinya. Sangat lama bertahan (40 menit), Anjar tidak lagi kuasa menahan puncaknya dan ia pun mengeluarkan lahar putih miliknya yang berharga.
Anjar beranjak dari tubuhku dan berbaring di samping. Aku tau dia sangat kelelahan, ini hampir 60 menit bersama pemanasan yang ia lakukan. Ucap ku di dalam hati sambil menatap ke arah jam dinding.
Dengan sigap, aku memeluk tubuh suamiku yang tampak lelah dengan erat. Hal itu tampaknya membuat Anjar nyaman dan ia langsung tertidur dengan nyenyak.
"Good night my husband, emuach," ucap ku berbisik dan Anjar tampak tersenyum dengan matanya yang tertutup.
Bersambung.