Seorang wanita setengah baya, yang merupakan pegawai rumah Arsa, baru saja selesai mempersiapkan makan malam di ruang makan. Dia langsung bersiap-siap ke luar dari ruang makan saat Dimas, Arsa dan Kinanti memasuki ruang makan.
Ruang makan rumah Arsa sangat luas. Ada meja makan persegi empat panjang dengan banyak kursi. Tampaknya, kursi-kursi itu jarang sekali diduduki oleh banyak orang. Akhir-akhir ini hanya Arsa dan Kinanti yang makan di ruang makan itu. Seperti biasa Arsa duduk di kursi utama tepat di tengah ujung meja dan Kinanti yang selalu duduk di samping kanannya. Jika Dimas ataupun Kinanti tidak berada di rumahnya, maka hanya Arsa seorang diri yang duduk di sana. What a lonely old Arsa. Arsa kini berusia tujuh puluh. Istri terakhirnya meninggal lebih dari sepuluh tahun yang lalu.
Kini ada tiga orang yang duduk di hadapan meja makan yang sudah terhidang makan malam. Arsa duduk di kursi utama, Dimas dan Kinanti duduk di sisi kanan dan kiri Arsa.
Ketiganya terdiam. Tampak Arsa membantu menghidangkan makan malam untuk Kinanti. Kinanti sendiri hanya menurut dan berucap terima kasih seadanya. Tidak ada kesan antusias dari Kinanti terhadap perlakuan manis calon suaminya tersebut. Dia tampak acuh tak acuh dan menganggap enteng.
Dimas pun merasa jengah dengan perlakuan sepihak yang diterima papanya, yang terus menerus memanjakan Kinanti, sementara Kinanti sendiri sama sekali tidak membalas dan terkesan sangat cuek. Setidaknya itu yang diamati Dimas.
Dimas yang tidak tahan, dengan sengaja meradukan sendok dan garpu di atas piringnya hingga terdengar bunyi berisik. Ini sangat tidak sopan dalam etika makan.
Arsa menatap tajam ke wajah datar Dimas.
“Ada apa denganmu, Dimas?” bentak Arsa dingin. Bentakan yang tidak terduga dan lumayan menakutkan. Tampak wajah bengisnya tertuju ke wajah Dimas. Dia sama sekali tidak menyukai sikap Dimas yang kasar saat makan malam. Ini adalah pertemuan perdana Dimas dan calon mama tirinya, yang seharusnya menyenangkan. Sikap kasar Dimas sangat mengganggu dan merusak selera makan.
Dimas tidak langsung melawan sikap papanya. Dia tatap wajah gusar papanya sembari menarik napas cukup dalam.
"Maaf, Pa. Tapi kenapa Papa harus repot-repot menghidangkan makanan untuk Kinanti … dia bisa melakukannya sendiri kan?" tanya Dimas yang tidak senang akan sikap papanya yang terlalu memanjakan Kinanti. Baginya hal itu sangat berlebihan. Dimas tidak bisa menutup-nutupi perasaan tidak senangnya terhadap Kinanti.
Kinanti diam saja meskipun dia disinggung Dimas secara langsung. Dia menundukkan kepalanya dalam-dalam menyembunyikan ekspresi wajahnya.
Arsa benar-benar marah. Dia pukul meja makan sekuat tenaganya.
"Papa kenyang, Dimas. Kamu ikut Papa ke ruang kerja!" bentaknya menggeram marah.
Arsa bangkit dari duduknya dan pergi meninggalkan ruang makan begitu saja, menuju kamar kerjanya yang berada di lantai dua rumahnya.
Rumah megah milik Arsa bak villa, terdiri dari tiga lantai. Aula dan dapur berada di lantai pertama. Ada dua kamar tidur, ruang tamu dan ruang kerja di lantai kedua. Kamar Arsa sendiri berada di lantai tiga, juga ada ruang medis di sana. Dan Dimas biasanya tidur di kamar yang berada di lantai dua.
Melihat papanya yang marah, Dimas pun berusaha menenangkan diri. Maklum, Arsa memiliki riwayat penyakit jantung hipertensi. Dia tidak boleh marah atau kelelahan karena akan memperburuk kesehatannya.
Kepala Dimas terangkat dan tatapannya tertuju ke pintu ruang kerja yang berada di lantai atas. Dia sadar bahwa papanya benar-benar marah kali ini.
Dimas dengan cepat bangkit dari duduknya dan melangkah menuju tangga. Namun, tiba-tiba langkahnya tertahan. Dia berbalik arah menuju meja makan dan mendekati Kinanti yang masih duduk dengan kepala tertunduk.
“Aku tau kamu tidak suka papaku. Kenapa kamu memaksakan diri menikah dengannya? Aku bisa ajukan tawaran yang sangat menarik. Aku hanya ingin kamu segera tinggalkan papaku!” desis Dimas tajam dan dingin.
Kinanti tidak berkata sepatah katapun menanggapi perkataan dingin dari Dimas. Dia perlahan meraih sendok dan garpu dan kembali menikmati makan malamnya.
Dimas mendengus kasar sambil membuang mukanya dari wajah cantik Kinanti. Dia bergegas menuju tangga dan menaikinya.
Dimas ketuk pintu ruang kerja papanya.
“Masuklah!” seru Arsa dari dalam ruangannya.
Dimas melangkah masuk setelah membuka pintu ruang kerja dan menutupnya kembali.
Tampak Arsa duduk di sofa tepat di sebelah meja kerjanya. Dia masih dengan raut wajah kecewa saat menatap Dimas.
Arsa tidak bisa lagi menyembunyikan amarahnya saat Dimas duduk bersebrangan darinya.
“Sudah hampir satu bulan dan kamu masih tidak menyetujui pernikahan Papa dengan Kinanti!"
Dimas memejamkan matanya sejenak. Dia heran akan sikap papanya yang sangat yakin bahwa Kinanti benar-benar ingin menikah dengannya.
“Papa, Kinanti sangat muda sekali. Lebih dari empat puluh tahun muda dari Papa. Begitu mudahnya dia menyetujui lamaran Papa ketika usaha keluarganya bangkrut dan terlilit banyak hutang....” Dimas mulai mengungkapkan kegelisahannya.
“Kamu pikir Papa tidak tau tentang hal itu?” balas Arsa yang masih tidak memahami apa yang Dimas khawatirkan mengenai pernikahannya dengan Kinanti. Sebelumnya Arsa sendiri sudah menceritakannya. “Papa yang menawarkan bantuan kepada Wiryawan. Papa memang berinisiatif melamar Kinanti. Papa sama sekali tidak mengharapkan jawaban iya dari Kinanti, justru dia sendiri yang mengiyakan,” tegas Arsa. Wiryawan adalah nama Papa Kinanti.
Dimas hela napas berat.
“Dia tidak menyukai Papa. Papa terlalu tua memiliki hatinya,” ujarnya sesal.
Menurut Dimas, sekalipun niat Kinanti ingin membalas kebaikan papanya yang telah membantu keluarganya, tetap saja itu bukan kasih sayang tulus, apalagi cinta.
Dimas berpikir keras mengenai hubungan papanya dan Kinanti. Dia sadari bahwa cinta, perhatian dan kasih sayang tidak mungkin tergantikan dengan materi apapun, terutama uang. Tubuh dan akta nikah bisa terbayarkan dengan uang, tapi hati tidak.
Tudingan Dimas menyinggung perasaan Arsa. Arsa tatap Dimas yang duduk bersebrangan sembari menghela napas berat.
“Papa memang sudah sangat tua, Dimas. Papa sadari itu. Tidak jelas berapa lama lagi Papa hidup di dunia ini. Sementara kamu terlalu sibuk mengurus perusahaan.”
Dimas menelan ludah. Sedikit sedih mendengar ucapan papanya. Tapi dia masih saja muak dengan Kinanti.
"Papa. Kalaupun Papa butuh teman, aku bisa bayar orang lain untuk menemani Papa. Nggak harus dengan pernikahan kan? Apalagi dengan Kinanti?” ujarnya sedikit meninggi.
Arsa menggelengkan kepalanya setelah mendengar perkataan Dimas, “Kamu nggak ngerti, Dimas. Kamu nggak paham sama sekali. Ada perbedaan yang sangat besar antara Kinanti dan orang yang kamu upah untuk menjaga Papa. Kinanti anak yang baik hati,” jelas Arsa penuh keyakinan.
Dimas amati wajah papanya yang menyimpan keinginan besar untuk menikahi Kinanti. Dia tidak menyetujui pendapat papanya mengenai Kinanti. Dimas malah semakin yakin bahwa Kinanti sangat pandai memikat hati dan perasaan papanya yang sudah tua itu sehingga papanya terpikat dan tak bisa lepas lagi darinya.
Dimas menyerah. Sepertinya saran dan bujukannya tidak berhasil membuat papanya mengubah keputusan untuk tetap menikah.
"Kalo yang kamu khawatirkan adalah saham grup perusahaan, Papa bisa mengaturnya. Seluruh saham atas nama Papa akan Papa alihkan kepada kamu setelah Papa resmi menikah. Papa dan Kinanti akan berbagi real estate saja,” putus Arsa akhirnya.
Saham terbesar Arsa adalah Biantara Group, yang bernilai hingga ratusan juta dollar. Akan tetapi, Arsa bukan orang yang bodoh dan boros. Real estate yang dia maksud hanyalah tujuh atau delapan mobil mewah serta sebuah rumah megah yang sekarang dia tempati. Jikapun pernikahannya berujung perceraian, tidak akan banyak yang bisa didapatkan Kinanti.
Bersambung