Sebuah Kesepakatan

1004 Words
Dimas tidak yakin dengan apa yang dikatakan papanya barusan. Dia masih saja menganggap bahwa Kinanti adalah seorang perempuan yang sanggup menjual tubuh dan pesonanya demi uang. “Aku ragu dia akan menyetujuinya,” ujar Dimas pelan. “Dia akan menyetujuinya. Jangan khawatir, Dimas. Papa akan panggil pengacara ke rumah ini untuk membuat surat perjanjian pranikah sekaligus surat-surat pengalihan seluruh saham perusahaan Papa kepada kamu. Kamu juga harus datang,” ujar Arsa jelas. Dimas merenungi kata-kata papanya yang penuh janji itu sejenak. Beberapa saat kemudian, dia mengangguk menyetujui rencana papanya. Arsa memperhatikan reaksi Dimas dengan seksama. Dia mengerti apa yang putra satu-satunya itu khawatirkan. "Dimas, Papa ini laki-laki … dan Papa merasa kesepian. Papa menyukai Kinanti. Papa sangat berharap kamu menyetujui pernikahan Papa dan dia, dan kita bisa menjadi keluarga yang rukun,” ujar Arsa pelan penuh harap. Arsa adalah orang yang sangat kuat di sepanjang usianya. Dia sangat jarang mau mengalah dari lawan bicara yang mendesaknya. Sepertinya, inilah saat yang tepat untuk membujuk Dimas agar mau menerima pernikahannya dengan Kinanti. Dimas dengarkan kata-kata lembut papanya dan mencernanya, sembari mengamati wajah tua papanya. *** Arsa benar-benar menepati janjinya hari ini. Dia memanggil pengacara untuk membuat surat perjanjian pra nikah, serta tim penasihat hukum khusus menangani kesepakatan pengalihan saham perusahaan besarnya. Dimas dengan segera meminta Tari untuk membatalkan semua rapat dan pertemuan di kantor sehari sebelum dia menuju kediaman papanya di Alam Sutra. *** Dimas dan Arsa adalah pebisnis lama yang handal dalam membuat kontrak perjanjian. Semua pihak yang diperlukan sudah hadir tepat waktu di rumahnya. Dimas merasa sangat puas saat melihat isi surat perjanjian pranikah papanya dan Kinanti. Di surat itu dinyatakan bahwa Kinanti hampir tidak bisa mengambil keuntungan apapun dari pernikahan resminya ini. Namun sebaliknya, justru Arsa merasa iba dan kasihan terhadap sosok Kinanti yang akan menjadi istrinya dalam waktu dekat. Arsa ingin sekali memberi hadiah kepada Kinanti dan keluarganya, setidaknya sebagai mahar pernikahan, berupa tiga rumah toko yang berada di daerah strategis di wilayah pusat kota Jakarta bagian Selatan. Niat Arsa ini ditolak Kinanti. Kinanti menyadari bahwa Arsa sudah banyak membantu keluarganya. Dia pikir calon suaminya tersebut tidak perlu berlebihan memberinya apapun lagi. Kinanti tetap membaca surat perjanjian yang akan dia tandatangani dengan seksama. Tampak jari-jari putihnya yang lentik memegang ujung lembar halaman surat perjanjian. Mata indahnya serius melihat-lihat isi surat kontrak yang disepakati dan diaktakan. Dia sangat hati-hati saat membaca isi surat dan mencernanya. Yang cukup mengejutkan Dimas adalah ketika Kinanti mengajukan beragam pertanyaan kepada tim pengacara, terkesan sangat professional. Kinanti juga terlihat sangat pandai bersikap. “Bukannya kamu mahasiswi sejarah?” tanya Dimas ingin segera mengusir rasa penasarannya terhadap sosok Kinanti. Sebelumnya, Kinanti diperkenalkan papanya sebagai mahasiswi Universitas Negeri bidang sejarah. “Hm … mahasiswi sejarah yang faham hukum?” sindirnya pelan. Kinanti melirik Dimas sekilas, lalu dengan cepat perhatiannya tertuju kembali ke lembaran-lembaran surat perjanjian. Ekspresi wajahnya sangat datar dan sulit ditebak, lalu menyatakan sesuatu yang tidak mengenakkan, "Aku hampir tidak memahami isinya ini sama sekali," balasnya pelan tapi sengit. Tampaknya dua pengacara Arsa tahu bahwa Dimas tidak terlalu menyukai calon mama tirinya ini. Terlihat dari gestur wajah mereka yang sesekali melirik dan memperhatikan Dimas dan Kinanti. Tapi mereka tidak ingin terlibat atau ikut mencampuri urusan keluarga klien mereka tersebut dan memilih pura-pura tidak mendengar apa yang keduanya bicarakan. "Masa sih nggak paham sama sekali?” desis Dimas, masih dengan nada menyindir. Paham akan situasi yang tidak nyaman antara Dimas dan calon Mama tirinya, dengan cepat para pengacara berusaha mengalihkan perhatian semua orang yang ada di sana. Akta perjanjian pranikah sudah selesai, lalu lanjut pengalihan saham perusahaan. *** “Kebetulan hari ini Kinanti pulang ke rumah keluarganya di Bintaro. Kamu kan sedang tidak tinggal di rumah Papa dan akan pergi juga, Papa harap kamu antar dia pulang ke sana,” ujar Arsa ke Dimas yang sudah bersiap-siap pergi dari ruang tamu. Tampak Kinanti menuruni tangga dari kamarnya, dengan tas selempang berukuran sedang. Dia mendengar perintah Arsa ke Dimas untuk mengantarnya pulang. Dia lirik Dimas yang sudah berdiri di mulut pintu utama. "Nggak perlu, Pak Arsa. Aku naik taksi saja," tolak Kinanti. Dia yakin pasti Dimas enggan mengantarnya pulang. Meskipun Kinanti akan menikah dengan Arsa, dia tetap memanggil Arsa dengan sapaan ‘Pak’. Karena saat pertama kali berjumpa Arsa, Kinanti menyapa Arsa dengan ‘Pak’. Calon istri pemilik Biantara Grup pulang dengan taksi? Sungguh menyedihkan. Dimas menatap Kinanti yang masih berdiri di sisi tangga. "Banyak mobil di rumah ini, minta saja sopir untuk mengantarnya. Hm … aku sedang banyak urusan, Pa,” elak Dimas. Arsa berdehem sejenak. “Tunggu dulu, Dimas,” ujarnya. Sebenarnya dia ingin sekali membiarkan Dimas dan Kinanti saling mengenal. Dia sangat menyayangi anak dan calon istrinya itu. Jika keduanya tidak akur, tentu Arsa akan merasa tidak nyaman. “Kamu kan jarang sekali pulang ke rumah dan baru-baru ini bertemu Kinanti. Kamu antarlah dia pulang … saling bicara dan saling memahami,” ujar Arsa sedikit melunak. Karena papanya yang meminta dengan nada memohon, Dimas pun mengangguk kecil. Kinanti pun tidak bisa menolak. Dimas memang suka menyetir sendiri ke manapun, kecuali jika ada pertemuan bisnis penting, barulah dia menggunakan sopir pribadi. Kinanti dengan langkah cepat ke luar dari rumah menuju garasi mobil. Dia tahu Dimas tidak menyukainya. Dengan cepat pula dia membuka pintu mobil bagian belakang. "Karena Papa yang meminta kamu dan aku untuk saling mengenal, kamu sebaiknya duduk di kursi penumpang saja," ujar Dimas saat Kinanti baru saja menarik pintu belakang mobil. Dimas memang sengaja membuat perasaan Kinanti tidak nyaman dengan kata-katanya itu. Dia sudah terbiasa memerintah dan tidak ingin ada yang mendahuluinya. Maklum saja, dia sudah lama berada di posisi atas di sepanjang hidupnya, kecuali di depan papanya. Kinanti memasuki mobil Dimas dan duduk dengan patuh di bagian belakang. Mobil Dimas pun perlahan melaju keluar dari area perumahan elit Alam Sutra. Di sepanjang perjalanan, keduanya diam dan tidak saling bicara. Tampak Kinanti mengamati pemandangan luar jendela di sisinya dengan tangan memegang dagu runcingnya. Bola mata indahnya bergerak-gerak cepat seiring objek yang melintas tanpa meninggalkan jejak. Keduanya benar-benar tidak melaksanakan keinginan Arsa untuk saling mengenal dan bicara. Bersambung
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD