Keputusan Arsa menikah dengan gadis muda belia membuat para pimpinan perusahaan Biantara Group khawatir. Meskipun sikap Dimas sulit ditebak, mereka yakin Dimas sangat menentang pernikahan tersebut. Pernikahan ini adalah hal yang sensitif dan bisa mempengaruhi kinerja Dimas dan kemungkinan besar akan berujung kekacauan dalam hubungan keluarga besar Biantara sekaligus performa perusahaan. Mereka khawatir nasib buruk justru akan menimpa Dimas sendiri.
Keyakinan mereka sangat benar bahwa Dimas memang sama sekali tidak menyukai calon ibu tirinya itu, yang usianya jauh lebih muda enam belas tahun dari usia Dimas sendiri.
Tampak Tari mengeluarkan tisu dari saku blousnya, lalu menyeka keringat dingin di dahinya. Kekhawatiran akan kacaunya hubungan keluarga besar atasannya ini benar-benar menyita pikirannya.
Sementara itu, sang CEO berdiri tegap mengamati jalanan Jakarta yang selalu sibuk dan dipadati lalu lalang kendaraan melalui kaca jendela kantornya yang berada di lantai empat puluh enam pada sebuah gedung tinggi utama di kawasan SCBD Sudirman. Sorot mata Dimas yang menyipit menyiratkan kekesalan yang cukup mendalam. Dia tidak pernah menahan kekesalan seperti ini di sepanjang usianya.
Setelah cukup lama berdiri, Dimas kembali duduk di hadapan meja kerjanya, lalu mulai melihat-lihat dokumen mengenai Kinanti.
Tari memang sangat lihai dan cekatan. Meskipun Papa bosnya itu berusaha menyembunyikan kekasih kecilnya, semua informasi mengenai Kinanti tersusun rapi di hadapan Dimas sekarang.
Terlepas lengkapnya informasi mengenai Kinanti, hanya ada satu foto Kinanti yang berada di antara lembaran dokumen, itu pun hanya berupa foto identitas. Bukannya Tari tidak mampu mendapatkan lebih banyak foto Kinanti, tapi dia sangat mengenal Dimas. Tidak tahu kenapa, Tari yakin Dimas pasti marah seandainya dia perlihatkan foto-foto Kinanti yang menunjukkan sisi kecantikannya.
Rambut Kinanti yang terlihat di foto tidak terlalu panjang dan tidak terlalu pendek, ada poni di dahi. Wajah Kinanti cukup cantik dengan bibir merah yang sangat menarik perhatian bagi siapapun. Pose Kinanti dengan dagu terangkat terkesan bahwa Kinanti adalah sosok perempuan muda yang sulit didekat. Sorot matanya tampak dingin, namun ada kesan menggoda terlihat dari sudut matanya.
Dimas selama ini tidak pernah menyukai wanita lembut. Dahinya berkerut dengan sorot mata penuh sesal bercampur geram. Perasaan jijiknya akan asmara papanya dan Kinanti mencuat. “Bit*h,” kutuknya santai.
***
Dimas cukup dikenal oleh para penjaga keamanan area perumahan elit Alam Sutra. Bahkan mereka mengenali mobil yang dikendarai Dimas, sebuah sedan Lexus tipe LS. Salah satu di antara para penjaga keamanan bergegas mengangkat tuas gerbang perumahan setelah Dimas menurunkan jendela mobilnya serta melepas kaca mata hitamnya. Lalu mereka biarkan mobil Dimas memasuki gerbang. Dimas sempat pula menyapa dan melempar senyum.
“Dimas, Bos sudah pulang," seorang penjaga berperawakan cukup tua namun energik memberitahu Dimas. Sikap ramah dan akrabnya menunjukkan bahwa dia sangat mengenal Dimas dan keluarganya.
Dimas mengangguk kecil sambil lalu menekan gas mobilnya menuju kediaman papanya.
***
Kedatangan Dimas membuat seorang tukang kebun rumah Arsa menghentikan kegiatannya dan dengan langkah cepat menuju ke dalam rumah untuk memberitahu para pegawai lainnya yang bekerja di rumah Arsa. Tentunya kehadiran Dimas menyibukkan orang-orang di dalam rumah Arsa Biantara.
Baru saja Dimas hendak menyentuhkan sidik jarinya di pintu elektronik, pintu utama rumah Arsa terbuka dari dalam, dan orang yang membuka pintu itu adalah Kinanti.
Dimas tersentak kaget. Dia sama sekali tidak bahwa menyangka Kinanti yang membukakan pintu untuknya. Namun tentu saja dia pandai menyembunyikan keterkejutannya. Tak dapat dia pungkiri, wajah Kinanti sangatlah cantik.
Kinanti tampak memakai pakaian kasual sederhana, celana jins dipadu kaus oblong putih dan bersendal jepit. Dia terlihat sangat muda sekali dengan segala yang melekat di sekujur tubuhnya. Ternyata kulit tubuh Kinanti lebih putih daripada yang terlihat di foto, sehingga hitam bola matanya terkesan sangat gelap dan menggoda tentunya. Wajah cantiknya yang khas membuat siapapun sukar melupakannya.
Dimas dan Kinanti saling tatap beberapa detik, sebelum akhirnya Kinanti memberi anggukan kecil kepada Dimas, mempersilakan Dimas memasuki rumah.
Dimas biarkan Kinanti melangkah lebih dulu membelakanginya.
Dimas tatap punggung kurus Kinanti dengan bibir mencibir sebal. Namun, dia tetap mengikuti langkah perempuan muda itu hingga masuk ke ruang tamu.
Ruang tamu rumah Arsa yang bergaya Eropa sangat luas. Meski sudah lama tinggal di Indonesia, Arsa merupakan keturunan Eropa. Ada lampu gantung kristal besar yang menyinari sofa mewah nan empuk. Yang menarik perhatian, ada kucing berwarna oranye sedang meringkuk malas di atas sebuah kursi lipat di sisi sofa. Begitu melihat kehadiran Dimas, kucing itu mengeong malas berulang kali, seolah memahami situasi yang dihadapi Dimas.
“Papa,” sapa Dimas ke papanya yang duduk di salah satu sofa empuk di ruang tamu. Kinanti yang lebih dulu masuk ke ruang tamu langsung duduk dengan perasaan nyaman di sisi Arsa yang sedang menikmati teh hangat. Ada meja kecil di depan mereka berdua yang di atasnya tersedia beragam buah dan kue-kue kecil serta makanan ringan, yang semuanya tersedia untuk Kinanti.
“Kamu pulang, Dimas?” tanya Arsa basa basi. Suaranya terdengar berat dan lirih.
Arsa perlahan meletakkan cangkir teh di atas meja kecil setelah menyapa Dimas dan mempersilakannya untuk duduk.
"Papa ingin memperkenalkan kamu dengan Kinanti … dia ini mahasiswi Fakultas Sejarah di universitas negeri,” ujar Arsa sembari menggandeng tangan Kinanti dan menatap wajah cantik Kinanti dengan senyum hangatnya. “Kinan Sayang, Ini Dimas, anakku satu-satunya,” ujar Arsa.
Kinanti yang tampak tidak nyaman, menarik tangannya perlahan dari genggaman Arsa. Lalu berdiri dengan posisi menunduk sedikit ke arah Dimas.
"Saya Kinanti. Senang bertemu dengan Anda."
Kata-kata yang cukup sopan yang ke luar dari mulut Kinanti. Namun nada suara Kinanti terdengar dingin seolah menunjukkan bahwa dia sama sekali tidak antusias dengan kehadiran Dimas.
Dimas terima sikap perlawanan Kinanti. Dia semakin muak dan jijik pada gadis muda itu. Menurut Dimas, Kinanti tak ubahnya seorang wanita jalang yang dengan mudahnya menjajakan tubuhnya demi uang dan harta.
"Halo,” balas Dimas pendek.
Kinanti bukanlah orang bodoh. Dia juga tidak senang akan sikap Dimas. Dia merasa percuma bermanis muka di hadapan pria berwajah dingin.
Dengan patuh Kinanti duduk kembali di sisi Arsa, membiarkan Dimas dan papanya mulai membahas mengenai perusahaan keluarga.
Meskipun Dimas terkesan lalai akan keberadaan Kinanti saat berbincang dengan papanya, Dimas tetap memperhatikan gerak gerik Kinanti yang diam saja dan sama sekali tidak menyela pembicaraan mereka atau berbicara sepatah katapun. Kinanti juga tidak menyentuh makanan dan minuman yang ada di atas meja yang tersedia untuknya. Menurut Dimas, Kinanti cukup penurut. Akan tetapi kesan Kinanti di mata Dimas tidaklah berubah, Kinanti tetap gadis belia yang penuh kepura-puraan dan pandai menyembunyikan sesuatu.
Bersambung