Dimas membuka kotak rokoknya, mengambil satu rokok dan menyalakannya. Lalu menghisap rokoknya dalam-dalam. Dimas tatap dua pria yang membicarakannya lewat asap yang dia hembuskan.
"Saya datang ke sini untuk merokok, hm … cari angin segar."
Kedua pria saling pandang dan terdiam mendengar ucapan Dimas yang bernada dingin dan datar. Mereka pikir Dimas tidak mendengar percakapan mereka.
“Ah. Kita sudah selesai merokok, Pak Dimas. Silakan,” ucap pria yang berbaju batik biru muda. Dia melirik ke arah temannya memberi kode untuk beranjak dari balkon memasuki hotel dan membiarkan Dimas merokok dengan bebas di balkon. Kebetulan mereka berdua memang sudah selesai berbincang dan merokok.
“Ya,” decak Dimas masih dengan rokoknya. Suaranya terdengar sengau karena bibirnya yang menjepit rokok. Dan kedua pria itu mengangguk sedikit ke arahnya. Dimas hanya melirik ke arah keduanya lewat sipit mata kurusnya.
Dimas menarik tangannya yang menjepit rokok dari bibirnya. “Lain kali jangan," decaknya menyindir.
Langkah kaki kedua pria itu kontan terhenti. Mereka tergagap dan berbalik ke arah Dimas sembari menunduk hormat dan segan, "Maaf, Pak Dimas. Kami tidak akan menyinggungnya lagi,” ujar pria berbaju batik cokelat muda, dan temannya juga menyusul dengan kata maafnya. Setelahnya, mereka yang menahan malu luar biasa, dengan langkah tergesa-gesa kembali memasuki hotel.
Kini Dimas menyendiri merokok di balkon. Perasaannya yang gusar membuatnya cepat menghisap rokok dan menghembuskan asap dari mulutnya. Dalam waktu yang sangat singkat, sebatang rokok memendek cepat di ujung mulutnya.
Dimas selesaikan rokoknya dengan menekan ujung rokoknya di atas asbak yang sudah tersedia di atas sebuah meja tinggi di balkon hotel. Lalu dia gerakkan dua bahunya, meluruskan jasnya. Sejenak memastikan bau asap rokok memudar dari penciumannya, lalu kembali ke aula pesta pernikahan.
Sang Papa meninggal dan putra mahkota yang menggantikan, Dimas membatin di sepanjang langkahnya. Apakah dirinya adalah target Kinanti yang sebenarnya? Dimas masih menggumam.
Ada banyak perempuan yang ingin merayunya dan mendekatinya, tapi dengan cara seperti ini, Kinanti adalah yang perempuan pertama yang melakukan.
Perkiraan sampah dari kedua orang yang bercakap-cakap di balkon mengenai tujuan Kinanti yang menikah dengan papanya, memicu kewaspadaan Dimas. Dimas tidak pernah berpikir sejauh itu. Dimas merasa dirinya harus siap dan waspada terhadap Kinanti. Dia yakin bisa menaklukkan ambisi Kinanti, sekiranya target Kinanti sesuai yang diperbincangkan kedua pria tadi.
Namun Dimas tepis pikiran-pikiran buruknya, menggantikan dengan hal-hal cerah di masa depan. Selama tujuan Kinanti adalah dirinya, dia yakin bisa mengatasinya, dan semua akan baik-baik saja.
Dimas melangkah masuk dengan wajah waspada dan curiga. Dan kini sesi foto tengah berlangsung, pertanda acara pesta pernikahan sudah akan berakhir.
Melihat kedatangan Dimas membuat juru kamera menyarankan untuk mengambil foto Arsa dan Dimas, sebagai Anak dan Papa, tentu bersama Kinanti sebagai Mama tiri. Arsa langsung menyetujui usulan juru kamera, dia tepuk bahu istrinya.
“Kinanti, kamu ajak Dimas ke mari, kita akan berfoto bersama,” ujar Arsa dengan tatapan hangatnya.
Kinanti menurut dan mengangguk, “Baik,” balasnya pendek. Kinanti tahu bahwa Arsa bermaksud baik ingin dirinya lebih dekat dengan Dimas. Kinanti tampak menahan perasaan kikuknya karena tahu Dimas tidak menyukainya. Dia melangkah mendekat ke Dimas yang baru saja memasuki aula. Tampak Dimas berjalan sambil memikirkan sesuatu dengan kepala sedikit tertunduk, dan tidak menyadari Kinanti yang berjalan menuju dirinya dari sisi kiri tubuhnya.
Kinanti sedikit menarik jas Dimas di bagian siku, membuat Dimas sedikit tersentak dan langsung menoleh ke jari-jari putih ramping yang menarik jasnya. Bola mata Dimas memutar tertuju ke wajah cantik Kinanti.
"Ada yang salah?" tanya Dimas langsung waspada. Karena dia memang sedang berpikir tentang Kinanti.
"Di ... Pak … Pak Arsa mengajak foto bersama," ujar Kinanti mendadak gugup.
Jarangnya bertemu Dimas membuat Kinanti harus berpikir cepat untuk mencari cara yang tepat memanggil anak tirinya.
Dimas tampaknya tidak terlalu memikirkan cara Kinanti menyapanya. Matanya langsung terarah ke jasnya yang sudah kusut di bagian siku.
Dimas luruskan ujung jasnya, “Ok."
Tampak juru kamera yang sudah bersiap mengambil foto mereka mengangguk puas.
“Bu Kinanti bisa lebih mesra dengan Pak Arsa, biar nanti fotonya jadi lebih bagus,” ujar juru kamera menyarankan.
Apa yang disnggung sang juru kamera tersebut sebenarnya adalah jika Kinanti dan Arsa berdiri berdekatan, Dimas dan Kinanti terlihat seperti sepasang pengantin dan Arsa seolah menjadi Papa mertua.
Kinanti menurut dan mendekati Arsa. Akan tetapi juru kamera merasa kurang pas. Kinanti bergerak lagi, namun juru kamera masih saja merasa belum puas. Tampak Dimas tidak sabaran dan merasa sesi foto ini sangat bertele-tele.
"Bapak silakan pegang lengan Pak Arsa," ujar juru kamera ke Dimas.
Namun Dimas meletakkan tangannya di punggung papanya dan dengan lembut naik ke bahu papanya, ingin menunjukkan kedekatannya dengan papanya. Perhatian Dimas luput dari posisi berdiri Kinanti.
Ketika juru kamera menekan tombol kamera, Kinanti berinisiatif memiringkan kepalanya sedikit ke arah bahu Arsa, menyandarkan kepalanya di bahu Arsa. Tapi ujung rambutnya yang panjang tersapu ke atas punggung tangan Dimas yang berada di atas bahu papanya. Dimas tampak menahan kaget, sedikit tergelitik oleh sentuhan ujung rambut Kinanti yang terurai panjang dan indah.
Ketika sesi foto keluarga selesai, Dimas langsung menoleh ke arah Kinanti ingin mengamati ekspresi wajah Kinanti. Namun tampaknya Kinanti terus berdekatan dengan suaminya sambil memegang lengannya berdekatan, mengamati hasil foto keluarga mereka. Kinanti sama sekali tidak memperhatikan Dimas.
Dimas sedikit menggeleng menyadari dirinya yang terlalu banyak berpikir hari ini.
Dimas sapukan ibu jarinya ke kulit punggung tangannya yang telah tersentuh ujung rambut Kinanti, dengan matanya tertuju ke tubuh seksi perempuan muda bergaun bergaun biru. Dia masih saja bertanya-tanya tentang tujuan Kinanti yang sebenarnya dengan pernikahan ini.
***
Dimas berusaha menjauh dari kediaman papanya di Alam Sutra sejak papanya resmi menikah. Dia masih saja mencurigai Kinanti yang memanfaatkan papanya untuk merayunya. Dimas tidak ingin berurusan dengan Kinanti.
Namun sepertinya Tuhan tidak mau Dimas terus menerus menghindar.
Suatu sore, tepat setelah rapat di kantornya, Dimas yang beridiri tepat di depan lift, menerima telepon dari kediaman papanya di Alam Sutra. Seorang pegawai rumah tangga memberitahunya bahwa tekanan darah papanya tiba-tiba melonjak tinggi dan mengalami serangan jantung.
Dahi Dimas mengerut dan tangannya bergerak memberi isyarat ke Tari, sekretaris yang berdiri di sampingnya, untuk menyiapkan mobil. Tari yang mengerti bergegas beranjak.
"Apa Kinanti ada di rumah sekarang?" tanya Dimas yang tidak sadar siapa yang dia pertanyakan. Sekarang seluruh keluarga tentu memanggil Kinanti dengan sapaan Nyonya. Tidak ada yang berani memanggil Kinanti saja.
"Nyonya berangkat ke kampus pagi ini, Pak Dimas. Sudah saya coba hubungi Nyonya, Pak, tapi tidak ada respon," balas pegawai rumah Arsa.
"Bagus." Dimas memasuki lift dan menekan sebuah tombol. "Kamu kirim nomornya ke saya, saya akan segera menghubunginya."
Bersambung