“Oke … oke, Pak Yono. Sudah di depan gedung ya?” Tari tampak sibuk menghubungi seseorang. Dia berdiri di depan pintu lift khusus Dimas di lantai dasar.
Tak lama kemudian, pintu lift terbuka, Tari langsung mengikuti langkah tegap Dimas yang tergesa-gesa ke luar dari lift. Keduanya lalu melangkah ke luar dari gedung kantor menuju mobil sedan mewah hitam yang baru saja terparkir. Tari dengan sigap membukakan pintu belakang mobil untuk bosnya itu.
“Kamu urus sisa pekerjaan saya, Tari!” perintah Dimas.
“Siap, Pak!” balas Tari cepat dan tegap.
Baru saja mobil ke luar dari gerbang kantor, Dimas terima sebuah pesan di layar ponselnya.
“Kita ke kampus Negeri Nusantara, Pak,” suruh Dimas yang sudah menerima informasi nomor ponsel Kinanti dari pegawai rumah tangga kediaman papanya.
Dimas langsung menghubungi nomor tersebut, tapi entah kenapa dia malah berharap panggilannya tidak dijawab.
“Halo?”
Ternyata panggilan Dimas langsung disambut suara Kinanti. Suara Kinanti terdengar terengah-engah dan terdengar pula suara gemercik air serta suara resleting pakaian.
Dahi Dimas berkerut dengan hati bertanya-tanya apa benar Kinanti berada di kampus?
“Ini aku, kamu di mana sekarang?” tanya Dimas.
“Oh. Pak Dimas. Aku di kampus. Aku menerima pesan dari Bu Erni … Pak Arsa kena serangan jantung. Maaf, Pak. Aku tidak bisa menerima telepon karena sedang ada kelas. Sekarang aku bersiap-siap pulang. Aku sudah pesan taksi,”
“Nggak perlu. Aku akan menunggumu di pintu gerbang kampus. Kamu cepat ke luar!” Dimas mengangkat tangan kirinya dan melihat sekilas arlojinya. “Lima menit lagi aku sampai.”
“Oke, Pak Dimas. Aku segera ke gerbang utama.”
“Bagus.”
Kurang dari lima menit, mobil yang dikendarai Yono, sopir Dimas, berhenti tepat di depan gerbang kampus di mana Kinanti belajar.
Ternyata hari itu cukup ramai di kampus. Banyaknya mahasiswa dan mahasiswi ke luar masuk gerbang kampus membuat mata Dimas awas mencari-cari sosok Kinanti. Dalam beberapa detik, matanya berhasil terarah ke Kinanti. Dia raih ponselnya dan menghubungi Kinanti untuk memberitahu posisi mobilnya di depan gerbang kampus.
Gadis itu sedang memakai baju kaus putih dan celana selutut yang longgar, dengan sepatu tanpa kaus kaki. Rambutnya agak basah. Tampak Kinanti berjalan tergesa-gesa dan wajahnya yang terlihat sangat cemas. Sikap Kinanti yang melihat-lihat ke sekeliling cukup mengundang perhatian orang-orang.
Dimas yang berada di dalam mobil menggeram karena panggilannya tidak dijawab Kinanti. Akhirnya Pak Yono berinisiatif membunyikan klakson mobil dua kali, mengalihkan perhatian Kinanti yang berdiri beberapa meter dari mobil.
Kinanti refleks menoleh ke arah asal suara klason. Dia melangkah cepat menuju ke mobil Dimas dan membuka pintu belakang.
Kinanti langsung duduk saat berada di dalam mobil.
Kinanti tersentak kaget, dia menyangkan Dimas yang menyetir seperti sebelumnya. Ternyata dia malah duduk di samping Dimas.
“P … Pak,” gugupnya.
“Ya.”
“Bagaimana dengan Pak Arsa?” Kinanti tampak berusaha mengatur emosinya, antara cemas memikirkan keadaan suaminya yang mengalami serangan jantung mendadak dan duduk bersebelahan dengan Dimas, sosok yang dia tahu tidak menyukainya.
“Dia nggak apa-apa. Dokter datang memeriksanya tepat waktu,” jawab Dimas.
Dimas sebenarnya tidak perlu khawatir akan keadaan papanya. Arsa selalu diawasi tiga orang yang bekerja secara bergantian memantau dan mengamati keadaannya. Akan tetapi, kini keadaan papanya berbeda karena baru saja menikah dan tentu dan tidak boleh lepas dari pengawasan Kinanti.
Mendengar bahwa suaminya baik-baik saja, diam-diam Kinanti menghela napas lega. Tangannya yang mengepal kuat perlahan terbuka.
Dimas melirik rambut Kinanti yang basah. “Kamu baru mandi?” tanyanya ingin tahu.
“Oh. Aku baru saja ikut latihan renang. Aku terburu-buru, jadi nggak sempat mengeringkan rambut,” jawab Kinanti lugas.
Dimas menghela napas pendek. Dia paham sekarang kenapa dia mendengar suara gemericik air pada saat menghubungi Kinanti, juga suara resleting baju. Kinanti pasti buru-buru berkemas kembali ke rumah.
AC di dalam mobil menyala dan angin dingin datang dari semua sisi di dalam mobil. Bagi Dimas suhu AC terasa pas di tubuhnya. Tapi Kinanti? Dimas melirik ke rambut Kinanti yang masih basah. Tampak kaus putihnya terkena tetesan air yang berasal dari ujung rambut.
Dimas tergerak menyesuaikan suhu AC. “Yono. Naikkan suhu AC,” perintahnya.
Mata Kinanti mengerjap saat mendengar ucapan dari mulut Dimas. Tak menyangka Dimas begitu perhatian. Baru saja dia ingin berucap terima kasih, tiba-tiba Yono menginjak rem darurat.
Tubuh Kinanti berguncang hingga hampir mengenai kursi depan. Dia memang tidak sempat memakai sabuk pengaman karena terburu-buru saat memasuki mobil.
Dimas dengan cepat meraih pinggang Kinanti hendak mengembalikannya ke posisi semula. Karena guncangan cukup hebat, sekujur tubuh Kinanti hampir terbaring di atas pangkuan Dimas, dan tangan kiri Kinanti tak sengaja menekan bagian alat vital Dimas, tapi dia tidak menyadarinya. Sementara Dimas refleks meringis.
Momen kikuk pun terjadi antara Dimas dan Kinanti.
“Terima kasih,” ucap Kinanti saat sudah kembali duduk.
“Maaf, Pak Dimas, waktu saya menaikkan suhu AC, tiba-tiba ada anak kecil lewat di depan. Jadi saya harus menginjak rem.” Yono menjelaskan alasannya menginjak rem mendadak. Suara Yono terdengar bergetar ketakutan.
“Nggak papa.”
Kemudian, hening seketika, karena diam tak saling bicara.
Keheningan ini berlanjut hingga mobil tiba di kediaman Arsa di Alam Sutra.
***
Dimas dengan hati-hati bertanya kepada dokter keluarga tentang kondisi papanya. Ternyata tidak ada masalah serius dengan keadaan Arsa sekarang. Karena cuaca yang cukup panas akhir-akhir ini, Dokter menyarankan bahwa pria tujuh puluh tahun lebih itu sebaiknya sering-sering di ajak ke luar agar tubuhnya mendapatkan manfaat sinar matahari. Arsa juga disarankan makan makanan ringan.
Tampak Kinanti ikut menyimak dan mengingat apa yang disarankan dokter.
Tak lama kemudian, dokter tampak bersiap-siap pamit pulang.
Dimas melangkah ke luar kamar mengantar dokter menuju lantai bawah, diikuti Kinanti yang baru saja menutup pintu kamar Arsa.
Bersambung