Mencari celah terbaik

1347 Words
    Suara tawa Scott menarik Ken untuk menunjukkan siapa yang memiliki kuasa dalam hubungan Ken dengan Hanna.     “Aku tidak membutuhkan dia akan menjadi ibu yang baik atau tidak. Yang menjadi masalah utama adalah bagaimana membuatku tertarik dan bisa mengajukan lamaran padanya. Aku tidak yakin bagaimana mengatakannya sementara aku sendiri belum bisa menerima dirinya.”     “Belum bisa menerima dirinya karena kau masih menaruh curiga padanya? Kau harus singkirkan ke belakang dulu curigamu. Kau harus yakin bahwa yang kau lakukan adalah untuk kepentingan Bella dan tidak ada lagi yang lebih penting dari keponakanmu,” sahut Scott.     “Tentu. Karena satu-satunya masalah yang besar adalah hal tersebut. Bagaimana aku bisa melakukannya sementara aku tidak berhubungan dengannya. Aku yakin kalau diriku bukanlah lelaki yang dia idamkan. Hanna bahkan mengatakan pada ibuku kalau aku adalah lelaki yang sangat berbahaya karena setiap kali dia melihatku, maka aku sedang marah.”     Andai saja Scott bukan teman terdekat Ken sekaligus teman keluarga Whittaker, entah apa yang akan terjadi padanya ketika ia tertawa terbahak-bahak setelah mendengar ungkapan perasaan Ken pada Hanna dan juga sebaliknya.     “Aku tidak mengira kalau pandangan yang aku lihat pada kalian berdua ternyata sangat bertolak belakang. Siapa yang menduga dibalik sikap penurut Hanna padamu ternyata karena ia takut padamu. Apakah kau pernah menggigitnya?” selidik Scott setelah tawanya reda.     “Damm. Aku adalah lelaki terbaik yang dapat dia lihat,” jawab Ken tertawa walaupun dalam hatinya ia berharap pernah melakukannya pada Hanna.     Rossie tidak percaya melihat Ken yang biasanya kaku dan dingin ternyata bisa tertawa bebas dan bicara tanpa di pikir lagi saat berbicara tentang Hanna. Rossie yakin kalau Ken dan Hanna menjalin hubungan, maka hubungan tersebut pasti akan sempurna.     “Aku akan keluar, kau mau ikut keluar tidak,” tanya Ken setelah cukup lama mereka hanya berbincang saja.     “Kemana?”     “Menurutmu?”     “Sepertinya aku tidak akan ikut denganmu. Kecuali kalau kau mau menghubungi Hanna sehingga kita bisa ngobrol bareng.”     “Astaga. Berapa usiamu Scott. Kenapa kau bicara seperti remaja kemarin sore yang mau pergi asalkan ada wanita bersamanya.”     “Remaja kemarin sore? Kau pikir hanya remaja saja yang mau ditemani oleh wanita? Lelaki dewasa bahkan lebih penting lagi. Kau harus tahu itu!”     “Oke. Dan apa yang akan kau katakan saat menghubunginya? Jangan katakan kalau kau tahu dia bekerja di rumahku,” kata Ken mengingatkan Scott yang mencoba menghubungi Hanna.     “Bagaimana, bisa?”     “Tidak. Aku tidak tahu apa yang sedang dikerjakan Hanna saat ini.”     “Ya sudah. Kalau kau tidak mau keluar, aku mau lanjut tidur lagi. Aku kurang istirahat karena menjelang pagi aku baru sampai di rumah,” kata Ken mulai beranjak dari kursinya menuju tangga.     “Oke. Aku akan menghubungimu kalau Hanna sudah bisa aku hubungi,” kata Scott masih terus berusaha menghubungi ponsel Hanna.     “Kenapa aku bisa menyebut nama Hanna sebagai wanita yang bisa aku andalkan di depan Scott, bodoh,” Ken mengomel pelan sembari melangkah ke kamarnya sementara Scott sendiri dia tidak menghubungi Hanna, melainkan menghubungi Diana.     Scott tidak bisa menghubungi Hanna begitu saja sementara wanita itu tahu kalau dirinya salah satu tim pembela Ken saat menangani kasus Lenna. Jalan yang halus dan mudah bagi mereka bertemu adalah melalui Diana. Diana yang lebih dekat dan mengenal Hanna karena mereka sama-sama wanita selain itu Hanna seringkali terlihat segan pada Diana yang memang usianya lebih dewasa daripada Hanna sendiri.     “Hallo Di, aku bisa ketemu sama kau tidak,” kata Scott setelah sambungan telepon terhubung.     “Kapan? Hari ini kebetulan aku sedang berada di luar, mau ketemu? Kalau ya nanti aku tunggu,” sahut Diana.     “Oke. Kau sebutkan alamatnya padaku nanti kita ketemu di sana.”     “Oke.”     Senyum Scott merekah, setelah berpamitan pada Rossie, dia meninggalkan rumah keluarga Whittaker menuju tempat yang sudah diberikan alamatnya oleh Diana sebagai tempat pertemuan mereka.     Tidak perlu waktu lama bagi Scott untuk sampai di tempat Diana menunggu. Wajah wanita itu terlihat penasaran dan penuh rasa ingin tahu yang sangat tinggi. Bagi mereka yang sudah mengenal Scott, adalah sesuatu yang sangat penting bila Scott sengaja menelepon dan meminta bertemu.     Khusus bagi Diana dia selalu menganggap Scott adalah sumber masalah sekaligus sumber informasi. Walaupun Scott pernah marah padanya mengetahui Diana menganggapnya sebagai sumber masalah, tetapi setelah dijelaskan memang Scott adalah yang selalu memberi tahu informasi siapa saja teman mereka yang sedang mengalami masalah dan bagaimana membantunya. Maka Scott pun menjadi tidak marah.     Namun, melihat penampilan Scott hari ini sepertinya yang mempunyai masalah adalah dirinya dan bukan orang lain. Tapi apa masalahnya?     “Perlu aku pesankan minuman?” tanya Diana setelah Scott duduk di depannya dengan napas memburu.     “Terima kasih. Aku perlu minuman segar,” jawab Scott membuat Diana tertawa.     “Ada apa? Aku melihat penampilanmu yang kusut bukan hal aneh, tapi hari ini kau lebih parah,” tanya Diana perhatian.     “Apa kau sudah menelepon Hanna?” tanya Scott balik bertanya.     “Hanna? Ada apa dengannya?”     “Coba kau telepon dia. Tanyakan dimana dia sekarang,” perintah Scott membuat Diana curiga.     “Aneh. Bukankah dia di Indonesia, untuk apa aku tanya dia dimana sekarang,” sahutnya.     “Sudah kamu telepon dia dulu. Kalau di jawab tanya bisa ketemu ga akhir pekan ini.”     “Memangnya dia ada di sini? Sejak kapan?” Diana heran dengan perintah Scott yang menurutnya mengada-ada dan tidak masuk akal.     “Sudah telepon saja,” perintah Scott mulai tidak sabar.     Dengan wajah cemberut karena tidak mendapat jawaban, Diana menghubungi Hanna. Cukup lama teleponnya tidak diangkat sampai ia mematikannya.     “Ga diangkat,” katanya memperlihatkan layar ponselnya.     “Coba lagi.”     “Aku ga ngerti sama kamu Scott,” Diana menggelengkan kepalanya karena sikap keras kepala Scott.     Diana menunggu panggilan teleponnya dengan melihat layar ponselnya. Keningnya berkerut ketika ia teleponnya di jawab.     “Halo Selamat siang,” sapa suara yang dikenali Diana sebagai suara Hanna.     “Hanna, ini aku Diana. Kau tidak menyimpan nomor teleponku,” tanya Diana pada suara yang menjawab panggilan teleponnya.     “Diana…astaga, aku ga lihat siapa yang telepon aku. Sorry aku baru selesai merapikan kamar.”     Suara Hanna yang selalu membuat Hanna tersenyum kini justru membuat Diana heran. Kalau sekarang waktu London jam 01 siang, masa iya Hanna merapikan kamar jam 7 malam.     “Aku tidak mengganggumu kan? Aku minta maaf saat itu tidak mengantarmu pulang. Oh ya, akhir bulan ini aku akan mengunjungi Indonesia, apa kau bisa jadi pemanduku?” tanya Diana membuat Scott melotot.     Kenapa Diana harus bicara seperti itu? Sudah jelas ia meminta Diana untuk mengundang Hanna ketemuan dengan mereka.     Di seberang sana Hanna mengucapkan permintaan maafnya, “Aku minta maaf tidak bisa melakukannya untukmu sekaligus aku juga minta maaf tidak memberitahu pada kalian semua kalau aku sebenarnya ada di London.”     “Kau sudah berada di London? Sejak kapan?” Suara Diana membuat Scott geleng kepala.     “Cukup lama juga.”     “Lalu kau tinggal dimana? Apa aku bisa ke tempatmu?”     “Aku rasa tidak. Aku tinggal di asrama Lassie Universiti. Kau tentu kalau kamar yang aku huni bukan untukku saja,” jawab Hanna dengar suara menyesal.     “Aku minta maaf. Aku hanya tidak menduga kalau kau tinggal di asrama.”     “Aku harus kalau mau dapat ijin kuliah di sini,” jawab Hanna tertawa.     “Menurutmu kapan kau punya waktu?”     “Hari ini libur dan kebetulan aku tidak ada acara. Bagaimana kalau sore ini. Kita ketemu jam 3. Tempatnya kau yang tentukan,” sahut Hanna bersemangat.     “Baiklah. Aku akan memberi kabar padamu.”     “Oke, aku tunggu kabar darimu.”     “Kau sudah dengar ucapanku. Sekarang aku tanya sama kamu kenapa tadi melotot padaku?”     “Karena kau malah bicara topic yang lain,” jawab Scott tertawa.     “Dasar kau ya. Mana mungkin aku mengajaknya langsung bertemu sementara dia sendiri belum mengatakan dia ada dimana.”     “Ya aku mengerti,” jawab Scott merasa bersalah.     “Jadi, katakan padaku untuk apa kau mau bertemu denganku dan kau juga meminta aku menghubungi Hanna. Apa kau mau aku menjadi mak comblang antara dirimu dengan Hanna? Sayang sekali, aku sudah mengajukan Ken sebagai targetku,” jawab Hanna tanpa peduli dengan perubahan Scott yang tiba-tiba tertawa.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD