Beberapa hari berlalu setelah pertemuannya dengan teman adiknya. Banyu merasa gelisah. Rasa penasaran akan gadis yang bernama Larasati membuatnya seperti cacing kepanasan.
"Mas Banyu.. sarapan dulu yuk. Dipanggil mama papa tuh sekalian mau nanya rencana mas." Suara cempreng adiknya, Agni, membuatnya tambah sakit kepala.
Segera dia ke ruang makan, anggota keluarganya sudah lengkap, mama, papa dan Agni.
"Pagi ma.. pa.." sapa Banyu sambil mencium pipi mamanya.
"Pagi juga sayang. Gimana istirahatmu? Sepertinya kamu kok belum mood gitu?" Tanya mamanya prihatin.
Banyu hanya mengedikkan bahunya dan asik menikmati sarapannya. Nasi goreng teri medan. Lama tinggal di negara asing, membuatnya kangen dengan masakan mamanya.
"Makannya pelan-pelan mas! Masih banyak kok, wong mama bikin nasi goreng teri medan cuma buatmu. Papa sama mama sarbu aja. Sama jus jeruk."
Diliriknya piring mama papanya yang hanya berisi potongan buah segar. Eeh sepertinya orang tuanya ikutan food combining?
"Mas gimana? Hari ini sudah siap ke kantor? Kok masih pakai baju santai gitu?" Tegur papanya.
"Belum pa. Banyu sementara ini fokus dulu ke kerjasama ama Indra. Rencana mau bikin studio pa. Banyu kan hobi motret dan lukis, Indra emang seorang arsitek. Jadi kita mau liat dulu proyek apa yang bisa kita garap berdua. Nanti kalau sudah jalan dan sudah jelas pembagian kerjanya, Banyu siap magang di kantor papa." Jelas Banyu sambil membuat tanda petik saat kata magang diucapkan.
Papa mamanya hanya mengangguk.
"Ya sudah, kalau gitu bereskan dulu urusanmu. Papa dan mama senang akhirnya kamu memutuskan untuk pulang dan menetap di Jakarta lagi setelah tiga tahun kamu berkelana gak jelas."
"Papa berangkat ya ma.." pamit papa dan mencium kening istrinya. Tak lupa Banyu dan Agni mencium hormat punggung tangan papa mereka. Walaupun mereka kaum berada tapi kedua orang tuanya tetap mengajarkan sopan santun yang semestinya.
Tak lama kemudian, mama menyusul berangkat ke toko bunga miliknya.
Tinggallah Agni dan Banyu yang masih asyik ngobrol di meja makan.
"Nie.. aku penasaran sama temen kamu yang kemarin itu."
"Yang mana mas?"
"Yang dikenalin pas makan siang di Pisa Kafe."
"Iyaaa yang mana? Kan ada tiga tuh. Yang seksi dan montok namanya Diana. Yang cantik dan bodi kaya model namanya Tarisha." Terang Agni sambil mengira siapa gerangan yang ditanya kakaknya.
"Yang pakai jilbab Nie. Kalau yang tipe kaya 2 temenmu itu mah di sono banyak kali Nie. Aku bosen sama yang tipe kaya gitu."
"Tumben nanyanya yang berhijab mas. Biasanya cewek-cewek tipe Diana ama Tarisha yang mas suka."
"Eeh masih trauma sama mbak Vanka ya mas?" Tanya Agni perlahan, takut kakaknya tersinggung.
"Haaaah jangan sebut lagi nama itu Nie. Bikin sakit hati."
"Jadi siapa namanya?" Ulang Banyu.
"Yang berhijab kemarin namanya Larasati mas. Masa Mas gak inget sih? Kan dia sahabat Agni dari kuliah semester satu. Sebenarnya kami satu SMA tapi beda kelas jadi gak gitu deket. Deketnya pas udah kuliah aja karena sering ketemu."
"Mana aku inget Nie. Terlalu banyak cewek bersliweran di hidupku." Kekeh Banyu.
"Eeeh bentar apa dia temanmu yang waktu itu ada kejadian mmm.. itu ya, yang diperkosa itu?" Tanya Banyu hati-hati, dia tidak mau adiknya curiga kenapa tiba-tiba jadi tertarik dengan Larasati.
"Iya mas. Larasati yang itu." Jawab Agni pelan. Sambil memejamkan matanya.
"Agni masih ingat peristiwa itu mas. Kasian Rara. Dia sangat syok dan trauma. Sampai sekarang saja masih harus konsul ke psikiater mas."
Banyu menelan ludah kasar. Ternyata benar dugaannya. Gadis itu, Larasati, ternyata benar adalah gadis yang dicarinya.
"Mmm kenapa harus ke psikiater segala sih Nie? Kan kalau trauma healing kamu juga bisa. Kamu kan psikolog Nie."
"Yaaah mas, aku memang psikolog. Tapi yang dibutuhkan Rara saat itu memang lebih ke kejiwaannya. Dia juga butuh obat mas. Gimana gak jadi gila coba mas. Rara diperkosa, hamil eeh terus anaknya keguguran. Mana pas hamil dia kan dihina dan dihujat sana sini. Sampai harus cuti kuliah satu semester karena diungsikan ke rumah budenya di kampung." Emosi Agni memuncak mengingat kejadian p*********n yang dialami sahabatnya.
"Hamil? Temanmu hamil karena kejadian itu?" Suara Banyu bergetar. Dia berusaha menekan nada bicaranya agar tetap datar, demi menghindari kecurigaan adiknya.
"Iya mas. Rara hamil. Makanya dia tambah depresi. Dia hamil tanpa tahu siapa ayah janin yang dikandungnya. Waktu itu dia sempat berpikiran untuk menggugurkan kandungannya. Tapi untunglah ayah dan umi Rara bisa menasehatinya."
Ya Tuhan. Dia hamil. Dia hamil karena aku. Dia mengandung anakku. Batin Banyu sedih.
"Terus di mana anaknya? Harusnya umurnya sekarang sekitar mmm.. dua tahunan?" Tanya Banyu masih mencoba datar agar tidak dicurigai oleh adiknya.
"Iiish kan tadi Agni udah bilang, Rara keguguran. Keguguran loh bukan digugurin. Mungkin karena stress, depresi dan asupan gizi yang tidak baik, janinnya keguguran mas. Kalau gak salah memasuki minggu kelima belas usia kandungannya."
Aaah... anakku. Maafkan papa nak, papa bahkan tidak pernah tahu bahwa kamu sempat ada. Batin Banyu tambah tersiksa mendengar cerita Agni tentang Rara yang sempat hamil.
"Eeh kok tumben Mas Banyu nanya tentang Rara detail banget. Gimana? Ada rasa ya mas? Suka ama Rara? Aku jodohin yaa." Agni semangat sekali merayu kakaknya. Dia bahkan sama sekali tidak curiga dengan wajah pucat kakaknya saat mendengar cerita kelam tentang sahabatnya.
"Rara orangnya baik mas. Baiiik pakai banget. Ramah, supel, ceria, helpfull, pintar masak. Tapi semenjak kejadian itu dia jadi menutup diri. Apalagi gak lama kemudian ibunya Tama memaksanya untuk menjauhi Tama. Aku sampai gak tega sama Rara loh mas. Sudah jatuh tertimpa tangga ibaratnya."
"Tama?" Tanya Banyu.
"Iya. Tama tuh pacarnya Rara. Mereka pacaran udah hampir 4 tahun. Kalau gak salah dari Rara lulus SMA. Kakak kelas kami di SMA loh mas. Mas Banyu gak kenal karena mas kan sekolahnya beda ama aku."
"Kenapa harus putus? Tama dan Rara?"
Sebenarnya Agni heran dengan pertanyaan kakaknya. Gak biasanya dia peduli dengan kehidupan seorang gadis. Tapi demi misi perjodohannya, Agni dengan semangat bercerita tentang Rara ke kakaknya. Selengkapnya yang dia tahu. Dia hanya berharap baik kakaknya ataupun sahabatnya akan berjodoh.
Mereka berdua sama-sama terluka dengan cara yang berbeda. Mereka berhak akan kebahagiaan. Dan semoga bahagia itu adalah dengan berjodohnya mereka. Pikir Agni dan mengaminkan doa yang terlintas di kepalanya.
Cukup lama kakak adik ini bercengkrama. Sampai akhirnya pertanyaan Banyu mengusik pikiran Agni.
"Nama anaknya Rara siapa Nie?"
"Kalau gak salah namanya Melati Azzahra."
"Perempuan? Kan belum empat bulan kok udah bisa tahu jenis kelaminnya?" Tanya Banyu ingin tahu.
"Belum ketahuan jenis kelaminnya sih mas, tapi Rara memang pinginnya kasih nama Melati."
"Ooo gitu. Di mana makam anaknya Nie?" Sempat terlintas di pikiran Banyu untuk mengunjungi makam anaknya itu.
"Eeh kenapa Mas Banyu pengen tahu?"
"Loh kalau kamu memang berniat menjodohkan aku sama sahabatmu itu berarti kan aku harus tahu lengkap tentang Rara dong." Banyu mencoba mencari jawaban yang paling netral agar tak menimbulkan kecurigaan adiknya.
Dia tak bisa membayangkan apa reaksi adiknya kalau tahu bahwa dialah pelaku p*********n itu. Bisa dibenci seumur hidup dia.
"Di pemakaman umum dekat rumah Rara, mas."
"Nie, kalau memang kamu berniat menjodohkan aku sama Rara, aku terima. Tolong diatur aja ya." Kata Banyu sambil mengecup ujung kepala Agni pelan.
"Aku pergi dulu. Ada janji sama Indra jam 10."
"Siip mas.. aku aturin yaa."