RINDU 5 - RASA BENCI

1061 Words
Mataku melihatnya, seluruh jiwa ragakupun melihatnya. Air mata ini terus membasahi pipiku. Berjalan lurus dengan derasnya air mata di dalam hatiku. Semuanya benar-benar membuatku bingung. Aku terus menarik tangan Aris. Tak kubiarkan laki-laki tak tau diri itu untuk terus mengikutiku. Walau dia masih memanggilku, aku tak peduli. Kuakui jiwaku mendengar seruannya tapi tetap saja otak ini lebih mendominasi. Otak ini masih terus menuntunku untuk menjauh. "Za, ada yang manggilin elo tuh." kata Aris. "Dia bukan manggil gue, Ris. Tadi gue liat dia manggil Za lain." kataku. Setelah sampai di depan pintu lift aku melepaskan cekalan tanganku. Dan duduk di kursi tunggu. Aku mengusap air mataku dengan penuh kecewa. Entahlah aku sendiri bingung dimana letak kecewaku itu berada, karena semuanya terasa sangat dekat. Rasa kecewa itu ada di tengah-tengah rasa kecewa karena ditinggalkan dan kecewa karena dia kembali. Yang jelas ini semua sangat membuatku merasa kesakitan. "Maafin aku, Yang. Kamu jadi nangis begini gara-gara aku." kata Aris. Kini dia duduk berlutut dihadapanku. Dia terus menggenggam tanganku. Pancaran rasa bersalah tak bisa di sembunyikannya. Semuanya tercetak jelas di dalam mata coklatnya. Apa yang harus aku lakukan? Aku tak kuasa menahan tangis. Dalam hati aku terus mengucapkan kata maaf untuknya. Ada sebuah fakta yang membuatku semakin menangis, dia kembali. Dan aku membencinya. Rasa itu semakin besar setelah aku melihatnya. Bukan bayangan. Itu adalah dirinya. "Maafin aku. Ini pertama kali aku liat kamu menangis. Dan itu karena aku. Maaf.. Aku bener-bener nyesel udah ninggalin kamu tadi." Kata Aris. Aku beruntung tempat ini sepi jadi aku tidak terlalu malu menangis. Biarlah aku terlihat cengeng di hadapan Aris. Dan perlu di ketahui ini adalah kali pertama aku menangis sejak dia pergi begitu saja tanpa kabar. *** "Mama! Kok Ical belum dateng ya?" tanyaku. Kini serangamku sudah lengkap. Aku sengaja bangun lebih pagi agar Ical tidak menungguku seperti biasanya. Kasian Ical tiap hari harus menungguku di luar rumah karena sangat jarang sekali Ical mau disuruh masuk ke rumahku. Bahkan bisa kuhitung dengan jari. Kita selalu bermain di luar tidak pernah bermain di rumah kami. Karena menurut kami, rumah itu membosankan tak ada area bermain yang asyik seperti di taman kompleks di mana kita selalu menghabiskan waktu sore kita hingga magrib di sana. "Iya ya tumben? Apa dia sakit ya?" kata Mama. Ada betulnya juga kata Mama. Tapi.. "Ah, nggak mungkin, Ma, kalo Ical sakit pasti aku sakit juga. Jadi, dia nggak mungkin sakit, Ma." kataku. Aku memang selalu jujur masalah ini kepada Mama tapi Mama tidak pernah mau mempercayaiku. Dan aku tau inilah yang membedakan orang dewasa dengan kami. Mereka tidak bisa saling percaya satu dengan yang lain. "Husss! Ngaco kamu. Mama tau kalian sahabatan dari kecil, tapi kalo sakit barengan gitu mama nggak percaya. Mungkin yang kemaren cuman kebetulan aja." Kata Mama. Aku hanya bisa mengerucutkan bibirku. Mendengar kata-kata Mama aku jadi berpikir. Mana yang harus kupercayai? Mama apa perasaanku? Entahlah. Aku jadi bingung. Waktu terus berpacu dengan sendirinya. Hingga tak terasa jam setengah 7 kurang 5 menit lagi. Aku sudah lelah menunggu sambil menerka-nerka apa yang terjadi pada Ical hingga dia belum datang ke rumahku. "Mama, Za berangkat aja deh nanti Za telat." Bohongku pada Mama. "Lho? Terus kamu mau ke sana naik apa?" Tanya Mama. "Pake sepeda Za, Ma." kataku. Langsung pergi ke garasi mengambil sepedaku yang sedang parkir cantik di samping mobil Papa. "Emang Za udah bisa naik sepeda?" tanya mama lagi. Beliau masih meragukan aku. "Za tuh udah SMP, Ma, udah gede ya bisalah naik sepeda. Lagian kemaren udah diajarin sama Ical. Pernah boncengin Ical juga kok ma. Kalo nggak percaya tanya Ical aja nanti kalo ketemu." kataku. Tentu saja lagi-lagi aku berbohong. Sambil menahan kegugupanku. Ini kali pertama aku berbohong kepada Mama. Mama tidak akan mau mengizinkanku membolos sekolah. Dan Ical selalu bilang aku tidak usah mahir menggunakan sepeda karena dia takut aku jatuh. Bahkan dia berjanji padaku akan mengantarkanku ke manapun aku mau. Karena menurutnya aku akan aman saat berada di dekatnya. Memang sih. Ical itu nakal tapi selama ini dia tidak pernah bisa melihatku terluka walau hanya tergores tepian buku yang cukup tajam. Jantungku berdegup kencang ntah kenapa. Aku terus memacu sepedaku ke arah rumah Ical yang memang searah dengan arah sekolahku. Rasanya ada yang aneh. Aku yakin Ical tidak sakit. Aku yakin ada sesuatu yang terjadi pada Ical. Dan hatiku tiba-tiba nerasa gelisah dan ketakutan. Dengan keadaan sadar aku tak bisa mengendarai sepeda dan dengan tidak sadar kalau aku sudah mulai mengayuh sepedaku. Hingga akhirnya aku sampai di depan rumah Ical. Aku langsung meletakkan sepedaku dan lari ke gerbang kecil pintu rumah Ical. Keadaan rumahnya sepi. Dan itu membuat degupan jantungku semakin kencang. Aku mulai memikirkan kalau Ical akan pergi meninggalkanku. "Ical!" Panggilku. Tak ada yang keluar dari rumah itu. "Icaal!" aku tak mau menyerah. Aku memanggil Ical lagi. "Icaaal! Mama Icaaal, Papa Icaaal!" kataku. Lagi-lagi air mataku turun begitu saja. Lagi-lagi aku menangis karena Ical. "Za, kamu cari Ical ya?" tanya seorang tetangga Ical, beliau menghampiriku. Dalam hati aku sangat kesal. Toh sedari tadi aku memang memanggil nama Ical, bukankah itu sudah jelas menunjukkan kalau aku mencari Ical? Namun, aku tak bisa memarahi orang dewasa. Jadi aku hanya bisa mengangguk. Berharap ada kabar yang baik mengenai Ical. "Ical sama keluarganya tadi pagi udah pergi. Mereka pindah rumah. Barang-barang mereka juga udah dibawa semua. Rumahnya kosong..." kalimat tetangga Ical ini langsung membuatku tambah menangis. Aku langsung pergi. Tak kupedulikan sepedaku yang kubawa tadi. Aku lari. Lari dengan tangisku yang semakin membanjir. "Lho? Kok kamu pulang lagi, Za?" tanya Mama dengan terheran-heran. Aku buru-buru memeluk Mama. "Mama Icalnya pergi. Hiks.. Dia ninggalin aku, Ma. Dia nggak bilang sama aku, Ma. Za benci Ical, Ma!" kataku. Setelah mengatakan itu, aku langsung pergi ke dalam kamar. Mengunci diriku dari dalam. Aku menangis sejadi-jadinya. Yang aku tahu. Ini adalah kali pertama aku mulai membencinya. Aku membenci Ical. Aku menyesalkan perbuatannya yang tak pamit padaku. Dia pergi begitu saja tanpa memikirkan perasaan aku. Rasanya aku sangat sedih. Aku lebih memilih menangis karena Ical menjahiliku dibanding karena ditinggalkannya. Kenapa kamu jahat banget sama aku, Cal? Kenapa kamu ninggalin kamu sendiri? Kamu jahat, Cal. Kamu adalah orang terjahat yang pernah aku kenal. Aku benci kamu, Cal. *** "Cal, aku mau pulang." kataku. "Apa? Kamu panggil aku apa?" tanya Aris. Aku merutuki kebodohanku dalam hati. Namun ini adalah kesalahanku. Aku mencoba tertawa. "Maaf aku salah panggil. Aku tadi manggil Cal, Calisa" kataku. "Anterin aku pulang ris." kataku. "Kamu nggak kuliah? Kamukan biasanya kalo masalah kuliah getol banget." kata Aris. Dia mencari kejujuran dari mataku. Ini gara-gara dia! Air mataku turun lagi memikirkan dia. Aris menghapus air mataku lagi. "Jangan nangis lagi, aku nggak bisa liat kamu nangis. Ayo kita pulang." kata Aris.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD