RINDU 1 - AWAL
Namaku adalah Anindya Athaya Zahran. Semua orang senang memanggilku dengan sebutan Za. Ntah dari mana nama kecil itu tercipta aku tidak tahu dan tidak peduli. Yang aku pedulikan kali ini adalah bagaimana caranya agar aku bisa sampai di kampus dalam waktu 10menit.
Aku kuliah di salah satu Universitas Swasta ternama di Jakarta. Dan bukan hanya itu, kampusku ini memiliki stok laki-laki tampan terbesar se-Indonesia. Sedikit berlebihan memang namun lagi-lagi aku tidak peduli karena aku memang ingin menyombongkan diri. Ini ceritaku dan hanya aku yang boleh menentukan bagaimana rangkaian cerita dalam n****+ ini.
"Aris! Jemput gue sekarang di rumah, gue nggak mau tau! Kalo dalam waktu 2 menit lo nggak ada di hadapan gue, kita putus!" teriakku. Lalu memutuskan sambungan teleponku dengannya.
Aris adalah pacarku yang ntah keberapa kali. Dari sekian banyak laki-laki yang pernah aku pacari hanya dia yang sangat ketakutan kalau aku meminta putus. Padahal, wajah, kekayaan, dan jabatan dia di kampus cukup mengundang mata gadis-gadis di luaran sana untuk meliriknya.
Aku terus menghitung detik demi detik. Katakanlah aku berlebihan tapi ini menyangkut kuliahku. Kalau aku terlambat hari ini, aku tidak akan diperbolehkan masuk kelas. Ini sangat mengangguku. Moto hidupku adalah, 'nakal boleh, bodoh jangan!'. Apa ada masalah dengan moto hidupku?
"119 detik!"
CITTT!
Decitan suara rem motor memekakkan telinga. Kalau saja hal ini terjadi lain waktu aku pasti akan memarahinya hingga ia tidak berani lagi menatap wajahku. Jangan panggil aku 'Za' kalau aku tidak bisa menaklukkan Aris dengan mudah.
Aku langsung berlari naik ke atas motor Aris. "Jalan, Bebs. Buruan!" seruku. Dan tanpa disuruh dua kali, Aris langsung melajukan motornya.
"Ris, gue masuk jam 7.30, 7 menit lagi!"
"Pegangan! Gue ngebut, Beibs!"
Kegilaan Aris bukan hanya sampai sana. Kini dengan gilanya Aris melajukan motornya sampai ke depan lift menuju kelasku. Dia benar-benar tak peduli akan satpam yang terus berlari mengejar motor kami. Aku hanya bisa terkikik dalam hati. Biarlah satpam menjadi urusan Aris.
Aku menatap bagian atas lift untuk melihat di lantai berapa lift sedang mampir, ruangan berdiameter 2x3 meter itu masih berada di lantai 2 arah ke atas, dan lift yang di sampingnya tak jauh beda. Daripada aku tambah telat, aku berinisiatif untuk langsung melesat ke tangga yang ada di sebelah kanan lift. Aku terus berlari hingga lantai 4 dari lantai dasar.
"Dosennya belom datang?" tanyaku pada Donny, Si Ketua Kelas.
"Dosennya baru aja sms gue katanya dia nggak masuk hari ini." kata Donny, sambil menutup mulutnya menahan tawa.
Seisi kelas juga menertawakan hal yang sama padaku.
"Sial!" kataku. Aku belum siap memarahi mereka semua. Aku perlu memperhatikan penampilanku.
Aku buru-buru merampas kaca dari temanku, Si Centil Riska. "Anjiiir! Rambut gue!" teriakku. Aku menghentakkan kakiku 3x ke lantai lalu buru-buru pergi ke toilet untuk membetulkan rambutku yang kini acak-acakan. Rambut siapa yang tidak akan acak-acakan setelah mengebut naik motor tanpa helm?
Sesampainya di toilet. Aku langsung bercermin, membasuh wajahku dengan kasar sambil menggerutu.
"Dasar dosen sialan! Tau nggak datang kan gue nggak bakalan begini! Kamvreeet! Ih, sebel!" gerutuku sambil terus menyisir rambutku. Peralatan make-up memang selalu ada di dalam tasku. Dan ini cukup membantu, bahkan amat sangat membantu.
Setelah selesai merapikan pakaianku, aku kembali ke kelas. Berniat memberikan 'kelas tambahan' pada teman-teman yang masih menertawakanku.
Di kelas Donny menahan tawanya melihatku.
"Apa lo? Masih pengen ketawain gue? Lo nggak tau gimana perjuangan gue buat ke sini? Lo nggak tau gimana capenya gue lari dari lantai dasar kan? Lo kira ini semua lucu?!" bentakku pada Donny.
Seketika kelas yang sangat ramai seperti pasar langsung senyap. Suara-suara mereka seakan hilang ditelan bumi. Ini bukan kali pertama aku mengucapkan kata-kata pedas namun tetap saja semua anak kelas melihatku dengan pandangan sedikit ketakutan, terlebih para perempuan. Kalau yang laki-laki lebih takut pada Aris, dan karena aku adalah pacar Aris jadi mereka semua jadi ikut tunduk padaku.
"Udah Za, udah! Nih minum aja minuman gue!" Mira menyodorkan pop-ice coklat itu kepadaku. Sontak saja aku merebut minuman itu dengan kasar. Kapan lagi minum pop-ice gratis.
"Lo nggak tau sih, Mir, gue capek-capek ke sini ngebut-ngebut, tau-taunya tuh dosen kaga masuk, kan sompret banget, ya? Mending masuk sebentar kek gitu ya, ngasih absen gitu-gitu dulu baru pergi. Ahela, gue kesel banget! Mentang-mentang dia Rektor seenak jidatnya aja gitu ninggalin kita?! Hih!" kataku disela-sela minum pop-ice itu.
"Istighfar lo Za, dia itu dosen, nggak boleh ngomong gitu, kualat ntar." kata Mira terus mengusap-usap punggungku menenangkan. Aku melemparkan gelas pop-ice yang telah kosong ke sembarang tempat.
"Bodo. Ah, kutukupret mana gue belom makan lagi, anterin gue makan yuk Mir!" kataku langsung menggandeng Mira. Mira tak bisa mengelak. Memang siapa dia berani untuk melawanku?
"Ikuttt!" teriak Lissa.
Kami bertigapun keluar kelas. Dan menuju lift. Aku sudah tidak kuat untuk turun lewat tangga. Lift seketika berdenting, dan pintunya terbuka. Aku tidak berniat melihat wajah-wajah mereka yang kini berada di dalam lift. Yang jelas lift hanya menyisakan ruangan yang pas untuk 2 orang lagi sebelum mencapai berat maksimum.
"Udah mukanya jangan jutek gitu dong!" kata Lissa.
"Lo tuh ngomong gitu karena nggak ngerasain penderitaan gue tadi. Coba aja lo ada di posisi gue! Ih! Jadi bete kan gue!" kataku geram, sambil menghentakkan kakiku. "Eh sorry!" kataku tanpa melihat kaki siapa yang ku injak.
Lissa dan Mira hanya diam tak berani membantah ntah karena malu atau tidak mau dipandang aneh oleh orang lain. Sesampainya di warung bubur ayam, kamipun memesan dengan pesanan yang sama. Bubur Ayam, pake sate usus, dan Air mineral.
"Eh, Liss, gue kemarin liat cowok yang lo bilang, gila ganteng banget!" celetuk Mira.
"Emang ganteng banget tau dia. Tapi siap-siap aja dah lo patah hati." kata Lissa, sambil mengaduk-aduk bubur ayamnya. Dia memang selalu makan bubur ayam dengan diaduk terlebih dahulu. Kebiasaan buruknya itu memang mengganggu indra penglihatanku tapi apa dayaku yang tidak dapat mengubah pola makan Lissa yang memang sudah begitu sejak lahir. Tapi setelah mengenalnya lama-kelamaan aku mulai terbiasa.
"Kenapa emang?" tanya Mira. Aku masih sibuk dengan bubur ayamku. Rasanya aneh. Setelah minum pop-ice rasa coklat lalu makan bubur jadi aneh. Tapi tak apalah namanya juga orang kelaparan, aku belum sarapan baru makan debu jalanan saja.
"Dia katanya teman gue, lulusan pesantren." jawab Mira. Aku mulai terganggu dengan obrolannya. Jadi, kuputuskan untuk menguping pembicaraan mereka.
"Pesantren? Yaelah, temen gue juga banyak yang dari pesantren tapi tetep aja b***t-b***t kayak kita." Lissa tak mau kalah.
"Ngomongin apaan si lo-lo pada?" tanyaku.
"Ada cowok ganteng." kata Lissa antusias.
"Et, gue kira apaan." kataku, malas.
Setelah selesai, kami buru-buru keluar warung bubur. Karena sekitar 10menit lagi ada satu mata kuliah yang harus kuikuti. Sambil menunggu lift aku melihat seorang anak berseragam putih biru sedang bercanda satu sama lain. Dari jendela kaca yang hampir melapisi seluruh gedung ini, aku terus memperhatikannya. Mereka menggunakan sepeda, dengan si anak laki-laki yang mengemudi dan si anak perempuan yang duduk diboncengan sambil memegang erat ujung-ujung baju si anak laki-laki. Wajah mereka tampak sangat bahagia.
Aku hanya bisa tersenyum miris.
Lalu, ingatanku mulai berkelana.