RINDU 4 - DIA BENAR-BENAR KEMBALI

1045 Words
Hari ini seperti biasa Aris menjemputku. Sepanjang hari kemarin dia sangat perhatian padaku. Walaupun dia telah kuusir saat sudah sampai di halaman rumahku karena dia harus mengikuti pelajaran 30menit setelahnya. Jadwal kami setengah sama dan setengah berbeda. Jadi, kemarin memang jadwal kami berbeda. Dulu Aris adalah kakak kelasku di SMA ntah kenapa dia dari dulu memang sangat menyukaiku. Bayangkan saja di SMA dulu dia sudah menyatakan cintanya padaku 3x dan semuanya aku tolak karena aku memiliki pacar yang lain. Lagi pula menurutku dia biasa saja. Walau dia termasuk golongan cowok populer yang selalu di gandrungi cewek-cewek tapi tetap saja mataku tidak bisa melihat dia sedikitpun. Dan ketika sebulan yang lalu aku masuk kampus ini. Ternyata ka Aris juga ada di kampus yang sama denganku. Dan setelah dia melihatku, dia kembali menyatakan cintanya padaku. Kali ini dia menyatakan cintanya di tengah-tengah lapangan kampus yang membuatku kasian melihatnya dan akhirnya aku menerimanya dengan modal belas kasihan. Tapi untunglah semakin kami bersama aku cukup nyaman berada di sampingnya. "Lo kangen banget sama gue ya? Sampe nggak mau turun gini?" tanya Aris tiba-tiba. Aku yang baru sadar dari lamunan langsung menyadari kalau kami sudah di tempat parkir. "Jangan geer deh lo." kataku. Sambil keluar. Aris yang berada di sampingku juga melakukan hal yang sama. Aris dan aku jalan bersama. Walau hari inipun jadwal kami berbeda tapi Aris dengan baik harinya ingin mengantarku ke kelas. Dan aku tidak memiliki alasan apapun untuk menolak. Sekarang begini, siapa sih di dunia ini yang nggak mau jalan ditemenin? Ama pacar lagi. Lumayan kan bisa pamer. "Ris, makasih ya kemaren udah dianterin pulang." kataku. memang sejak kemarin aku belum mengucapkan terima kasih padanya. "Buat lo apa si yang nggak gue lakuin." Kata Aris. Sambil mengacak-acak rambutku. "Kita di sini dulu ya, Ris. Gue males ke kelas lagian masih pagi." kataku. Sambil mengajaknya duduk di sebuah taman yang di desain senyaman mungkin untuk para mahasiswa belajar. Dan di sinilah kami duduk di bawah pohon rindang walau kami tertutup atap tempat duduk yang berbentuk jamur namun udara segar itu tidak bisa ditutupi. "Beis, gue tinggal dulu bentar ya, Aldo gue rese nih. Bentar doang." kata Aris. Dia memang dari tadi terus-terusan menggerutu soal temannya yang bernama Aldo. "Yaudah gih sana!" kataku. "Tapi lo jangan kemana-mana ya." kata Aris. Lagi-lagi dia mengacak rambutku. "Aris, rambut gue berantakan! Lo tega apa liat pacar lo kaya orang gila rambutnya?" Kataku. "Hahhahaha lo kaya orang gilapun gue tetep cinta sama lo." kata Aris. "Ih dasar gombal. Sana! Katanya mau pergi! Hus-hus-hus!" kataku, mengibaskan tangan. Ku peragakan bagaimana mengusir kucing. Dan lagi-lagi Aris tertawa melihat ulahku. Sepeninggal Aris. Aku kembali termenung. Kemarin, kini dan bahkan setiap aku sakit, aku selalu berpikir. Apa dia juga sedang merasakan apa yang aku rasakan? Dulu kami mempunyai kebiasaan yang sama. Rasanya seperti ada ikatan batin di antara kami. Sehingga saat aku sakit ntah kebetulan atau apa dia juga sakit dan begitu pula sebaliknya. *** "Za.. Maaf, kemarin aku nggak masuk sekolah." Ical datang menghampiriku di dalam kelas. Tubuhnya terbalut jaket sama denganku. Hidungnyapun merah menandakan dia masih sakit. Dan bisa aku pastikan keadaan dia tak jauh beda denganku. "Aku juga nggak masuk kemaren, Cal." kataku. Kami saling berpandangan. Saling memperhatikan tubuh lawan masing-masing. Lalu tertawa bersama seperti orang gila di pojokkan kelas. Seisi kelas sudah tidak aneh lagi memandang kedekatan kami. Walau sering menggoda kami, tapi mereka tetap menerima kami sebagai teman dekat. "Hahahaha, kamu ngikutin aku ya, Cal?" kataku, air mataku keluar saking bahagianya menertawakan Ical. "Kamu tuh yang ikutin aku. Kan kamu yang yang lebih muda dari aku." Kata Ical. "Kenapa sih kamu ngomonginnya umur? Aku bete tau setaun lebih muda dari kamu." kataku. Kesal. Jujur aku sangat membenci umurku itu. Aku selalu berharap aku dan Ical selalu bersama dan memiliki banyak persamaan. Karena tanggal lahirku itu tidak bisa di ganti dengan tanggal lahir yang sama dengan Ical. Dan aku membencinya. "kamu sih kecepetan lahirnya. Hahahaha udah terima aja kan kamu harusnya masih SD." Kata Ical. Dia menertawakanku. Dan lagi-lagi aku menangis karena Ical. Ical yang panik melihatku menangis langsung menghampiriku dan mengusap air mataku. Dia berjongkok dihadapanku. "Kenapa nangis?" tanyanya. "Kamu nyebelin. Kamu tau nggak sih kenapa aku benci sama umur aku?" kataku. Di sela-sela isakanku. Aku adalah anak yang jujur dan kali ini aku juga ingin mengatakan sebuah kejujuran. Ical menggeleng. "Emang kenapa?" tanyanya. Dengan raut serius yang membuatku semakin ingin menangis. Kenapa wajahnya itu selalu lucu? Apa aku juga punya wajah lucu sepertinya? Kalau aku tidak punya wajah yang lucu seperti ical berarti kita semakin beda dong? Aku tambah menangis. "Soalnya umur kita nggak bisa di samain. Huaaa." kataku tambah menangis lagi. kali ini aku melipat tanganku di atas meja. Melihat aku yang menangis, semua teman sekelasku berdiri mengelilingiku. "Za, kenapa?" tanya Putri. "Ih, Ical kok jahat?" tanya Riris. Belum sempat Ical menjawab pertanyaan-pertanyaan itu. Ibu Dewi masuk ke dalam kelas. Ibu Dewi adalah wali kelasku. Beliau buru-buru menghampiri kami. "Ada apa ini?" tanya Bu Dewi. "Ini bu, Ical nangisin Za." adu Riris. "Bener itu, Faiz?" tanya Bu Dewi, pada Ical. "Iya bu, saya yang nangisin, Za. Saya mau di hukum." kata Ical. Aku langsung bangun. "Enggak Bu Dewi, Ical boohng, saya nangis sendiri kok." kataku. "Yasudah kalau begitu. Faiz kamu kembali ke kelas kamu. Dan Anindya kamu jangan menangis lagi. yang lain kembali ketempatnya masing-masing." seru Bu Dewi. Setelah mengusap kepalaku beliau berjalan ke meja guru. Karena sekarang adalah jadwal mata pelajaran beliau. *** "Za, Maaf lama." kata Aris. "Selingkuh lo ya, lama amat. Heran." kataku. Memang kepergian Aris memang lama. Tadi katanya sebentar. Tapi sebentar dari mana coba. Sampe berpuluh-puluh menit begini. Sampai jadwal kuliahku tinggal 5 menit lagi. "Enggak, Sayang. Gue nggak selingkuh kok. Serius deh. Yaudah maaf ya." kata Aris. "Males!" kataku berdiri. Memangnya dia kira dia siapa sampai meninggalkan cewek cantik kayak aku sendirian di taman kampus lama banget? "Za, Maafin aku dulu dong sayang." kata Aris. Nah, kan mulai lagi aku-kamunya. Aris menghentikan langkahku dengan membalikkan badanku menuju ke arahnya. Aku membuang pandanganku ke arah lain. Dan saat itu. Aku melihat sosoknya. Kali ini benar-benar nyata, dia menghampiriku. "ZA.." Suara itu. Suara familier yang mampu merobohkan pertahananku. Suara yang amat aku rindukan dan aku benci pada waktu yang bersamaan. Aku mengeratkan tanganku pada kerah baju Aris. Menudukkan kepalaku di sana. Dan Air mataku sukses membanjir. "Za, aku minta maaf. Aku janji nggak akan ngulangin itu lagi." kata Aris. Biarlah. Biarkan Aris hanya tahu aku menangis karenanya. Akupun berbalik sambil menarik Aris. Secepat yang aku bisa. berlari. Dan berlari darinya. Memangnya siapa dia yang bisa pergi dan datang dengan sesuka hatinya? 
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD