6. Sayang Tobias!

1204 Words
Netra hitam itu bergerak ke kiri dan ke kanan. Ke kiri lagi dan ke kanan. “Lo bisa diem nggak. Pusing gue liatnya,” sembur Syabil kesal. Sejak sejam yang lalu Hana terus menyerocos sambil berjalan bolak-balik. “Masalahnya, Tobias paling nggak suka ngasih liat kemampuan volinya. Tapi tadi dia nge-spike bola volinya kayak emak-emak lagi gebuk kasur. Kenceng banget.” Tangannya mengayun mempraktekan gaya servis yang dilakukan Tobias di sekolah. “Terus biasanya dia tuh suka pake baju olahraga dimasukin kedalem celana. Nah, gimana dia hari ini? Dikeluarin anjir. Sampe pas dia loncat perutnya keliatan.” Hana mengangguk sambil bertolak pinggang. “Gue yakin banget pasti otaknya udah nggak beres.” “Otak lo kali nggak beres. Itu normal kali.” “Tobias tebar pesona? Bukan Tobias banget, Bil!” sergah Hana. Syabil mengendik. Semua pendapatnya ditolak mentah-mentah oleh Hana. Ia menempatkan punggungnya di sofa. Kakinya berada di atas meja di depannya. Meladeni Hana tidak akan ada habisnya, jadi lebih baik ia mendengarkan saja ocehan Hana saat ini. “Tadinya gue kira Tobias marah sama gue. Tapi, pas di kantin gue ajak makan bareng dia mau.” Hana melempar tubuhnya ke atas sofa. “Gue bilang kalo gue kira Tobias nggak mau bertemen sama gue, dia ngebantah. Tandanya dia nggak ada masalah ama gue, ‘kan?” Pertanyaan itu entah untuk siapa. Kini Hana berceloteh sambil memandang langit ruang tamu rumah Syabil. “Emm, atau mungkin.” Syabil bersuara. Membuat Hana cepat menoleh. “Nggak, deh, nggak jadi.” Sebuah bantal kecil berhasil mendarat di wajah Syabil. “Kebiasaan banget gantung. Jangan buat gue kepo.” Syabil menyingkirkan bantal itu kesal, “Ish, gue kan ragu mau bilangnya.” Syabil kembali menempatkan pandangannya ke layar gawai. “Bil, ih, apaan. Mungkin apa, kasih tau cepet!” Hana merebut gawai Syabil. Membuat perempuan itu berdecak. “Ini baru mungkin loh. Gue nggak tau bener apa enggak.” Hana mengangguk cepat. “Pada awalnya Tobias baik sama lo.” Tangan Syabil mengarah kepada Hana. “Terus sekarang dia berbuat sesuatu nggak kayak biasanya. Dia kayak ngejauhin lo, tapi nggak benci sama lo.” Hana kembali mengangguk. “Seakan-akan dia berbuat lo jadi benci sama dia.” Hana mengangguk cepat. “Bener banget!” “Ya, yang udah-udah sih, ya. Ini berdasar n****+ yang gue baca loh, ya.” “Apa?” “Gue nggak yakin ini bener loh, ya.” “Iya, apa Syabila?” Hana mulai tidak sabar dibuatnya. Kemudian Syabil memberanikan diri memberitahunya. Kalimat yang dikeluarkan Syabil berhasil membuat kepala Hana sedikit pusing. *** Hana berlari kencang menuju perumahan Tobias. Satpam yang menjaga portal perumahan Tobias sedikit terperanjat karena Hana yang berlari masuk ke gerbang sambil menangis kejer. Pagar tinggi berwarna hitam dibukanya dengan kencang. Menimbulkan bunyi yang nyaring. “Pak Trisno!” Hana memekik ketika satpam rumah Tobias membantunya menutup pagar. “Tobias ada nggak?” “Ada—“ Belum selesai Pak Trisno berbicara Hana sudah berlari ke arah rumah. “Mungkin aja Tobias punya sakit keras. Terus dia sengaja berubah biar lo benci sama dia. Dia mau buat lo terbiasa tanpa dia.” Bu Rumi—pembantu di rumah Tobias—terlihat tengah mengelap pajangan yang berada ruang tamu. “Bu Rum.” Napas Hana tersengal ia berusaha mengatur tarikan dan embusan napasnya. “Mba Hana kenapa?” Bu Rumi mendekati Hana. Sedikit panik melihat Hana menangis seperti itu. “Tobi ada nggak?” Dengan cepat Bu Rumi mengangguk. “Di kamar. Ada apa?” Tanpa menjawab pertanyaan Bu Rumi, Hana segera berlari ke arah kamar Tobias. “Tobias mau buat lo cepet ngelupain dia.” Kalimat Syabil terngiang-ngiang di kepalanya. Dengan kasar Hana membuka pintu kamar Tobias. Untungnya tidak dikunci. Lelaki itu tampak habis dari kamar mandi. Terlihat dari rambutnya yang basah. Hana berhambur ke dalam pelukan Tobias. Menumpahkan semua tangisnya di d**a lelaki itu. “Lo kenapa nggak jujur aja sama gue?” “Apa, sih?” Tobias berusaha melepas pelukan itu. Namun, Hana tambah mengeratkan pelukannya. “Gue bakalan tambah benci sama diri gue kalo sampe nggak tau rahasia ini.” Nangis Hana menderu. “Lo udah gue anggap adek yang sering gue suruh-suruh.” “Han,” panggil Tobias dengan nada pelan. “Gue nggak akan bisa benci lo, gue sayang lo Tobias.” Tobias sedikit tersentak. “Kenapa lo nggak bilang kalo punya sakit keras? Lo mau diem-diem terus tiba-tiba meninggal gitu?” lanjut Hana dengan nada sedikit meninggi. “Hah?!” Dengan sekali sentak Tobias berhasil melepas pelukan Hana. “Apa lo bilang tadi?” Wajah Hana sudah membengkak akibat menangis. “Lo—“ kalimatnya terputus karena isak tangisnya, “udah mau meninggal, kan?” Hana kembali menangis kejer. Bahkan lebih parah dari tangis sebelumnya. “Gila lo, ya?!” Tobias membelalak. “Gue masih sehat anjir. Kata siapa gue sakit keras, hah?” Nadanya ikut meninggi seiring isak tangis Hana yang semakin menderu. Seketika Hana terdiam. “Lo sehat?” Tangannya menghapus air mata yang terus luruh dari pelupuk matanya. Napasnya masih belum beraturan. “Lo pasti abis nonton drakor, ‘kan?” Tobias mengacak rambutnya kesal. Hana sedikit merasakan cipratan dari rambut Tobias yang basah. “Lo nggak kenapa-napa? Nggak sakit? Bener-bener sehat?” Hana menempelkan punggung tangannya di dahi lelaki itu, memeriksa suhu Tobias. “Hana Lovira, lo ... kenapa ... gue, argh!” Tobias kehabisan kata-kata. Tubuh Hana lemas. Refleks Tobias menyanggah tubuh Hana yang lunglai. “Asli gue lemes, Bi.” Dengan sekali tarikan, Hana sudah digendong Tobias. Lelaki itu menaruh Hana di atas tempat tidurnya. “Gue ambil minum dulu,” kata Tobias sembari berbalik menuju pintu keluar. “Ha, betapa begonya gue sekarang.” Hana memukul kepalanya. “Anjir b**o banget!” Di sisi hati Hana yang lain ia sangat bersyukur bahwa pemikiran itu tidak benar. Namun, sisi lainnya benar-benar membuat ia ingin menghilang dari dunia saat itu juga. Tobias masuk ke dalam kamar dengan segelas teh hangat. “Nih,” Ia menyodorkan gelas itu. “dihabisin minumnya, ya, Kak?” Hana tersedak. Tobias menyindirnya. Hal itu tambah membuat Hana memerah karena malu. “Setiap gue sakit lo, ‘kan, selalu tau,” kata Tobias. Lelaki itu mengambil duduk di pinggir kasur. “Jangan bikin kepala gue sakit malam ini. Jawab jujur kenapa lo bisa mikir gitu?” Hana tergagap. Tidak biasanya Tobias sefrontal ini. Biasanya ia akan berpikir sendiri tanpa bertanya. Ia ragu, jika berkata jujur Tobias bisa meresponnya seperti saat di kantin. “Gue nonton drakor terus jalan ceritanya cewe cowo sahabatan terus cowonya sakit parah. Ya, gue tiba-tiba mikir takut lo gitu juga.” Perempuan itu mengibaskan tangannya. “Udah nggak usah dipikirin. Gue cuma kebawa perasaan adegan di drama aja.” Tobias terdiam. Matanya menjelajahi bola hitam milik Hana. “Hati, otak sama mulut gue sesuai. Jangan overthingking, deh!” sergah Hana kala Tobias masih saja menatap tidak percaya. “Tapi yang abis overthingking, ‘kan, elo,” sanggah Tobias. Ia beranjak dari duduknya. “Lagian gue percaya kok. Cuma.” Tobias menggantung kalimatnya. Matanya tidak bisa diam melirik ke arah lain karena ragu melanjutkannya. “Apa?” Manik gelap itu berhenti pada satu titik, memandang kosong ke arah dinding kamarnya. “Kalo gue bener-bener ninggalin lo. Lo bakal sehisteris tadi?”
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD