5. Kemampuan Asli

1228 Words
“Na, lo keluar napa!” gerutu Vino yang ingin mengganti baju di dalam kelas. Hana masih dalam duduknya. Memotong kuku jarinya dengan gigi sambil memandang lurus ke depan. Pikirannya sedang melayang di hari dia berkencan buta. “Apa gara-gara gue pukul kepalanya? Jadi otaknya agak geser.” Kepalanya bergeleng cepat. “Enggak-enggak!” Bisa dikubur hidup-hidup oleh ayahnya kalau memang itu alasannya. “Na, woy, anjir ngelamun dia.” Kali ini Randi yang ikut meneriaki nama Hana. Namun, tampaknya perempuan itu masih asyik dengan dirinya. Tanpa ia sadari bahwa di dalam kelas hanya ia sendiri yang perempuan, karena siswi yang lain sudah bergegas ke toilet untuk bersiap mengikuti pelajaran olahraga. “Apa dia kecapekan pas bawa barang belanjaan gue terus otaknya jadi menciut, abistu sikap dia berubah.” Hana menjentikkan jarinya. “Ah! Nggak mungkin juga.” Ekspresinya kembali berubah. Ia mengacak rambutnya yang tergerai. Baru kali ini Tobias membuatnya berpikir keras, biasanya tidak sulit bagi Hana menebak kemauan lelaki itu. Sebuah ketukan singkat di ujung mejanya membuat Hana mendongak. “Lo sengaja mau ngeliat cowo ganti baju atau apa?” Hana mengernyit, tidak paham dengan pertanyaan Tobias. Ia baru mengerti saat Gani yang baru masuk kelas menjerit berlebihan. “Hana astaga! Tobat, Na! Lo ngapain di kandang buaya!” Hana menoleh ke belakangnya, beberapa siswa sudah bertelanjang d**a. Matanya membulat. Belum sempat ia mengeluarkan protes, tangan Tobias sudah menarik bahunya untuk bangun dari duduk dan mendorongnya keluar kelas. “Woy, tunggu dulu gue mau ngomel!” “Dari tadi mereka udah nyuruh lo keluar,” kata Tobias sebelum menutup pintu kelas rapat-rapat. Hana mendengkus. Lagipula kenapa harus berganti pakaian di dalam kelas, protes Hana dalam hati. Bayangan tubuh atletis Randi menari di pikirannya. “Ah!” Hana menutup wajahnya. “Mata gue udah nggak suci!” “Na, nggak ganti baju?” Hana menurunkan tangannya dari wajah. Dira sudah berdiri di depannya menggunakan baju olahraga. “Anak cowo masih belum selesai juga?” Intan yang berjalan di belakang Dira ikut bertanya. Hana merapatkan bibirnya. Dira mengerjap, merasa sikap Hana yang aneh. “Lo baru keluar dari kelas?” tebaknya. “Kalian kenapa nggak ngajak gue ganti baju?” tanya Hana dengan nada rendah yang menusuk. Intan melotot. “Serius, Na? Lo dari tadi ngelamun baru kelar sekarang?” Tawa Intan membuncah. Pasalnya, sudah hampir tiga kali mereka memanggil Hana untuk berganti seragam. Namun, perempuan itu tidak merespon. Dira menyenggol lengan Intan. Memberi isyarat untuk berhenti meledek Hana. “Maaf, Han, gue kira lo udah denger tadi gue ngajak.” Hana membuang napasnya kesal. “Ya udah buru ganti baju, gue tunggu di sini. Kita ke lapangan bareng, ya,” bujuk Dira sembari sedikit mendorong tubuh Hana untuk segera berganti pakaian. Intan di sebelahnya masih terpingkal-pingkal. “Hana lo liat roti sobek dong!” seru Intan yang dibalas acungan jari tengah oleh Hana. *** Pembahasan ‘roti sobek’ itu masih berlanjut ketika Hana memasuki ruang olahraga. Kini Windi, Sonia, dan Intan sudah mengerubunginya. “Randi gimana? Dia, ‘kan, nggak pernah pamer rotinya tuh. Lo liat tadi?” Hana mengangguk. Bibirnya menggigit kucir rambut sedangkan tangannya sibuk merapikan rambut. “Thapi ghue liat sekilas,” katanya dengan nada tidak jelas. Windi memukul bahu Sonia. “Besok-besok gue mau pura-pura nggak denger juga, ah.” “Tapi yang lebih menggiurkan ternyata.” Hana menggantung kalimat untuk fokus mengikat satu ikatan terakhir kucir rambutnya. “Apaan jangan dipotong-potong anjir ceritanya,” protes Intan yang sudah mengambil langkah mendekat. “Jojo yang kita kira datar, ternyata punya.” Hana mengangkat enam jarinya. “Uh, kalian bakalan nyesel.” “Hua Hana!” histeris Windi dan Sonia mendengar cerita Hana. Dalam hati, Hana tertawa girang, padahal ia hanya mengarang cerita. Intan berdehem, “Terus kalo Tobias gimana?” Dahi Hana mengerut, “Maksudnya?” “Ya, siapa tau kayak Jojo, yang kita kira datar taunya punya.” Intan mengikuti gaya Hana dengan mengangkat enam jari. Hana tergelak. “Enggak anjir!” Tangannya memukul-mukul bahu Intan untuk mengekspresikan kegeliannya. “Tobias mah triplek. Dari luar aja udah keliatan nggak ada apa-apa.” Intan merengut, ia mengenyahkan tangan Hana dari bahunya. “Ya, Tobias, ‘kan, nggak pernah keringetan mana keliatan dia punya juga apa eng—“ Hana bergeleng sambil mengibaskan tangannya. “Sama aja!” “Kalo dijajarin nih, Tobias sama tiang bendera nggak ada bedanya,” lanjut Hana. “Euh iya, Na. Udah nggak usah dilanjut,” potong Sonia menahan gerakan tangan Hana. “Ntar dulu gue jelasin biar kalian tau. Tobias itu—“ Suara deheman rendah nan berat menginterupsi percakapan Hana. Windi, Sonia, dan Intan perlahan memundurkan kakinya lalu mengibrit meninggalkan Hana. Tubuh Hana menegang. Ia tahu pemilik suara itu. “Kalo mau ngerumpi bisa nggak, nggak usah dijalanan.” Hana menelan salivanya. Ia melenguh sambil menggaruk tengkuknya. “Anu, udah berapa lama gue ngehalangin jalan lo?” tanya Hana sambil menunduk. Ia tidak berani menatap wajah lelaki bertubuh tinggi itu. “Emm, sejak tiang bendera, maybe?” Mata Tobias melirik ke sudut atas kanan. “Eh, tapi gue sempet denger kata triplek juga, sih.” Rasanya Hana ingin tenggelam saja. Ini bukan pertama kalinya Hana menjelekkan Tobias, tetapi ini pertama kali Tobias memergokinya. “Ah, ya udah gue minggir dulu takut ngehalangin baginda raja jalan.” Hana membungkuk bersikap layaknya pelayan memberi hormat, kemudian ia berjalan mundur dengan tetap membungkuk. “Lain kali kalo mau ngomongin orang pastiin volume suaranya dikecilin.” Blash! Ucapan Tobias menusuk tepat di urat malu Hana. Dalam posisinya, Hana mengangguk. Sudah dapat dipastikan saat ini wajah Hana berubah warna. Ia lantas berbalik dan mengacir menjauhi Tobias. Kejadian yang memalukan. Rasanya ia ingin tenggelam saat ini juga. Hana buru menghampiri teman-temannya yang sudah mengambil barisan. Pak Darman—guru olahraganya—sudah memberi instruksi untuk membuat baris. Dari bola yang Pak Darman pegang, Hana sudah dapat menebak pelajaran apa yang akan dipelajari hari ini. “Pertemuan kali ini kita akan mempelajari teknik servis dan bola voli.” Pak Darman memutar bola voli itu di jarinya. “Ada tiga teknik servis. Servis bawah, servis samping, dan servis atas,” kata Pak Darman menjelaskan. “Ayo, kita mulai dari barisan laki-laki dulu.” Pak Darman melempar bola ke arah barisan laki-laki. Tobias yang berada di barisan depan berhasil menangkap benda bulat itu. Hana menyeringai, lelaki itu tidak akan mengeluarkan kemampuan aslinya. Dasar penakut, cibir Hana dalam hati. Tobias memutar bola biru-kuning itu di antara kedua telapak tangannya. Ia merentangkan satu tangannya ke depan. Menunggu aba-aba peluit untuk melempar bola itu. Setelah Pak Darman meniup keras peluitnya, Tobias langsung melempar bola itu. Ia meloncat dengan tubuh sedikit melengkung. Bagai pecutan, tangan kanannya mengayun mengenai bola tersebut. Woash! Bola itu sudah mendarat di seberang net. Kecepatan servis Tobias membuat semua temannya terkejut termasuk Hana. Mulut Hana sedikit membuka, ini pertama kalinya Tobias memperlihatkan kemampuannya di depan orang banyak. Sebuah tepuk tangan lantang dari Pak Darman diberikan kepada Tobias. “Kok saya baru tau, ya, kalo Tobi bisa nge-spike secepat itu.” Tangannya menepuk bahu Tobias kagum. “Gila Tobias. Tangannya nggak patah apa spikenya kenceng banget.” Dira berdecak, matanya berbinar kagum. “Kata Hana badannya Tobias kayak triplek. Tapi tadi kalo gue nggak salah liat pas Tobias loncat badannya berbentuk anjir!” pekik Sonia. Kala teman-temannya yang lain memuji Tobias. Hana justru terdiam. Sejak kapan Tobias mau menjadi pusat perhatian? Pertanyaan baru yang menghampiri benak Hana.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD