7. Ketidakpedulian

1075 Words
Cahaya mentari sudah menerobos celah gordennya. Sayangnya si pemilik kamar masih saja terperangkap dengan dunia mimpi. Ketukan pintu ringan terdengar dari arah luar. Dikarenakan tak kunjung mendapat jawaban, ketukan itu berganti menjadi suara kenop pintu yang terbuka. "Hana!" Rika berdecak, anak gadisnya memang paling susah untuk dibangunkan. "Han, Hana! Udah jam enam, mau jam berapa bangun?" Hana menggeliat. Tangannya bergerak untuk menggaruk telinganya. Rika kembali menggoyangkan tubuh itu. "Ibu nggak mau bangunin lagi, ya." Mata Hana mengerjap, seperti ada lem di kelopaknya ia tampak kesulitan membuka matanya. "Jam berapa?" "Jam enam. Cepet bangun!" Hana menguap. "Pasti bohong." Hana sering sekali dibohongi ibunya. Bilang jam enam padahal masih jam empat pagi. "Astaga ini anak. Liat itu jam segede gaban di kamar kamu." Rika lantas keluar dari kamar Hana karena harus mengurus suaminya yang hendak berangkat kerja. Membiarkan anak gadisnya kelimpungan sendiri, menjadi cara mendidiknya. Hana membuka mata kanannya, mengintip angka yang ditunjuk jarum pendek. Angka enam. Ia terlonjak dari tidurnya. Tangannya meraba seluruh kasur mencari benda pipih kesayangan perempuan itu. Setelah berhasil ditemukan buru ia mencari kontak seseorang. Bunyi nada dering terdengar, Hana menunggu dengan menggigit jari tangannya. "Halo, Tobi! Gue kesiangan lagi, lo jangan berangkat dulu tungguin gue. Bay, gue mau man-" "Nggak." Baru saja Hana ingin menutup ponsel itu, jawaban singkat lelaki di seberang sana memotong niatnya. "Ayolah, plis, kali ini aja—" Mata Hana membulat, sambungan panggilannya diakhiri sepihak. Tobias tidak membantunya. *** Rupanya Tobias benar-benar konsisten dengan sikapnya. Ia tidak akan menuruti perintah Hana lagi. Sambil berlari menuju gerbang sekolahnya Hana terus menggerutu. "Padahal mandi gue cepet, dasar cowo pala kotak." Seperti dugaannya, gerbang sekolah sudah ditutup rapat. Beberapa komdis dengan balutan jas almet merah marun sudah memasang ekspresi tersangar versi mereka. "Telat setengah jam," ucap kakak kelas berkacamata menyebutkan pelanggaran Hana. Membuat perempuan itu dongkol. Cowo kacamata emang perlu dibasmi, maki Hana dalam hati. Dengan berat hati Hana mulai menyapu halaman sekolah bersama dengan beberapa anak yang terlambat lainnya. Biasanya, ia tidak perlu repot menyapu karena jika bersama Tobias lelaki itulah yang menyapu dan tugas dia hanya memegang pengki. Hana baru merasakan beratnya sapu lidi bergagang bambu itu. Perempuan itu sedikit kesulitan menyapu kala embusan angin menarik kembali sampah-sampah yang ia kumpulkan. "Argh!" Belum masuk kelas, seragam Hana sudah basah karena keringat. Mata bulat Hana menangkap sosok laki-laki yang berjalan dari arah ruang guru menuju kelas. Hana mengangkat sapu lidinya. Berusaha menarik perhatian Tobias. Mata Tobias melirik padanya, tetapi hanya sekilas. Membuat Hana yang hendak meminta pertolongan menjadi urung. Sialan, maki Hana. "Itu kakak kelas yang pake hoodie hitam kemaren, 'kan? Gue akhirnya tau dong namanya." "Siapa?" Hana mendengkus, gibahan di pagi hari. Ada sedikit perasaan penasaran dalam diri perempuan itu. Membuatnya sedikit menggeser tubuhnya ke sumber suara. "Tobias Otaru! Anak sebelas IPA dua," kata perempuan berambut panjang kepada temannya. Hana sontak terbatuk. Tersedak dengan air liurnya sendiri. Kok bisa adik kelas kenal Tobias. "Dia masuk tim voli juga. Ah, kalo gini gue jadi tambah semangat aja nontonin tim voli tanding." "Voli?" Hana tidak tahan ikut menimbrung pergibahan itu. Tampak adik kelasnya merasa canggung, takut-takut kalau mereka melakukan kesalahan. "I-iya, Kak." Hana mengangguk. "Tau dari mana? Soalnya gue, 'kan, temen deketnya dan gue nggak tau tuh dia masuk tim voli." Tangannya ia lipat di depan d**a. "Euh, itu, Kak, kemaren aku dikasih tau temen aku yang anak voli katanya Kak Tobias daftar ekskul voli juga." Hana terdiam. Kenapa Tobias tidak memberitahunya? *** Hana memasukan tangannya ke dalam saku rok. Ia bersandar pada dinding ruang perpustakaan, menunggu seseorang yang sering masuk ke ruangan ini. Gotcha! Tobias berjalan santai. Seperti biasa wajahnya selalu menunduk. Cih, itu tidak pengaruh, sudah banyak siswi yang mengenalinya. "Cie, udah banyak yang kenal." Hana mengekor dari belakang saat Tobias melewatinya. Lelaki itu tidak merespon. "Cie, banyak yang suka." Tobias membuka pintu perpustakaan. Ia melepas gagangnya, tanpa berniat menahan pintu. Membuat Hana sedikit terantuk. "Tobias!" Ia mendorong kasar pintu besar itu. Berlari kecil untuk menggapai langkah Tobias. Perpustakaan Galena di kelilingi rak besar di setiap sudutnya. Terdapat meja dan kursi panjang tempat membaca yang terletak di tengah ruangan. Ruangan ini memiliki dua lantai dengan tata ruang yang berbeda. Udara sejuk yang berasal dari pendingin ruangan menyapa kulit Hana yang terbuka. Tobias melangkah menuju rak bertuliskan science, menandakan tema buku yang akan ia baca menyangkut pengatahuan alam. "Gue denger lo masuk tim voli Galena?" Hana menurunkan volume suaranya. Ia berada di jarak satu langkah di belakang Tobias. Tobias berdehem. Jarinya mengabsen satu per-satu barisan buku yang tertata. "Kok gue nggak tau?" "Emang harus?" jawabnya acuh tak acuh. Anatomi Fisiologi Manusia, akhirnya lelaki itu menemukan buku yang ia cari. Telunjuknya menarik ujung buku untuk dikeluarkan. Namun, sebuah telapak tangan menghentikannya. Membuat buku yang sudah menyembul keluar kembali masuk. "'Emang harus?' Lo tau nggak gue udah dengan pedenya bilang kenal sama lo. Tapi, info sepele kayak gini aja taunya dari orang lain. Keliatan b**o nggak, sih?" Tobias menoleh ke samping. Mendapati netra Hana yang menatapnya tajam. Siratan kekesalan dari mata perempuan itu terlihat jelas. Membuat Tobias sedikit menegakkan tubuhnya dan mendongakkan wajahnya. "Lo selama ini selalu cuek. Kenapa baru sekarang pedulinya?" Hana tergagap. Mulutnya baru ingin menjawab, tetapi tubuh tinggi Tobias sudah berlalu dari pandangannya. "Aish!" Hana mendesah kesal. Ia memukul kepalanya pelan. "Kenapa juga lo ngurusin, sih!" Tatanan poninya sedikit berantakan karena tepukan itu. "Kembali ke Hana yang dulu. Nggak usah peduli! Bodo amat sama Tobias!" Iya. Hana memang seharusnya tidak perlu memikirkan Tobias seperti ini. Namun, entah kenapa menjadi Hana yang bodo amatan pada saat ini terasa sulit. Karena semakin hari Tobias semakin membuatnya penasaran *** "Tobias gue kesiangan, tungguin depan kompleks!" Tobias menghela napas pendek setelah membaca pesan dari Hana. Padahal ia sudah bersiap menggunakan sepatu. Pak Ruli sudah menunggunya di dalam mobil. Tidak mungkin Tobias mengatakan ingin menunggu Hana. Pada akhirnya ia harus beralasan ingin ke kamar mandi. Menunggu pesan Hana bahwa perempuan itu sudah selesai. Setelah itu ia baru keluar kamar mandi dan berpura-pura bertemu dengan Hana di jalan. Ia tidak ingin ada yang menyalahkan Hana atas keterlambatannya. "Thanks, ya," ujar Hana kala mereka sudah sampai sekolah. Tobias mengangguk pelan membuat senyum Hana terbit. Padahal di depannya sudah ada Komisi Disiplin, bisa-bisanya Hana membuat senyuman lebar. Sedangkan Tobias sudah merasa keringat dingin. Catatan buruk akan tertulis kembali di rapotnya semester ini. "Ambil peralatan bersih-bersih di sana dan mulai bersihkan lapangan. Nggak ada yang boleh masuk kelas sebelum lapangan ini bersih," titah ketua komdis. "Lo yang nyapu nanti gue yang pegang pengkinya, ya," bisik Hana kepada Tobias.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD