4. ATM Berjalan

1151 Words
Perempuan berseragam putih biru itu terus mengintil laki-laki berkacamata di depannya. “Boleh, ya. Kalo berdua aja nggak seru.” Tobias tidak habis pikir bagaimana bisa Hana merubah rencana mereka dengan seenaknya. “Kata lo berdua doang.” Hana menunduk, memperhatikan ujung sepatunya yang membuat putaran kecil di aspal. “Kalo berdua doang nggak seru.” “Jalan sama gue nggak seru?” Rencana menonton pertandingan voli di SMA Galena tampaknya akan gagal karena Tobias yang terus-terusan menolak. “Ah, ya udah. Terserah. Gue males ngomong sama lo.” Tobias terdiam. Tadi pagi Hana masih bersikap baik padanya, apa bisa secepat ini sikap seseorang berubah. Tobias berpikir apa sikapnya sudah keterlaluan. Mungkin saja Hana mengajak teman yang lain karena dia bosan dengannya. Bisa juga karena Hana sadar bahwa Tobias tidak seseru teman-temannya yang lain. Kalau dia tetap menolak apakah Hana akan membencinya? “Ya udah, gue mau,” putus Tobias sebelum pemikiran negatifnya terus bertambah. *** Seperti biasa Tobias yang membayar biaya tiket masuk untuk dia, Hana, dan teman-temannya. “Makasih, Tobi!” Hana mencubit pipi kanan Tobias. Mereka mengambil duduk di barisan ke dua dari bawah. Tempat yang pas untuk menonton pertandingan. Seharusnya ini menjadi tontonan seru bagi Tobias. Olahraga kesukaannya berada di depan mata. Namun, Tobias malah diam melamun. Di sampingnya Hana tengah berteriak histeris karena baru saja bola lawan mengenai garis putih, membuat poin tim lawan bertambah satu. “Bi, greget banget nggak, sih, pas liberonya nggak ada di lapangan. Coba kalo ada, udah berhasil di receive tuh.” Tobias mengembuskan napasnya pelan. Sikap antusias Hana perlahan membuat Tobias ikut memperhatikan jalannya pertandingan. “Woah, lo liat spikenya tadi, ‘kan?” Tobias mengangguk, senyumnya merekah. Hana dapat melihat binar di mata lelaki itu. Dalam hati ia bersyukur, sepertinya kondisi hati Tobias sudah membaik. “Lo bisa kayak gitu juga?” Tobias mengendikan bahunya. Ia mengambil botol minumnya lalu meneguk. “Dih, merendah untuk meninggoy. Apa susahnya bilang ‘bisa’,” cibir Hana. Hana sudah tahu kemampuan Tobias, dia hanya ingin memancing sahabatnya itu saja. Tobias menyeka sisa air yang membasahi atas bibirnya, sedangkan matanya bergerak ke kanan dan ke kiri mengikuti bola. Sebuah servis dilakukan oleh SMA Galena menghasilkan satu poin tambahan untuk mereka. Teknik jump servis yang digunakan berhasil merebut momentum pertandingan menjadi milik SMA Galena. Hana berdecak kagum. Teknik yang pernah digunakan Tobias saat latihan. Ternyata melihat teknik itu saat latihan dan saat di pertandingan rasanya sangat berbeda. Membayangkan Tobias bisa menggunakannya di pertandingan sungguhan, membuat Hana mencari ide untuk mewujudkannya. “Nanti kita SMA di Galena aja, ya. Terus lo masuk tim volinya.” “Enggak.” Out. Tobias meringis dalam hati, spike yang dilakukan ace Galena gagal. “Ish, kalo lo masuk tim volinya nanti lo kenalin gue ke kakak yang itu tuh.” Hana menunjuk salah satu middle blocker SMA Galena. “Dia kelas sepuluh. Berarti pas kita masuk nanti dia udah kelas sebelas.” Tidak mungkin Hana akan memberitahu alasan yang sebenarnya, untuk itu ia mencari alasan lain. Hana tidak akan berhenti cerocos sebelum Tobias mengangguk mengiyakan permintaan dia. “Iya.” “Yeay! Janji, ya, kita masuk SMA Galena, terus lo masuk tim volinya.” Kelingking Hana bergoyang di depan wajah Tobias. Lelaki itu menyingkirkan jari Hana yang mengganggu pandangannya. “Ya.” Awalnya Tobias mengatakan itu hanya untuk menghentikan ocehan Hana, karena dia yang ingin fokus menonton pertandingan. Ia lupa bahwa tidak ada janji yang tidak ditagih oleh Hana. Hana kembali mengganggu Tobias yang tengah terlarut dalam pertandingan. Ia menarik ujung jaket Tobias. Mendekati telinga lelaki itu untuk membisikkan sesuatu. “Oh, iya, nanti pulangnya ke mekdi dulu, yuk. Laper.” Padahal ini masih set kedua, tetapi Hana sudah merencanakan kunjungan selanjutnya. “Ya,” jawab Tobias cepat. Feint. Mata Tobias melebar, teknik tipuan itu berhasil menipunya juga sebagai penonton. “Ajak yang lain juga, ya.” Tobias menghela napasnya. Tidak bisakah Hana melihat Tobias yang tengah menikmati pertandingan. Tobias mengangguk, akan percuma kalau dia menolak. Anggukan singkat Tobias lantas membuat Hana bersorak. “Gaes, kalian gue traktir makan!” ucap Hana kepada teman-temannya. Tobias spontan menoleh ke arah Hana. “Lo yang bayar?” Ia sedikit terkejut, tumben sekali Hana mau mentraktir karena biasanya Tobias-lah yang membayar semuanya. “Gue mana punya uang.” Telunjuknya mengarah pada Tobias. “Lo, ‘kan, anak sultan. Bayarin, ya.” Senyumnya tercetak dengan lebarnya. Membuat Tobias yang ingin menolak menjadi enggan. Setelah itu perhatian Hana kembali ke tengah lapangan. Soraknya kembali heboh saat middle blocker kesukaannya berhasil menghalau bola. Tobias sedikit merenggut kesal. “Lo ngajak ngomong mulu. Gue nggak liat blokannya tadi,” gerutu Tobias. “Hua! Saranghee oppa!” Entah kenapa, tiba-tiba telinga Tobias terasa gatal. *** “Thanks, Na. Kita balik dulu, ya.” Hana mengangkat tangannya untuk melambai. “Hati-hati! Kalo ada pertandingan lagi kita nonton lagi, yaw!” “Sip! Asal ditraktir lagi,” sahut temannya yang berambut ikal. Gurauannya lantas diiyakan oleh Hana. Sementara Tobias di tempat duduknya tengah meneliti deretan angka yang tertera di kertas putih. Ayahnya memang tidak akan menanyakan dihabiskan untuk apa saja uang jajannya itu, tetapi tetap saja nominal yang tertera membuat Tobias mengurut dahinya yang mengerut. Hana di luar ruangan masih sibuk bercanda dengan teman-temannya yang tengah bersiap-siap untuk pulang. Tanpa merasa bersalah Hana tidak menyanggah persangkaan teman-temannya jika yang membayar adalah dia. Tobias menyeruput fanta floatnya. Tangannya sibuk menggulir layar gawainya. Mengalihkan stressnya untuk membaca komik online favoritnya. “Baca manga terus,” celetuk Hana. Saking keasyikannya dengan bacaan, Tobias sampai tidak menyadari kehadiran perempuan itu. “Udah selesai?” Tobias menutup aplikasi komik dan menaruh gawainya. Hana mengangguk cepat. “Ayo pulang!” Ia berlari ke arah pintu keluar. Tangannya dengan cepat meraih pintu dan membukakannya untuk Tobias. Tobias sudah paham. “Lo pulang naik ojek aja biar cepet sampe rumah atau pake taksi biar nggak item kulitnya?” kata Hana saat mereka sudah berada di luar. Ia kembali bertingkah baik karena Tobias yang sudah menuruti keinginannya. “Mau gue yang pesenin?” Lelaki itu menghela napas panjang. Membuat Hana sedikit bingung. “Kenap—“ “Ayo pulang bareng aja,” potong Tobias. Setiap kali Tobias mentraktir teman-temannya Hana dan mengatasnamakan perempuan itu. Hana selalu saja tidak mau pulang bersama Tobias. Ia pikir Tobias tidak harus naik kendaraan umum bersamanya. “Nanti bau keringet. Terus lo bakalan bete.” “Ya udah pesenin taksi.” Tobias menyodorkan gawainya. “Sama lo juga.” Hana dengan cepat menggoyangkan kepalanya. “Enggak. Gue naik kendaraan umum aja.” Setidaknya Hana masih mempunyai rasa tidak enak itu, walau hanya sedikit. “Nanti lo turun di depan perumahan gue.” Tobias menarik tangan Hana dan menempatkan gawainya di telapak tangan gadis itu. “Gue males di mobil sendiri.” Hana tersenyum. Ia langsung mencari aplikasi taksi online dan memesannya. Tobias tidak akan pernah meninggalkannya. Seburuk apa pun Hana. Itu yang selalu Hana pikirkan, tanpa ia ketahui bahwa waktu dapat mengubah segalanya.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD