34. Good Looking

1049 Words
Tobias menatapnya menunggu jawaban. Padahal percuma saja kalau Hana menjelaskan pun, Tobias tidak pernah sepemikiran dengannya. Alias mereka berdua melihat dari dua sudut pandang berbeda. "Dia lagi nyoba buat akrab." Nada Hana terdengar seperti pertanyaan ketimbang pernyataan. "Gue nggak enak aja kalau nggak ladenin dia. Tapi di sisi lain gue nggak suka." "Gue bener-bener nggak paham." Hana tersenyum tipis. Tobias memang tidak akan paham. *** Udara pagi ini berembus kencang. Membuat Hana merapatkan jas sekolahnya. Ia sengaja bangun pagi. Kalau rencananya ini berhasil. Pagi ini ia akan meminta Tobias untuk mengizinkannya berangkat bersama. Namun, tampaknya rencananya hampir tidak berhasil karena Tobias tidak melihat Hana yang sudah melambai di seberang jalan. "Woy, Tobias!" Hana berlari berusaha memanggil cowok itu yang sudah keluar dari perumahannya. "TOBIAS OTARU!" Teriakan Hana akhirnya berhasil. Motor Tobias berhenti. Hana berlari mencapai tempat Tobias berhenti. "Lo." Hana berbicara dengan napas yang masih engos-engosan. "Nggak ... denger ... apa gue panggil dari tadi." Hana menepuk-nepuk dadanya. "Cepetan naik," titah Tobias. Hana pun menaiki motor Tobias. Wangi pinus khas cowok itu menyapa indra penciuman Hana. Saat tangan Hana sudah berada di mencengkram jaket levis Tobias, cowok itu baru menjalankan motornya. Kecepatan 50 kilometer per jam yang digunakan Tobias membuat rambut Hana yang tidak dikuncir itu berterbangan. Terpaan udara di pagi itu menyapa pipi Hana. Membuat cewek itu reflek memejamkan matanya untuk merasakan terpaan itu. Ia mulai membuka kelopak matanya saat terpaan keras itu sudah tidak ia rasakan. Gerbang bertuliskan Galena Highschool tertangkap oleh matanya. Tobias membawa motornya itu ke arah tempat parkir. "Tobi, turunin gue di lobi aja." Namun, Tobias malah terus mengegas hingga parkiran. Membuat Hana kembali mencak-mencak karena harus berjalan lagi dari tempat parkir ke lobi sekolahnya. "Lo mah nyebelin banget gue kan nyuruh turunin di lobi ah elah. Gue harus jalan lagi ke sana." Hana menggerutu sambil merapikan rambutnya yang berantakan. Tobias dengan wajah datarnya membuka helm dan memastikan motornya sudah terkunci. "Kalau nggak suka besok nggak usah bareng," katanya santai. "Eh, oke oke. Nggak. Gue cuma bercanda kok. Nggak apa-apa diturunin di sini. Atau mau sekalian diturunin di depan gerbang juga boleh kok." Hana menarik kedua sudut bibirnya paksa. Sedangkan Tobias hanya berlalu di depannya. Di belakang Tobias, Hana sudah geregetan ingin memukulnya. Bahkan kakinya sudah bergaya seakan ingin menendangnya. Langkah mereka memelan saat melewati mading sekolahnya sudah dikerumuni oleh siswa dan siswi. "Itu ada apa, Bi." Tobias sudah ingin melewati kerumunan itu, tapi Hana menahannya. "Bi, liat dulu itu. Lo kan tinggi. Gue terlalu pendek buat liat ada info apa di mading." Suara decakan kecil lolo dari mulut Tobias. Cowok itu dengan berat hati mengikuti keinginan Hana. "Pemilihan duta sekolah." Tobias membaca judul poster yang ditempel di papan mading. Hana mengangguk kecil. Dia baru ingat kalau setiap tahun ada pemilihan duta sekolah yang hanya bisa diikuti oleh anak kelas sebelas. Biasanya duta sekolah ini bertugas untuk menjadi face of school. Setahu Hana syarat untuk mendaftar jadi duta salah satunya harus memiliki prestasi di bidang akademik maupun non akademik. Mempunyai keahlian public speaking yang bagus, menguasai bahasa inggris. Terakhir yang juga masuk ke dalam penilaian adalah penampilan. Duta sekolah ini biasanya Hana mengatakannya untuk mencari siswa good looking yang pintar. Bahkan di tahun lalu yang menjadi duta sekolahnya adalah salah satu artis ibukota yang bersekolah di Galena. Hana menaruh tasnya di tempat duduknya. "Oke gaess!" Dira berdiri di depan kelas. "Untuk pemilihan duta tahun ini. Setiap kelas harus ngajuin minimal satu kandidat cewek atau cowok. Ada saran?" Hana menangkupkan wajahnya. Memerhatikan teman-temannya yang tengah sibuk mencari perwakilan dari kelasnya. Di kelas, Hana memang selalu menempatkan dirinya sebagai tim iya iya aja. Dia tidak ada keinginan untuk ikut memberi pendapat atau menyanggah. Pokoknya dia ngikut saja apa keputusan teman-temannya. Sampai pada satu nama yang disebut untuk pertama kalinya Hana menolak. "Gue nggak setuju!" Dira mengernyitkan dahinya. "Kenapa emangnya? Tobias udah pas tinggi, pinter, berprestasi, dan ya semua sepakat kalau Tobias ganteng. Ya kan?" Dira menanya pendapat yang lain. "Nggak, Dir. Tobi nggak bisa. Dia suka gugup kalau dilihat banyak orang. Pokoknya nggak bisa, dia nggak bagus public speaking-nya." "Tapi Tobi kayaknya nggak keberatan," ucap Dira sambil melihat ekspresi Tobias yang tidak menolaknya. "Nah itu karena dia nggak bisa ngomong. Gue terus yang jadi jubir dia. Jadi udahlah jangan memalukan kelas kita dengan nunjuk Tobias. Oke?" Karena Tobias sama sekali tidak mengeluarkan suaranya tidak setuju atau setuju. Dira menganggap kalau omongan Hana benar. "Oke, jadi kira-kira siapa?" "Rabian aja tuh." Hana memberi saran. Rabian yang baru sampai ke kelas bahkan belum sempat duduk terbingung. Ia menunjuk dirinya sendiri. "Gue? Gue ngapain?" "Rabian sebagai perwakilan kelas kita buat seleksi pemilihan duta." Hana menjelaskan sambil mencetak senyumnya. "Emm, lo nunjuk harus sesuai kriteria, Han," sahut Sonia. "Iya, menurut gue Rabian udah cocok." Hana meyakinkan. "Dia pinter, kalian liat sendiri kan kemaren? Public speakingnya bagus. Dia sering debat sama gue. Apa lagi, udah fix Rabian." "Lo belum nyebutin kriteria terakhir?" tanya Dira memancing Hana. "Hana nunjuk Rabian sebagai duta sama aja dia bilang Rabian good looking dong," Intan mengompori. Membuat seisi kelas malah menyoraki untuk meledek Hana. Cewek itu kelabakan karenanya. "Ih, nggak gitu maksud gua. Anjir sumpah ya lo pada diem nggak!" "Iya nggak usah salting gitu," kata Jojo. "Diem ya lo, Jo, gue jejelin kecoa lo, ya." "Rabian ganteng jadi cocok jadi duta. Gitu kan maksudnya, Han?" ucap Sonia sambil terkekeh geli melihat Hana memelototinya. Rabian yang namanya disebut hanya menggaruk tengkuknya yang tak gatal. Saat matanya dan mata Hana bertabrakan, cowok itu menaikkan satu alisnya. Membuat Hana langsung membuang mukanya. Rabian tergelak karenanya. "Gue bersedia ngewakilin kelas kita." Tobias berdiri di antara keriuhan yang terjadi. Kelas seketika hening. "Tobi." Hana menghampiri cowok itu. "Lo jangan mempermalukan diri, ya. Lo nggak bisa." Cewek itu menepuk bahu Tobias. "Gue bisa," bantah Tobias. "Gue peringkat pertama. Prestasi non akademik gue di bidang catur. Kemampuan public speaking bisa di tes juga. Paling yang terakhir. Gue nggak tau apa gue termasuk good looking." "Enggak. Lo sama sekali nggak ganteng," sergah Hana langsung. "Dih, belekan lo ya. Tobias dibilang nggak ganteng." Intan protes. "Iya dah, Tobias nggak ganteng, yang ganteng Rabian. Cieee." Sonia kembali mengompori. Membuat kelasnya kembali riuh meneriaki "cie" kepada Hana. Hana menutup telinganya kemudian kembali duduk di kursinya. Ia bisa menahan ini. Lebih baik diledek satu kelas ketimbang melihat Tobias ikut seleksi duta sekolah. Entah kenapa, hati Hana menolaknya.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD