33. Masalah Sepele

1016 Words
"Gue nggak dibolehin dateng. Kata ayah karena gue nggak diundang. Nama gue nggak kedaftar." Hana memasukan ketoprak pesanannya ke dalam mulut. Lelaki di depannya hanya mengangguk kecil mendengarkan curhatan Hana. Ia menceritakan semua keluh kesahnya selama beberapa hari ini. Tentunya tidak termasuk perubahan Tobias. "Padahal bisa aja gue numpang nama sama lo. Gue sama Viola kan temenan. Ya kan? Parah sih. Pilih kasih." "Tapi lo juga baru kenal dia beberapa hari," tukas Tobias. Namun, Hana seperti tidak peduli dengan itu. Menurutnya, itu sama saja tandanya mereka sudah berteman. "Terus masalah ekskul lo gimana? Udah dapet penggantinya?" "Nah, itu dia!" Hana menjentikan jarinya. "Gue bakatnya apa?" Melihat ekspresi datar cowok di depannya. Membuat Hana sedikit sangsi kalau Tobias mau meladeninya. Cowok itu kembali menyuap makanannya dan fokus untuk mengunyah. Ngapain nanya, nggak bisa ngasih solusi, batin Hana menggerutu. Sebenarnya masih ada lagi masalah yang mau ia keluarkan. Namun, melihat Tobias yang sedari tadi hanya menatapnya tanpa ekspresi membuat Hana enggan. "Udah curhatnya? Nggak ada lagi?" Tobias bertanya. Benar, kan, cowok itu hanya tidak benar-benar peduli dengan apa yang Hana curhatkan. "Iya iya gue emang bawel. Oke, gue diem," kata Hana sambil mengunyah makanannya dengan rakus. Tobias mengernyitkan dahinya. Tidak menyadari apa yang salah dengan pertanyaannya. "Lo kan bisa gambar kenapa nggak masuk ekskul seni lukis." Tobias berusaha menerka kalau penyebab marahnya Hana karena pertanyaan cewek itu tadi tidak dijawabnya. Hana hanya mengendikan bahu. Tampak tidak tertarik dengan saran yang diberikan Tobias. Tobias sendiri sebenarnya bingung, padahal Hana punya bakat itu. Hasil gambar cewek itu bagus, tapi kenapa Hana tidak pernah tertarik untuk belajar lebih dalam. "Lo tertarik sama dunia peran? Bisa masuk ekskul teaternya. Setiap tahun mereka suka bikin event besar. Prestasi teater SMA kita juga bagus. Lumayan buat nilai tambahan di rapot," terang Tobias panjang lebar. Sedangkan Hana masih saja memperlihatkan muka suntuknya. Membuat Tobias urung melanjutkan bicaranya. Kalau cewek itu sudah mode ngambek seperti ini, yang sudah-sudah endingnya Tobias harus berbuat sesuatu yang lebih. Sesuatu yang tidak akan ia lakukan lagi saat ini. Untuk itu Tobias ikut terdiam tanpa mau mengajak bicara Hana lagi. Di sisi lain, cewek itu pikir Tobias sudah tidak mau mendengarnya bercerita. Hana berharap cowok itu akan membujuknya lagi dan membolehkannya untuk bercerita. Namun, yang terjadi Tobias malah ikut mendiaminya. Bahkan sampai mereka selesai makan dan berboncengan pulang pun tidak ada yang memulai. Ini pertama kalinya bagi Hana merasakan Tobias tidak meladeni marahnya. "Makasih," ucap Hana singkat sambil turun dari motor. Ia membuka helm yang ia pakai dan melemparnya ke arah Tobias. Untungnya cowok itu memiliki reflek yang cepat sehingga helm yang dilempar Hana tidak mengenai wajahnya. Di balik helm fullfacenya, Tobias menarik sedikit ujung bibirnya. Selama ini ia tidak pernah menyadari kalau ekspresi marah cewek itu terlihat lucu? Mungkin karena selama ini ia terlalu fokus berpikir cara agar Hana cepat memaafkannya. Beberapa waktu yang lalu adalah pertama kalinya Tobias memerhatikan ekspresi marah cewek itu cukup lama melalui spion motornya. *** Hana berulang kali mengecek ponselnya. Masih berharap Tobias akan menghubunginya. Anehnya, Hana tidak akan meminta macam-macam lagi pada cowok itu untuk menghilangkan marahnya. Ia cuma berharap Tobias menghubunginya saja. Namun, bukannya nomor Tobias yang masuk ke notifikasi pesannya. Justru cowok itu lagi. Kok lo nggak bangunin gue sih From Rabian "Nggak bangunin?! Gue udah susah payah bangunin dia juga." Sambil mendumel cewek itu membalas pesan Rabian. Gue udah bangunin. Lo nya aja budek Send. Masa? Gue manusia paling gampang dibangunin loh. Bohong lo ya? From Rabian Hana yang awalnya rebahan, jadi bangkit duduk membaca pesan dari Rabian. "Wahaha sinting nih orang. Dia yang kebo, orang yang dibilang bohong." Hana mengirimkan stiker jari tengah untuk membalas pesan cowok itu. Beberapa detik kemudian Rabian sudah membalasnya. "Ih!" Hana membelalakan matanya melihat emot cium yang diberikan cowok itu. Saat ia ingin membalas pesan itu lagi. Suara ketukan pintu dari arah luar menginterupsinya. "Han." Hana terdiam. "Hana." Itu suara Tobias. Hana langsung loncat dari kasur dan segera membukanya. Saat pintu terbuka, Hana sendiri baru sadar kalau ia terlihat sangat antusias. Harusnya gue marah kan? batin Hana bertanya pada dirinya sendiri. Cewek itu berdehem. Mengatur ekspresi wajahnya agar kembali terlihat judes. "Ngapain lo ke sini?" Ia menyipitkan matanya. Mencebikan bibir. Dan melipat kedua tangannya di depan d**a. Ekspresi yang justru membuat Tobias senang melihatnya. "Kali ini gue salah apa?" Hana mengerjap. Biasanya Tobias akan langsung meminta maaf tanpa bertanya kesalahannya apa. "Gue cuma bingung aja lo tiba-tiba marah-marah gitu padahal awalnya biasa aja." Tobias menaruh tangannya ke dalam saku. "Gue salah apa? Kalau lo marah tanpa alasan. Lebih baik berhenti." "Lo nggak mau denger cerita gue," sergah Hana. Tobias menggaruk keningnya yang tak gatal. "Tapi gue nggak ada ngomong nggak mau denger cerita lo." "'Udah curhatnya? Nggak ada lagi?' Itu artinya lo udah capek dengerin cerita gue. Ya kan?" Tobias tersenyum miring. Bahkan ia yang mengatakan saja baru tahu kalau artinya seperti itu. Ponsel Hana kembali bergetar membuat atensi mereka teralih ke benda pipih itu. "Nggak mau dilihat dulu?" tanya Tobias. "Ah, palingan Rabian." Ekspresi wajah Tobias berubah. "Lo udah deket sama temen sebangku lo itu, ya." "Deket apanya. Gue justru mau pindah. Risih tau nggak. Gue tadi mau cerita itu, lo nya nggak mau denger." Tobias mengangguk kecil. Kemudian mengambil pergelangan tangan cewek itu dan menuntunnya menuju ruang tengah. "Ayo cerita." Tobias mendudukan bokongnya di atas sofa. "Gue denger." "Gue mau duduk bareng lo lagi. Otak gue selama belajar nggak jalan sumpah. Jadi nggak bisa mikir, nilai gue juga jadi turun." "Buat nyontek lagi?" Hana mengerjapkan matanya cepat. Kenapa Tobias mengatakannya secara terang-terangan? "Lo liat nih, gue dichat terus sama Rabian. Tu orang ngerasa gue udah jadi temennya. Jadi seenaknya ngechat gue terus." "Kalo nggak suka kan bisa nggak usah diladenin?" Sampai detik ini pun Tobias masih tidak bisa memahami Hana. Kenapa permasalahan yang sebenarnya simpel harus dibuat sulit. Perilaku Hana ini mengingatkan Tobias pada saat mereka SMP dulu. Hana justru membantu orang yang ia sebut rivalnya. Padahal simpelnya, jika memang itu rival Hana tidak perlu membantunya. "Iya gue mau kayak gitu juga. Nggak peduliin dia. Tapi gue jadi kepikiran dia gitu mungkin karena..." Tobias memajukan badannya. Menunggu kelanjutan ucapan cewek itu. "Karena apa?"
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD