SEBELAS

1858 Words
Abian tidak bisa memercayai matanya. Carissa mengenakan gaun pengantin putih yang membuatnya tampak seperti putri dari neEgri dongeng. Abian percaya Carissa adalah gadis yang cantik jika saja ia mau sedikit memerhatikan penampilannya. Tapi Carissa selalu nyaman dengan kaus oblong dan celana jins. Dan jika ke kantor ia sudah nyaman dengan blus dan celana bahan atau rok. Carissa tidak pernah berupaya untuk terlihat cantik di depan Abian, tapi kali ini Abian bersumpah Carissa akan menjadi pengantin wanita tercantik yang pernah ia jumpai. Seketika hati pemuda itu sakit. Seperti ada compressor yang menyedot isinya keluar. Abian sadar tinggal hitungan jam lagi Carissa akan menjadi pengantin wanita dengan pengantin pria yang bukan dirinya. Kenyataan itu nenghantam Abian bertubi-tubi. Carissa memandang pantulan bayangannya di cermin yang besarnya mampu menangkap seluruh tubuh. Ia mantap dengan pilihannya. Ada beberapa model gaun pengantin yang diajukan namun ia nyaman mengenakan yang ini. Model gaun yang menutup seluruh bagian d**a dan membungkus lengannya hingga siku namun tetap menonjolkan bagian pinggulnya yang ramping. "Mau coba yang lain?" Lady, pemilik butik menawarkan pilihan lain yang langsung disambut gelengan oleh Carissa, "Tapi sepertinya Bapak Gemma lebih suka kalau Ibu memakai yang ini." Lady menujukkan koleksi gaun pengantin lainnya dengan bagian d**a rendah tanpa lengan. Carissa bergidik ngeri dengan gaun pilihan Lady. Ia tidak pernah nyaman memakai baju terbuka dan glamour. Ia sadar gaun pengantin yang tengah dikenakannya ini terlihat sederhana, tapi ia merasa nyaman. "Oke, baiklah kalau memang sudah cocok sama yang itu." Lady mengalah, "Di mana Bapak Gemma? Kenapa bukan dia yang mengantar calon istrinya ini?" Mata Lady melirik Abian sekilas seolah mempertanyakan siapa gerangan pemuda yang bersama calon istri orang lain tersebut? Carissa memergoki lirikan Lady dan baru menyadari Abian ada di sana memerhatikan dia mematut diri di depan cermin. "Dia sibuk. Tidak bisa menemani." Carissa menjawab sekenanya. "Ya, orang bank seperti dia selalu sibuk. Saya salah satu nasabahnya. Diskon khusus untuk Bapak Gemma." Carissa tersenyum datar. Mulai merasa tidak enak hati pada Abian. Sejak awal pemuda itu menawarkan untuk menemani Carissa mencoba gaun pengantin, ia sudah merasa bersalah. Kekasihnya menemani mencoba gaun pengantin untuk pesta pernikahannya dengan orang lain besok lusa. Benar-benar mimpi buruk dalam sebuah hubungan. "Kamu cantik sekali, Babe." Abian bergumam ketika Lady menjauh dari mereka untuk menyambut pelanggan lain yang baru datang. "Kamu baik-baik saja, Abi?" "Kekasihku akan menikah sebentar lagi. Tapi sialnya bukan denganku. Apa menurutmu aku bisa baik-baik saja?" Mata sayu Abian mengiris hati Carissa perlahan. Jenis sayatan yang meninggalkan perih. "Aku tidak percaya ini terjadi pada kita." Carissa bergumam lebih kepada dirinya sendiri. Ia tertunduk melihat ujung gaunnya, berharap Abian merangkulnya, seperti yang sudah-sudah ketika gadis itu sedih, tapi kali ini Abian tetap berdiri di tempatnya dan itu menyebabkan rasa sakit yang lain di hati Carissa. "Setiap pilihan memiliki konsekuensi." Abian balas bergumam. Carissa mengangkat wajahnya dan mencari mata Abian. Berusaha menemukan ketenangan di sana. Berusaha menemukan maaf, andaikan pemuda itu benar bisa memaafkannya setelah semua ini. Tapi Abian memilih membuang muka. Mengikuti bayangan Lady yang sibuk mempromosikan gaun pengantin ke pasangan dengan sinar bahagia tergambar jelas di wajah mereka. Carissa tidak pernah merasakan jatuh cinta. Setelah kematian orangtuanya ia rasa cinta itu ikut tertanam di liang lahat. Carissa masih terlalau kecil untuk mengingat detail di hari ketika ia menjadi yatim piatu. Tetapi kejadian sesudah itu membuat Carissa seolah mengais cinta kemana-mana. Ia iri melihat teman-teman sekolahnya berlibur dengan orang tua mereka, merayakan ulang tahun dengan orang tua mereka, diberi hadiah oleh orangtua mereka. Roni dan Veronica selalu berusaha menjadi orangtua bagi Carissa. Tapi rasanya tetap tidak sama. Teman-temannya memiliki ayah, ibu, kakek dan nenek. Kenapa dia hanya memeliki kakek dan nenek yang selalu berupaya berperan seperti orangtua? Ia ingat dengan jelas ketika SD dulu teman-temannya bercerita saat istirahat tiba, bahwa ibu mereka marah karena mereka tidak tidur siang dan malah menonton televisi, tapi nenek mereka membela. Membiarkan cucunnya menonton televisiv dan akan bertanggungjawab kalau ibu mereka marah lagi. Veronica tidak pernah melarang Carissa melakukan apapun. Bahkan ada televisi di kamar Carissa yang bisa digunakannya untuk menonton jam berapa pun. Ia ingat ketika itu ingin sekali punya seorang ibu yang memarahinya karena menonton televisi terus. Carissa tumbuh menjadi remaja yang pendiam. Cenderung menarik diri dari lingkungan. Ia tidak pernah punya teman akrab ketika kuliah dulu. Beberapa cowok yang mendekatinya hanya ditanggapi acuh tak acuh oleh Carissa. Ia tidak bisa memberikan cinta dalam bentuk apa pun. Ia sendiri kekurangan cinta. Carissa sengaja mengambil jurusan arsitektur di salah satu universitas di Jawa. Jauh dari rumahnya. Jauh dari kakek neneknya. Ia tidak ingin tumbuh dewasa dan merasa masih diperlakukan seperti anak umur lima tahun oleh kakek dan neneknya. Carissa bekerja di salah satu perusahaan konstruksi selama setahun dan memutuskan untuk pulang ke Manado ketika Roni Kalalo memohon agar Carissa menemaninya. Sudah 2 tahun berlalu sejak Veronica meninggal ketika itu. Ia lalu melamar di salah satu firma arsitek dan di sanalah ia pertama kali mengenal Abian. Abian bekerja di bagian marketing. Berkat ia perusahaan bisa menenangkan tender ataupun mendapatkan klien. Abian begitu hangat, bersahabat, menyambutnya dalam pertemanan meskipun Carissa adalah pegawai baru di sana. Ia ingat dengan jelas bagiamana Abian menerobos ruang kerjanya membawa dua kotak makan siang di minggu ke dua Carissa bekerja, "Aku tidak pernah melihatmu keluar di jam istirahat. Aku juga tidak pernah lihat kamu bawa makanan dari rumah. Kamu diet?" Ketika itu Carissa menggeleng. Menatap wajah Abian cukup lama dan mengenali pemuda itu adalah pegawai dari unit marketing. Carissa memiliki masalah dengan pergaulan di lingkungan sekitarnya. Ia tidak pernah punya teman akrab sejak sekolah dan kuliah dulu. Ia bahkan tidak punya teman makan siang di kantornya yang dulu. Ia tidak tidak terbiasa beramah-tamah duluan. Hal itu kadang-kadang membuatnya dicap sebagai gadis yang sombong. Padahal ia hanya canggung dan tidak tahu bagaimana caranya memulai pertemanan. Ia selalu merasa berbeda. Hanya perasaannya saja. Ia merasa berbeda karena tumbuh besar tanpa kedua orangtua. "Kalau begitu kebetulan aku beli makanan lebih. Ayo kita makan sama-sama." Abian menyerahkan salah satu kotak makanan yang dibawanya pada Carissa. Carissa menerima karena tidak memiliki alasan untuk menolak. Selain itu perutnya memang lapar. Sejak saat itu ia selalu makan siang bersama Abian. Butuh satu tahun bagi Carissa untuk menyadari bahwa ia jatuh cinta pada pemuda itu, pada mata sayunya, pada rambut bergelombangnya, pada leluconnya. Butuh satu tahun bagi Carissa untuk percaya bahwa sebenarnya ia masih memiliki cinta untuk dibagi. Ia ingin memberikan cinta yang layak untuk Abian. Maka ia mengumpulkan patahan-patahan yang terserak dari sudut-sudut hatinya, menyatukannya dan menyerahkannya pada Abian. Abian merasakan hal yang sama, mengungkapkan perasaannya pada Carissa dan gadis itu menerimanya. Carissa ingat betapa hidupnya lebih berwarna ketika Abian menjadi kekasihnya. Ia menemani Carissa menggambar desain bangunan di kantor hingga larut, mendengarkan cerita Carissa tentang klien yang banyak maunya, menyelipkan anak rambut Carissa yang mencuat karena tertiup angin, menarik Carissa ke dalam pelukan ketika gadis itu menangis. Carissa selalu menangis ketika sepulang dari Panti dan menemukan penghuni pantinya bertambah satu. Bertambah satu anak yatim piatu yang kehilangan kasih sayang orangtua. Sebelumnya Carissa menjalani semua itu sendiri, ia senang karena kini ada Abian bersamanya. Tapi, mulai sekarang tidak ada lagi Abian. Carissa cepat menghapus air mata yang meluncur di pipinya dengan punggung tangan sebelum Abian menyadari. "Ayo kita pulang. Ini sudah larut." Abian menoleh ke arah Carissa sejenak. "Aku tunggu di mobil selagi kamu mengganti pakaian itu." Abian berbalik. Carissa tidak bisa melepaskan pandangannya dari punggung lelaki itu hingga bayangannya menghilang di balik pintu butik. Carissa berlari ke ruang ganti dan melepaskan tangisannya di sana. Tangisan tanpa suara karena ia tidak ingin siapapun mendengar dan bertanya-tanya. Ia menangis dan menanyakan pada dirinya sendiri kenapa kira-kira Opa tega berbuat ini padanya. ***   Haris Maramis berjanji akan datang besok di acara akad nikah Gemma. Kalau bukan karena ayahnya yang menelepon ia tidak akan tahu bahwa Gemma serius soal pernikahan itu, bahwa Gemma akan melangsungkan akad nikah besok di Mesjid Raya. "Gemma mau menikah besok. Dia minta Papa datang. Tapi Papa sibuk. Papa datang hari Sabtu saja di pestanya." Maxi Maramis menelepon Haris menceritakan bahwa Gemma baru saja memintanya hadir di acara akad nikah besok. "Oke, besok saya datang ke sana." "Jangan bilang Papa yang kasih tau ngana."  Maxi berpesan sebelum menutup telepon. Pesan yang konyol karena tentu saja Gemma akan tahu darimana sumber berita yang membocorkan rencana akad nikah kalau dirinya tiba-tiba muncul di sana besok. Gemma sangat dekat dengan opanya. Ia bisa saja merahasiakan banyak hal dari Haris dan Rima namun tidak bisa merahasiakan satu pun dari Maxi. Haris berjanji akan berada di sana tepat waktu. Ia akan solat Jumat di Masjid Raya dan menjadi saksi atas akad nikah putranya. Ia sendiri masih menyimpan tanya atas keputusan mendadak Gemma menikahi wanita yang bukan Mikaila. Gemma jelas membuat Rima dan Gibran naik pitam. Rima protes pada sikap suaminya itu yang terkesan membiarkan putra bungsunya melakukan hal yang salah. Apakah ini salah? Anggap saja ini salah dan ia tetap akan berada di pihak Gemma. Untuk menebus rasa bersalahnya selama ini. Rasa bersalah karena membiarkan Rima menentukan jalan hidup Gemma, membiarkan Gemma menderita dengan pilihan-pilihan yang tidak diinginkannya. Ia memang tidak bisa berkutik di bawah telunjuk Rima. Ia memang tidak bisa membantah apapun yang menjadi keputusan Rima. Ketika Gemma dipaksa mengikuti keinginan Rima, anak itu selalu menatap mata Haris, mencoba mencari pembelaan darinya, namun kebanyakan yang dilakukan Haris adalah membuang muka atau justru beranjak dari kursi dan menyerahkan sepenuhnya pada Rima. Ia menyerahkan sepenuhnya urusan rumah tangga pada istrinya. Haris ingat hari itu. Hari di mana Gemma lulus SMA dan tengah mengisi formulir pendaftaran di sekolah kesenian. Rima berang mendapati hal itu dan merobek-robek formulir pendaftaran tersebut.  "Tolong, Mi. Kali ini saja. Aku tidak bisa seperti Gibran. Aku tidak suka jurusan yang Mami sebut tadi." Gemma memelas. Haris berusaha mengabaikan ketegangan itu dengan membenamkan wajahnya lebih dalam pada harian kota. "Mami bilang tidak, ya tidak! Kamu dikasih tau kok melawan?! Mau jadi apa kamu, sih? Mau jadi tukang kayu seperti Opa ? Opa semasa muda dulu juga bekerja. Dia tentara. Kamu boleh jadi tukang kayu, tapi nanti kalau sudah setua Opa!" Rima beranjak dari ruang keluarga sambil terus mengomel. Membanding-bandingkan Gemma dengan Gibran. Mengumpat. Mengatakan tukang kayu bukan profesi dan itu tidak menjanjikan. "Pi, tolong kali ini saja, Pi." Gemma masih memelas. "Tolong bujuk Mami. Papi tau kan aku tidak bisa kuliah di jurusan yang Mami mau." Haris melipat koran yang dibacanya. Menatap mata putra bungsunya yang terluka. "Ikuti saja apa kata Mami. Itu yang terbaik." Seingat Haris itu kalimat terakhir dalam dialog ayah dan anak dengan Gemma kala itu. Tidak pernah ada lagi dialog setelahnya. Sekadar sapaan dan menanyakan kabar tidak bisa disebut dialog bukan? Seingat Haris, sejak saat itu Gemma tidak pernah lagi mencoba berdiskusi dengan ia atau pun Rima. Entah Rima menyadarinya atau tidak, tapi Haris jelas sadar dan merasa bersalah karena setelah itu Gemma sama sekali tidak pernah meminta pendapat mereka tentang apapun lagi. Ia merasa Gemma seolah mulai menyingkirkan mereka perlahan-lahan. Atau Gemma seolah tidak membutuhkan pendapat mereka tentang apapun. Haris menyesali kalimat terakhir dalam dialog ayah-anak tersebut. Andaikan yang keluar dari mulutnya berbeda. Andaikan ia bilang, "Papi akan coba bicara dengan Mami tentang ini" alih-alih, "Ikuti saja kata Mami," apakah semuanya akan berbeda? Apakah Haris akan diberitahu soal akad nikah esok hari dan bukannya justru mengetahui hal tersebut dari Maxi? Haris naik ke atas tempat tidurnya dan berusaha memejamkan mata. "Telpon dari siapa?" Rima bertanya. "Papa. Cuma tanya kabar." Haris menjawab sekadarnya. Ia tidak akan memberitahu akad nikah itu pada Rima. Tidak akan membiarkan istrinya menghancurkan apa yang sudah direncanakan oleh Gemma. Anggap ini untuk menebus rasa bersalahnya. []  
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD