DUA BELAS

2154 Words
  “Oh, My God! This is for real!” Sudah puluhan kali Ellena mengatakan kalimat itu hari ini. Saat memakaikan make up di wajah Carissa, saat menata rambut Carissa, saat menyetir mobil dengan Carissa duduk di kursi penumpang. “Jangan gugup, Ris. You are really beautiful dengan kebaya modern itu. Aku tahu kebaya itu akan cocok di badanmu.” “Aku? Aku tidak gugup. Mungkin kamu yang gugup. Dari tadi mengoceh terus!” Carissa menimpali. “I still can’t believe this, Ris!” “Bahwa aku menikah?” “Bahwa kamu meminjam kebaya wisudaku untuk akad nikahmu! Gila ya kamu, Ris. Mana ada calon pengantin pakai kebaya hasil pinjam dari temannya?” “What should I do? Gemma mendadak bilang akad nikahnya Jumat. Aku tidak punya baju yang kira-kira cocok untuk dipakai akad nikah di masjid.” “Emang gila! Cucu konglomerat kota Manado tidak punya uang untuk beli busana akad nikah. You are crazy! You both are crazy!” Ellena terus mengoceh sepanjang perjalanan mereka dari rumah Carissa menuju ke Masjid Raya, tempat akad nikah akan di helat pukul 11.00 WITA. Masih ada setengah jam bagi Carissa untuk menengankan dirinya. Siapa bilang ia tidak gugup. Dalam tiga bulan terakhir kejadian-kejadian luar biasa menimpa dirinya. Kematian Opa Roni, surat wasiat, Gemma Zaydan Maramis. Menikahi Gemma Zaydan Maramis mungkin adalah hal tergila dalam hidupnya. Oh, ralat! Memaksa Gemma menikahinya adalah hal paling gila yang terjadi dalam hidupnya. Lelaki yang tiga bulan lalu bahkan tidak dikenalnya sama sekali. “Ayo, Ris. Itu Gemma.” Ellena mengejutkan lamunan Carissa dan mengajak gadis itu untuk turun dari mobilnya. Carissa membiarkan Ellena berjalan mendahuluinya untuk menyapa Gemma. Lelaki itu berdiri di teras masjid dengan kemeja putih dan celana khaki, senada dengan kebaya modern yang dikenakan Carissa. Carissa bertanya pada dirinya sendiri apakah ia yakin dengan semua hal ini? Apakah keputusan ini tepat? Ataukah ia harus berbalik dan pergi meninggalkan segala ide konyol ini? Sebelum ide untuk berlari pergi dan meninggalkan Gemma berhadapan dengan penghulu seorang diri itu terealisasi, lelaki itu lebih dulu melambai ke arah Carissa. “Kemarilah dan jangan pernah berpikir untuk kabur!” seru Gemma. Carissa terkejut karena Gemma seolah dapat membaca pikirannya. “Hai, Gem.” Carissa menyapa Gemma sambil menyeringai. “Oh, ya ini Ellena. Sahabatku, sekaligus teman kerja di kantor.” “Aku ingat Ellena. Kita pernah bertemu di kantor kalian, kan?” Gemma mengulurkan tangannya. “Ya, rasanya belum lama dan tiba-tiba kalian hari ini menikah.” Ellena menyambut uluran tangan Gemma. Menjabatnya erat. “Aku harus mendoakan apa? semoga bahagia?” Demi mendengar kalimat Ellena, Carissa menyikut perut sahabatnya itu. “Aww!” Ellena meringis. Di saat yang bersamaan Haris Maramis muncul dari dalam mesjid. “Om.” Carissa terkejut mengetahui keberadaan Haris. Ia segera menghampiri Haris, meraih tangan pria itu dan menciumnya takzim. “Saya tidak tahu Om akan datang.” “Tentu saja aku akan datang.” Haris tersenyum lalu menatap wajah Gemma sekilas. Yang ditatap mengalihkan pandangannya ke tempat lain. Gemma sama sekali tidak menyangka ayahnya itu akan muncul di masjid ini. Ia merasa kecewa kepada Opa Maxi yang batal datang dan justru mengutus ayahnya itu untuk datang ke akad nikah. “Oh, ya Carissa. Om minta maaf tentang kejadian malam itu. Mohon kamu maklum. Segalanya terjadi tiba-tiba membuat kami tidak tahu harus bersikap seperti apa. Om minta maaf khususnya dengan kelakukan Tante dan Mikaila. Kami….” “Sudahlah, Pi.” Gemma memotong kalimat ayahnya. Carissa sendiri tidak tahu apa yang tengah terjadi antara anak dan ayah itu, tapi Carissa bisa merasakan jarak yang membentang lebar di antara keduanya. “Saya mengerti, Om. Kalau ada yang harus minta maaf, itu adalah saya. Saya minta maaf kepada Om dan juga keluarga besar Gemma,” ujar Carissa berusaha menjeda ketegangan yang tercipta di antara mereka. “Ayo kita masuk. Sebentar lagi akad nikah dimulai. Penghulunya sudah datang.” Carissa mengikuti langkah Gemma masuk ke dalam masjid. Telah tersedia sebuah meja kecil di dekat mimbar. Penghulu telah duduk di sana bersama dengan imam masjid dan beberapa orang yang akan menjadi saksi pernikahan. Carissa menyadari tidak ada kerabat Gemma di sana selain ayahnya dan itu sedikit melegakan hati Carissa. Carissa dan Gemma duduk berdampingan di hadapan penguhulu. Saat jam menunjukkan tepat pukul 11.00 WITA, imam masjid mulai membacakan doa dan sedikit nasihat-nasihat pernikahan yang umum disampaikan kepada dua orang yang akan menikah. Nasihat-nasihat yang sepertinya percuma untuk disampaikan pada pernikahan mereka karena tentu saja Carissa dan Gemma sama-sama tahu bahwa pernikahan ini tidak akan pernah menjadi pernikahan pada umumnya. Mendadak perut Carissa terasa mulas. Apakah saat ini ia sedang mempermainkan Tuhan? Menikah adalah perkara yang sakral. Perceraian yang akan dilakukannya enam bulan kemudian juga adalah perkara yang paling dibenci Tuhan. Apakah Tuhan akan memaafkan perbuatannya? “Saya terima nikah dan kawinnya Carissa Alya Kalalo bin Alan Kalalo dengan mas kawin berupa perhiasan emas seberat lima puluh gram tunai.” Carissa terhenyak dari lamunannya demi mendengar ijab kabul yang diucapkan oleh Gemma. Ia terkejut pula dengan nominal perhiasan emas yang menjadi mas kawinnya. “Alhamdulillah, sah ya!” penghulu mengucap syukur diikuti oleh saksi dan beberapa jamaah solat Jumat yang kebetulan sudah berada di masjid. “Ayo, Carissa, salam dong ke suaminya.” Dengan ragu Carissa menyentuh tangan Gemma, menggenggamnya, lalu menelungkupkannya ke wajah. Benarkah saat ini ia sudah menjadi istri sah dari Gemma Zaydan Maramis? Semuanya terasa seperti mimpi. Mimpi buruk. Haris menepuk punggung Carissa pelan dan mengucapkan selamat. Ia lalu memeluk Gemma yang tidak membalas pelukan ayahnya itu. Ellena menghampiri Carissa, memeluk sahabatnya. “Selamat ya, Ris.” Akad nikah telah usai, imam mempersiapkan masjid untuk menghelat solat jumat. “Aku solat dulu. Kamu mau tunggu di mobil?” tanya Gemma “Ah, aku bisa pulang sama Lena,” jawab Carissa yang lalu disela dengan cepat oleh Ellena. “Aku ada urusan. Tidak bisa antar kamu pulang Ris.” “Urusan kemana? Aku ikut lah!” Carissa memaksa. “Tidak bisa. Aku duluan ya.” Ellena memeluk kemabali sahabatnya dan berbisik, “tidak ada pengantin perempuan yang pergi dengan temannya meninggalkan suaminya sendiri beberapa menit setelah akad nikah. Jangan gila!” Setelah melambai pada Gemma, gadis itu menghilang di balik pintu masjid. “Ini kunci mobilku. Tunggu di sana. Kita harus membiacarakan banyak hal setelah ini.” Carissa meraih kunci mobil Gemma dan menimbang apakah ia harus menunggu di dalam masjid atau di mobil, lalu memutuskan untuk menunggu di dalam mobil saja. Ia butuh tempat yang lebih privat untuk merilekskan otot-ototnya yang tegang seharian ini. Carissa masuk ke dalam mobil Gemma dan duduk di kursi penumpang. Ia melihat kondisi sekitar. Jas yang digantung di bagian belakang mobil, beberapa tumpukan dokumen di kursi belakang, dasi yang menyembul dari laci dashboard, wangi kopi yang berasal dari parfum mobil. Carissa harus terbiasa dengan semua pemandangan ini mulai sekarang. Carissa harus terbiasa dengan Gemma berada di dekatnya mulai sekarang. Tiba-tiba kepalanya terasa berat dan sakit. Carissa barus saja akan memejamkan mata ketika sebuah ketukan terdengar di kaca mobil. Gemma masuk ke dalam mobil dan duduk di kursi kemudi. Gemma hanya berdiam diri tanpa melakukan dan berkata apapun selama hampir dua menit. Lelaki itu hanya menatap lurus ke depan seolah sedang memikirkan banyak hal. Ataukah tidak sedang memikirkan apapun? Carissa bahkan tidak berani untuk mengeluarkan sepatah kata pun. “Ehm,” Carissa berdehem dan berusaha untuk mengatakan sesuatu. “Gem, apakah kamu baik-baik saja?” Carissa tahu itu adalah pertanyaan yang konyol. Seseorang tentu tidak akan baik-baik saja setelah menjalankan pernikahan yang tidak dikehendaki. Gemma menarik napas dengan dalam dan menghembuskannya keras sebelum berbalik menatap wajah Carissa. “Ternyata lumayan cantik juga kalau pakai kebaya.” Carissa tidak mengantisipasi kalimat yang akhirnya muncul dari mulut Gemma. Ia tampak salah tingkah. Tidak menghiraukan Carissa, Gemma membuka laci dashboard di depan gadis itu, menjejalkan ujung dasi yang tadinya tampek menyembul, lalu mengeluarkan sebuah kotak beludru dari dalam sana. “Ambil ini.” Ia menyerahkannya pada Carissa. “Apa ini?” “Mas kawinmu. Perhiasan lima puluh gram, termasuk cincin yang kau kenakan itu.” “Ah!” Carissa terkejut. “Kau tidak perlu memberikanku ini. Sungguh!” “Perkawinan tidak sah tanpa mas kawin. Ambil saja. Kalau tidak suka, kau bisa jual. Uangnya kau bisa berikan ke panti asuhan.” Carissa tidak dapat berkata apa-apa selain ucapan terimakasih. Ia memang sangat butuh uang untuk membeli perlengkapan anak-anak panti dan untuk menggaji penjaga panti. “Mario yang memilihkannya untukmu. Aku bahkan tidak tahu ada perhiasan apa saja di dalamnya. Oh, kau belum bertemu dengan Mario, ya? Kau harus berkenalan dengannya nanti. dia sudah banyak membantu mempersiapkan pernikahan.” Gemma lalu mengambil sesuatu dari saku kemejanya. Sebuah cincin yang kemudian ia kenakan di jari manis kirinya. Demi menyaksikan hal itu Carissa menjadi tidak enak hati. “Gem, demi Tuhan, kau tidak perlu melakukan itu.” “Orang-orang akan bertanya kenapa aku tidak memakai cincin padahal sudah menikah. Aku malas mencari alasan, jadi lebih baik pakai saja, kan?” Carissa kehilangan kata-kata untuk mendebat Gemma. Lelaki itu sendiri kemudian mengendarai kendaraannya keluar dari pekarangan masjid. “Kita mau kemana?” tanya Carissa. “Ke rumahku.” “Rumahmu?” “Ya, selama pernikahan ini, kita akan tinggal di rumahku.” “Apa?!” Carissa nyaris melompat dari jok mobil demi mendengar kalimat Gemma. “Kau tidak bisa memutuskan hal ini secara sepihak!” “Lalu opsi apa yang kau punya? Yang jelas aku tidak akan pernah mau tinggal di tempat lain selain rumahku sendiri. Dan, oh jangan berpikir untuk tinggal terpisah atau pengacaramu itu akan menganggap pernikahan kita tidak sunggunh-sungguh.” “Pernikahan kita memang tidak sungguh-sungguh, kan?” Carissa tampak putus asa. “Kau tidak sungguh-sungguh meninginkan harta warisan opamu?” “Gemma, aku….” “Sudah diputuskan bahwa kita akan tinggal di rumahku. Dalam pernikahan ini kau tidak harus menjalankan kewajibanmu sebagai istri dan aku pun demikian. Aku tidak mau tahu dengan segala urusan pribadimu dan kau pun juga harus demikian. Dari awal kita adalah orang asing dan selamanya akan tetap menjadi orang asing meski kita tinggal serumah.” Gemma berbicara dengan tegas tanpa memandang ke arah Carissa sedikit pun. “Ini adalah aturan yang disepakati.” “Semua aturan tampaknya hanya berasal darimu.” “Tentu saja, karena aku tidak mau menerima aturan apapun darimu.” “Apa?!” Seruan Carissa tertahan tapi ia sendiri tidak tahu akan membantah dengan argumen seperti apa, untuk itu ia memilih diam. Keheningan menggantung di antara Carissa dan Gemma hingga mobil lelaki itu memasuki sebuah kawasan perumahan di dekat bandara. “Seingatku, rumahmu bukan di daerah sini,” gumam Carissa. “Yang kau datangi malam itu rumah orangtuaku. Aku tidak tinggal dengan mereka sejak bekerja,” jawab Gemma. Mobilnya berbelok memasuki sebuah pekarangan rumah dengan model yang simpel namun tampak modern. “Ini jelas tidak semewah rumah yang kau tinggali selama ini, tapi segeralah berusaha membuat dirimu nyaman.” Gemma keluar dari mobil dan memutar anak kunci lalu membuka pintu rumahnya. Carissa mengikuti tepat di belakangnya. Kesan pertama yang terasa saat memasuki rumah Gemma adalah nyaman. Ya, rumah itu tidak besar namun terasa nyaman dengan warna broken white berpadu abu-abu terang di beberapa tempat. Ornamen kayu mendominasi setiap ruangan, mulai dari jam dinding raksasa di ruang tengah, rak buku, mini bar, kitchen set hingga meja makan. Semua ruangan dapat dijangkau oleh mata Carissa dengan hanya sekali pandang. Untuk ukuran seorang laki-laki lajang, Gemma jelas punya taste yang tidak diragukan untuk mengatur rumahnya. “Di mana kamarku? Kita tidak tidur sekamar kan?” Carissa bertanya sambil mengempaskan tubuhnya di sofa abu-abu tua yang terlihat sangat sesuai dengan karakter Gemma. “Ini kamarmu.” Gemma menunjuk salah satu pintu. “Kamarmu di mana?” tanya Carissa lagi. “Kenapa? Kau tidak berniat mengendap malam-malam ke dalam kamarku kan?” Gemma membalas. “Aku perempuan baik-baik. Tidak ada dalam sejarah hidupku masuk ke dalam kamar laki-laki asing,” sahut Carissa ketus. “Hah! Lucu sekali.” Gemma tersenyum sinis. “Laki-laki asing ini yang tadi sudah melangsungkan akad nikah denganmu. Kamarku tepat berada di samping kamarmu.” “Apa? persis di sebelah?” Carissa segera beranjak dari sofa dan secepat kilat menghambur ke arah kamarnya. Ia membuka pintu kamarnya tergesa-gesa membuat Gemma menatapnya heran. “Tidak ada connecting door-nya kan?” Carissa mengembuskan napas lega saat menjumpai dinding kukuh tanpa celah yang membatasi kamarnya dengan kamar Gemma. “Connecting door?” Gemma hanya bisa menggelengkan kepala menanggapi imajinasi Carissa. “Sekalipun ada connecting door di sana, hal yang aku lakukan pertama kali adalah mengambil semen dan melapisinya hingga tidak bisa kau buka!” “Aku hanya berjaga-jaga. Just in case….” Carissa tidak menyelesaikan kalimatnya. Gemma memilih tidak menanggapi Carissa dan berjalan ke arah pintu keluar. “Kau mau ke mana?” tanya Carissa. “Sepertinya kau lupa aturan yang sudah kita sepakati. Kau tidak usah tahu mengenai urusan pribadiku,” sahut Gemma. Ia berbalik dan menatap Carissa. “Oh ya, suruh seseorang di rumahmu untuk mengemas baju dan keperluanmu ke dalam koper. Aku akan mengambilnya sekalian saat pulang nanti.” “Apa?” Carissa berniat protes tapi Gemma lebih dulu menghilang di balik pintu. “Laki-laki gila!” Ditinggalkan sendirian oleh Gemma di rumah, Carissa mendadak bingung harus berbuat apa. Dia memutuskan untuk melihat isi kulkas Gemma dan mencari tahu sesuatu yang bisa dimakan. Dia baru ingat belum makan apapun sejak tadi pagi dan kini perutnya terasa perih. Carissa sudah akan melangkah menuju dapur tapi kemudian terhenti di depan salah satu pintu. “Itu kamar mandi, itu kamar Gemma, lalu ini pintu ruangan apa?” Carissa bergumam pada dirinya sendiri. “Apakah tempat laundry?” Tangan Carissa sudah menggenggam gagang pintu itu dan hendak membukanya namun sebuah tangan lain yang ukurannya jauh lebih besar menahannya. “Aku lupa bilang satu aturan lagi di rumah ini.” Carissa terkejut setengah mati mendengar suara Gemma tepat di belakangnya. Ia pikir Gemma sudah pergi. Laki-laki itu berada di jarak yang sangat dekat dengan Carissa sehingga ia dapat merasakan embusan napasnya. Carissa segera menyingkirkan tangannya dari gagang pintu sekaligus dari genggaman Gemma. Ia berbalik dan mendapati d**a Gemma tepat di depan wajahnya. “Jangan pernah memasuki kamarku dan ruangan ini.” Gemma tampak serius dengan kata-katanya. Ia mengeluarkan sebuah kunci dari saku celananya lalu mengunci pintu ruangan tersebut. Ia berbalik lagi setelah memastikan pintu itu sudah benar-benar terkunci. Carissa hanya diam mematung menyaksikan tubuh Gemma kembali hilang di belakang pintu. Gemma sudah pergi namun aroma parfum laki-laki itu masih tertinggal. []
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD