SEPULUH

1644 Words
Gemma mengabaikan seluruh panggilan dari nomor Mikaila semalam. Ia tidak ingin berbicara dengan siapa pun termasuk Mikaila. Dan hari ini ketika jam istirahat makan siang, sudah ada dua puluh panggilan tak terjawab dari gadis itu. "Kenapa Mika?" Gemma memutuskan untuk menghubunginya. "Aku minta maaf soal kejadian makan malam waktu itu. Aku tidak tau apa yang harus aku lakukan kalau kamu menghindariku seperti ini. Gem, sepertinya aku stres menghadapi situasi ini." Mikaila terus berbicara tanpa memberi jeda. Gemma diam mendengarkan. Ia pun kalut menghadapi situasi ini. Ia berharap Mikaila mau berdiri di pihaknya. Ia berharap Mikaila percaya dengan semua yang ia lakukan. Bukankah gadis itu selalu bilang ia percaya pada Gemma? "Aku ingin ketemu." "Oke." Gemma menyahut ringkas. "Sekarang. Di Cabal." Gemma menyebut nama sebuah kafe di Kawasan Mega Mas dan langsung setujui oleh Mikaila. "Mau kemana Bro?" Mario masuk tepat di saat Gemma hendak beranjak dari ruangannya. "Makan siang dulu sama Mika." "Soal undangan yang lu bilang kemarin...." Mario menggantungkan ucapannya. Semalam Gemma menghubunginya meminta bantuan untuk mendesain undangan dan mendata nama-nama tamu undangan untuk resepsi pernikahan hari Sabtu. Dua hari dari sekarang. "Sudah jadi?" Gemma bertanya acuh tak acuh. "Udah ada tiga kandidat desain yang gue rasa lu suka." Mario merogoh smartphone dari dalam saku celananya. "Ini silakan lu pilih." Gemma mengibaskan tangannya. Menghindar dengan enggan. "Terserah yang mana saja." "Gem, lu yakin?" "Segera cetak dan pastikan sudah tersebar sebelum hari Sabtu. Oh, ya kateringnya gimana? 300 kepala kan?" "Gem..." "Kenapa?" "Lu baik-baik saja kan dengan segala yang terjadi ini?" Mario bertanya dengan nada suara sangat rendah, seolah jika ia menanyakannya dengan lantang maka Gemma akan hancur berkeping-keping. Gemma mengedikkan bahu. Entahlah. "Gue selalu siap untuk dengar cerita lu, Bro." Mario memancing. Ia dengan sabar menjalani peran sebagai wedding organizer dadakan. Sebenarnya Gemma menyewa jasa wedding organizer profesional, Mario hanya memastikan segalanya berjalan seperti yang Gemma mau, tapi selain wajib dilaksanakan di hari Sabtu, Gemma tidak pernah menginginkan apa-apa tentang pernikahan ini. "Tidak ada yang perlu diceritakan, Yo." Gemma belum berencana menceritakan perkara surat wasiat pada siapa pun. Belum sampai ia tahu alasan pasti dan logis kenapa Roni Kalalo memilihnya, bukan Gibran, buka lelaki lain. "Oke, kalau itu yang harus terjadi, maka akan terjadi." Mario bergumam kepada diri sendiri. "Kapan akad nikahnya kalau resepsinya Sabtu?" "Mungkin Jumat. Besok." "Mungkin? Meeeenn! Ini momen sekali seumur hidup dan...." Mario menyadari ada yang salah ketika ia bilang 'sekali seumur hidup'. Barangkali hal ini tidak berlaku untuk sahabatnya itu karena jelas yang sebenarnya berniat ia nikahi adalah Mikaila. "Jangan bilang mungkin. Ini pertama kali lu menikah." "Ya, gue sebenarnya lagi mikir. Apakah besok atau Sabtu pagi saja." Gemma berkata seolah sedang mengatur jadwal kunjungan nasabah dan bukan akad nikah. "Gue belum beli mas kawin lagi." Sekarang mulut Mario membuka sempurna menunjukkan keterkejutan dan kebingungan sekaligus. Baru kali ini ia menjumpai orang yang mati-matian ingin menikah tapi tidak merencanakan segalanya dengan baik. Gemma meninggalkan sahabatnya itu masih dalam kondisi mematung.   ***   Mikaila sudah berada di salah satu sudut di Cabal dengan pizza tuna di hadapannya. Belum disentuh. "Kenapa belum dimakan? Ini favorit kamu kan?" Gemma menghampiri Mikaila. Menepuk bahu wanita itu pelan lalu duduk di depannya. Gemma bisa melihat mata sembab wanita itu. Jelas Mikaila menangis berhari-hari. Ia dihantam rasa bersalah memandang wajah lesu itu. Ia menggamit jemari Mikaila yang terkulai di atas meja, gadis itu tidak menariknya. "Aku yang harusnya minta maaf dalam hal ini." Gemma berseru pelan. Membaca ekspresi dari wajah kekasihnya. Mencoba meyakinkan diri sendiri bahwa ia masih sangat mencintai gadis itu. Satu butir air lolos dari pelupuk mata Mikaila. "Aki tidak menemukan alasan apapun yang membenarkan pernikahan kamu, Gem." Butiran lainnya menyusul jatuh dan menderas membuat ujung hidung wanita itu memerah. "Mika, percayalah." "Apa yang harus aku percaya. Siapa yang harus aku percaya sekarang? Tidak ada yang menjelaskan apa pun padaku." Gemma menarik napas panjang dan menghembuskannya dengan keras, "Begini, Sayang, anggap saja aku sedang terlibat dalam suatu masalah yang membuatku harus menikahi wanita itu. Tapi perjanjiannya ini hanya enam bulan. Sesudah itu kita akan menikah. Tidak ada pertunangan. Kita langsung menikah." Mikaila memandang Gemma tidak percaya, "Telibat sesuatu? Utang piutang?" "Semacam itu." "Dan setelah enam bulan kamu akan menceraikannya?" Mikaila menatap Gemma dengan saksama. Mencoba mencari kejujuran di kedalaman mata pemuda yang sangat dicintainya itu. "Tentu saja. Kamu tidak berpikir aku akan menghabiskan sisa hidupku dengannya kan?" "Kelihatannya kamu bisa saja melakukannya. Dilihat dari perlakuanmu padaku beberapa hari ini." "Aku tidak bisa berpikir dengan jernih, Mika. Aku butuh untuk sendiri dan memikirkan semuanya. Aku berusaha menyampaikannya di saat yang tepat lalu menyadari saat yang tepat itu tidak pernah datang." "Jadi, cewek itu tidak hamil?" "Astaga! Kamu berpikir dia hamil? Aku bahkan tidak pernah menyentuhnya." "Jadi, kapan pernikahan itu?" "Lusa." Mikaila kembali menangis. Gemma bingung apa yang harus ia lakukan. Awalnya ia ingin memeluk Mikaila dengan erat namun kemudia ia urung. Maka ia hanya memandang gadis itu dari seberang meja dan berharap tangisan Mikaila tidak mengundang tatapan heran pengunjung kafe lain. Ia masih ingat dengan jelas hari di mana Rima mengatakan bahwa Mikaila, gadis yang awalnya akan dijodohkan dengan Gibran, justru menyukainya dan menanyakan kepada Gemma apakah ia mau berkenalan dan mencoba dekat dengan gadis itu? Gemma tahu ibunya selalu menginginkan kesempurnaan. Sifat yang didupkikasi oleh Gibran. Dan Mikaila adalah gadis yang dapat memberikan kesempurnaan. Maka ketika rencana untuk menjodohkannya dengan Gibran tidak berhasil, ia mengajukan opsi kedua. Gemma merasa ia adalah opsi kedua dari obesesi ibunya memiliki menantu yang sempurna. Menantu sempurna melahirkan cucu-cucu yang sempurna. Itu seokah menjadi visi bagi Rima. Mikaila masih sesenggukan saat ia tiba-tiba beranjak pergi meninggalkan Gemma dan pizza tuna yang belum tersentuh sedekit pun. Ia terlihat sangat kalut dan berantakan. Gemma bergeming menyaksikan kekasihnya itu berlalu. Tidak ada niat untuk mengejar atau mengantarnya pulang. Lagi pula tidak ada lagi yang perlu dijelaskan terutama ketika Mikaila tampak tidak ingin mendengar apa-apa lagi. Sebaliknya, Gemma menyambar satu potong pizza dan membayar tagihan ke kasir. Ia berkendara kembali ke kantor, namun sebelum itu singgah di toko perhiasan untuk membeli cincin pernikahan.   ***   "Aku akan menikah." Carissa bergumam sambik mencatat jumlah pala yang baru saja dijual oleh seorang petani ke rumahnya. 35 kg. "Kapan?" Koh Ahong bertanya tanpa antusias dengan aksen yang khas. Lelaki Tiong Hoa itu membenarkan letak gagang kacamatanya dan menyadari Carissa tidak pergi ke kantor hari ini. "Eh, kau tidak pi kantor?" "Aku akan menikah besok lusa. Jadi hari ini sudah cuti. "Aih, betulan? Saya pikir kau main-main!" "Tidak, Koh. Ini betulan. Seperti yang diinginkan Opa." Carissa terdiam. Menyadari sesuatu dan bertanya antusias. "Koh, apakah Opa punya kenalan yang bernama Maxi Maramis? Atau Haris Maramis? Gemma Maramis? Koh pernah dengar namanya?" "Kenapa memangnya?" "Gemma Maramis. Laki-laki itu yang dijodohkan Opa denganku, di surat wasiatnya." "Oh, yang pernah datang ke sini beberapa hari yang lalu kan?" Carissa mengangguk. "Sudah. Ikuti saja kata Opamu. Instingnya tidak pernah salah." "Maksud Koh insting bisnisnya?" Carissa merengut sebal. Ia bukan komoditi, jadi barangkali insting Opa tidak bekerja padanya. "Maxi Maramis, sepertinya nama itu tidak asing." Koh Ahong tampak berpikir keras. "Di mana ya pernah dengar nama itu?" Carissa menegakkan duduknya di kursi. Memandang Koh Ahong dengan semangat. "Kalau tidak salah dia pernah muncul di pemakaman Omamu dan membuat gaduh." "Hah?" Carissa terkejut. Berusaha menggali ingatannya ke waktu lima tahun silam. Oma meninggal karena sakit diabetes. Ia ingat saat itu menangis sesenggukan. Ia ingat Opa Roni menangis histeris. Ia ingat benar hal itu karena ia ingin Opa memeluknya dan berkata semua baik-baik saja setelah Oma tiada, tapi Opa tidak bisa melakukannya karena lelaki tua itu pun tidak bisa mengatasi rasa kehilangannya. Carissa ingat setiap detail kehilangan itu namun tidak ingat sama sekali tentang kegaduhan di pemakaman Oma Veronica. "Aku tidak ingat ada kegaduhan waktu itu." Ujar Carissa. "Kau waktu itu entah ada di mana. Ya. Ya. Aku ingat sekali melerai Opa mu dan orang bernama Maxi itu baku pukul. Di kuburan.  Opamu teriak-teriak. Maxi Maramis kau sudah gila. Opa mu berteriak seperti itu. Orang-orang mulai berkumpul. Kau entah ada di mana." Carissa terkejut dengan cerita Koh Ahong. Ia tidak ingat sama sekali tentang kejadian itu. Ia pun tidak pernah mendengar orang-orang bercerita tentang kejadian itu setelahnya. "Umur panjang." Koh Ahong berseru mengejutkan lamunan Carissa. Saat ia kembali ke dunia nyata, ia melihat Gemma berdiri di sana. "Halo Koh Ahong. Apa kabar?" Gemma menyapa. "Baik. Baik." "Aku berpikir untuk mampir kemari setelah makan siang." Gemma kini memusatkan pandangannya pada Carissa. "Ayo kita bicara di dalam." Carissa beranjak masuk ke dalam rumah. "Kau harus meluangkan waktu untuk mencoba gaun pengantin. Wedding organizer yang kusewa bilang begitu." Ujar Gemma saat mereka telah berada di ruang tamu. "Nanti malam aku bisa," sahut Carissa, "Berikan nomor WO nya padaku. Aku akan menghubungi mereka." "Ada keluargamu yang akan kau undang? Mungkin nanti malam undangannya sudah selesai dicetak. Kau bisa WA nama-namanya kepadaku." Carissa menggeleng. Tidak ada. Ia yatim piatu dan sebatang kara di dunia ini. "Anak-anak panti, kau tidak ingin mengundang mereka?" Pancing Gemma. Carissa terkejut, "Apakah aku boleh mengundang mereka?" "Tentu saja. Kita melakukan semua ini untuk mereka, kan?" "Oke. Bernard Pontoh?" "Ya, undang laki-laki sialan itu supaya dia melihat dengan mata kepalanya sendiri kita sudah menikah." Carissa tertawa melihat reaksi Gemma. "Besok kita akan menggelar akad nikah. Di Mesjid Raya. Sebelum solat Jumat." "Hah?! Besok?" "Ya! Orang-orang bilang Jumat hari baik. Aku akan mempersiapkan segalanya malam ini." Gemma merogoh saku celananya dan mengeluarkan sebuah kotak dari sana. "Ini cincin pernikahan." Carissa hanya berdiri mematung ketika Gemma mengulurkan kotak itu. "Ambillah!" "Seharusnya kau tidak perlu repot-repot." "Simpan saja rasa bersalahmu. Aku akan WA jam berapa tepatnya kau harus ada di Mesjid Raya besok. Mungkin aku tidak akan menjemputmu. Kau bisa pergi sendiri kan?" Carissa mengangguk lagi. Dalam hati berterimakasih pada Gemma karena benar-benar telah menyelamatkan hidupnya. Menyelamatkan panti. "Kenakan cincin itu besok." Carissa kembali mengangguk. "Kenakan baju yang baik dan rapi untuk akad nikah besok!" Gemma berseru seolah-olah khawatir Carissa akan muncul dengan celana jins dan kaus oblong di Mesjid Raya. "Aku pergi dulu. Sampai jumpa." Ketika Gemma menghilang di balik pagar rumahnya, Carissa membuka kota perhiasan itu dan menemukan sebuah cincin emas dengan satu permata ukuran sedang di tengahnya.  Carissa yakin itu hanya cincin murah dan memastikan permata di tengahnya bukan berlian asli. Gemma pasti memilih cincin ini secara asal dan membelinya tanpa berpikir dua kali. Carissa melepaskan cincin dari kotak perhiasan dan mengenakan di jari manis kirinya. Ia terkejut ketika cincin itu pas di jarinya. Pas dengan sangat nyaman. Tidak longgar sehingga bisa jatuh, ataupun terlalu sempit sehingga menyakitkan ketika dikenakan. []  
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD