Presedir Room Authority masih menyala di jam sembilan malam. Hal itu sudah biasa bagi karyawan lain. Karena Daniel memang sering menggunakan ruang itu untuk sekedar merehatkan diri barang sebentar.
Hanya saja sebagian orang tidak ada yang tahu. Sosok Alarie yang bebas keluar masuk tanpa izin. Menjadikan ruang ini sebagai tempat pertemuan mereka.
Alarie berdiri angkuh di depan Daniel. Rautnya tampak kesal dengan kening berkerut. Sepertinya suasana hatinya sedang tidak bagus ulah seseorang.
Ya, siapa lagi kalau bukan ulah Starla. Alarie mendengar semuanya. Percakapan Daniel dan Starla di depan lift.
Hendak meminta kejelasan seperti yang sudah-sudah. Selalu seperti ini, Daniel yang mencoba mendapat keyakinan Starla menggunakan kata manisnya dan Alarie yang akan cemburu.
"Benar-benar! Apa sekarang aku jadi orang asing untuk mu?!"
"Apalagi sih?! Bicara yang jelas! Kamu pikir urusanku cuma kamu saja!"
"Tadi di lift aku mendengar percakapanmu dengan Starla. Se-haram itu kah keberadaanku di antara kalian? Starla itu bodoh! Dia tidak akan curiga hanya karena kita makan bersama!"
"DIAM!" pekik Daniel. Setelahnya ia menyesal karena melihat mata berkaca Alarie.
"Maaf, aku banyak pikiran malam ini. Kemarilah." Daniel menarik tangan Alarie.
Isak tangis itu tertahan pada d**a bidang Daniel. Alarie duduk di pangkuan. Tak lekang Daniel menenangkan Alarie dengan mengusap punggungnya.
"Maaf Baby... itu kulakukan untuk mendapat kepercayaan Starla. Hanya kamu yang menempati posisi di hati ku."
"Sebagai wanita, kamu pikir aku rela membagi kasih bersama wanita lain?" Air mata itu semakin deras merembas. "Ini berat untuk ku. Tapi... tapi aku berusaha ikhlas karena aku mencintaimu. Aku yang paling mencintaimu Daniel."
"Iya Baby maaf. Seharusnya aku tidak berteriak pada mu."
"Buktikan kalau kamu mencintaiku juga." Tatap Alarie syarat akan makna. Membangunkan sesuatu hingga seringai nakal keluar dari bibir Daniel.
"Mau di mana? Di sini atau.... kamar mandi?" bisik Daniel sensual. Membangkitkan haus akan belaian Alarie.
"Tidak keduanya." Senyum Alarie mengembang sedangkan Daniel menatap bingung.
"Aku ingin kamar paling mewah di Grand Horizon hotel."
Hal itu secara tidak langsung mengatakan bahwa 'malam ini kamu adalah milikku' sebab di sana adalah hotel ternama tempat di mana para reporter mendapatkan hot issue para publik figure.
Untuk check in saja sudah beresiko. Daniel tidak bisa mengambil resiko yang akan membahayakan karirnya.
"Kita ke tempat lain saja yang lebih aman."
Alarie mendengus. Ia merasa tidak bebas memiliki Daniel. "Sudah kuduga kamu akan bilang begitu!"
"Baby, kamu terlihat cantik jika tersenyum." Rayu Daniel seraya menarik dagu Alarie. Mengikis jarak kedua bibir itu.
"Bukankah Starla lebih cantik dari ku?"
"Siapa yang bilang?"
"Orang-orang."
"Apa kamu mendengar itu dari mulut ku? Tidak peduli apa yang dikatakan orang. Kamu hanya perlu memikirkan tentang kita."
Kecupan intens dengan lum*tan bibir terasa panas. Kedua insan itu tengah dibakar api asmara yang mirisnya didasari oleh dosa. Tanpa sadar, perlahan demi perlahan percikannya akan menyebabkan petaka tak terduga.
Karena karma itu kini sedang berjalan. Menjemput sosok yang menunggu uluran tangan seseorang.
****
Bandara soekarno Hatta
Berulangkali decakan lolos dari bibir Adam. Ia mengkibas-kibaskan tangan sembari memandang datar keramaian sekitar.
Indonesia masih sama. Panas! Lihatlah fatamorgana yang tercipta di landasan pesawat itu. Adam seperti melihat kobaran api menyala.
"Maaf Tuan. Barang-barang Tuan sudah di tangan. Sekarang waktunya kita menuju--"
"Lho? Tuan?"
"Tuan?" Theo celingukan kesana kemari. Perasaan tadi bosnya di sini.
"...."
"Sialan!"
Theo kehilangan Adam lagi. Hal ini selalu terjadi setelah penerbangan. Bosnya akan hilang ketika Theo mengambil barang bawaan.
"Bos sialan! Semoga dia tertimpa musibah. Saat itu aku akan datang menemuinya dan berkata. MAMPUS! Di depan wajahnya," dumel Theo sembari bersungut sepanjang jalan membawa koper lumayan besar.
Di sisi lain, Adam tanpa beban berjalan menyusuri trotoar ibu kota. Setelah tadi sempat kabur dengan taxi ia memutuskan turun di taman kota.
Adam memang tidak suka berada di sini. Karena tempat ini penuh kenangan masa kecil yang mengingatkannya betapa tidak kerennya ia dulu.
Hidung ingusan dengan tangan menggenggam batang lolipop warna-warni. Adam kecil berkeliling taman ini dengan senyum ceria.
Sisi imut seperti itulah yang ingin Adam hapus dari ingatan. Benar-benar berkebalikan dengan Adam versi dewasa. Di mana ia hidup di sekitar orang-orang picik yang mengincar keuntungan.
Tring!
Notifikasi itu datang dari Theo. Menanyakan posisi. Adam hanya membukanya tanpa membalas. Orang itu pasti sedang bersungut sambil berjalan menghentak-hentakan kaki.
Kadang Adam terhibur dengan tingkah kesal Theo. Itu sebabnya hobi Adam selalu membuat repot manusia itu.
"Hallo guys, aku sedang berada di taman kota. Wah, sudah lama aku tidak mengunjungi tempat ini. Kira-kira sepuluh tahun? Ya seperti itulah...."
Monolog seorang gadis terdengar renyah di telinga Adam. Ia menoleh ke samping dan mendapati gadis mini dress maroon tengah melakukan siaran live. Dilihat dari tingkahnya sepertinya ia selebgram atau tiktokers.
Di sinilah insting kelakian Adam keluar. Apalagi melihat yang bening terbuka seperti ini.
Selagi belum ada rantai pengikat. Buaya darat itu akan hinggap kesana-kemari. Mengikuti jejak sang Ayah.
Yah, walaupun sebenarnya itu ditentang keras oleh kedua orangtuanya. Tapi, darah tidak bisa dibohongi.
"Permisi...." ucap Adam sopan. Tidak seperti di luar negeri yang to the point. Di sini ia harus menerapkan pendekatan terlebih dahulu.
Gadis itu spontan menoleh setelah sadar kameranya menangkap sosok tampan di belakang.
"Iya Kak?"
"Apa aku mengganggu?" tanya Adam sopan berkarakter.
"Oh tidak juga." Gadis itu mematikan siaran langsung setelah mengucapkan perpisahan.
"Ada yang bisa dibantu Kak?"
Adam sudah hidup selama 28 tahun. Mengamati gestur tubuh lawan bicara dan menyimpulkan karakter seseorang adalah hal mudah.
Ia bangga dengan kemampuan analitisnya. Oleh sebab itu, kesimpulannya kali ini tidak akan salah.
Mini dress yang dipakai gadis ini mencerminkan ia tumbuh di keluarga terbuka oleh budaya barat. Warna maroon termasuk warna berani. Ia adalah gadis dengan tingkat percaya diri tinggi.
Selain itu, ini point paling penting. Bola matanya tidak bisa fokus pada satu titik. Jarinya selalu memainkan jari lainnya. Seolah membuktikan dirinya sedang gelisah. Padahal ia memiliki kepercayaan diri yang bagus.
Pertanyaannya, apa yang membuat gadis ini gelisah? Pasti ada sesuatu, dan dugaan Adam mengarah pada bubuk surga. Terlihat bagaimana ia tidak bisa konsentrasi selama berbicara.
Dengan begitu, Adam hanya perlu langsung ke inti. Gadis ini menyimpan hasrat di balik wajah polosnya, "kamu ada waktu malam ini?" tandasnya tepat!
Senyum bibir ranum itu mengendur digantikan tatapan menggoda.
"Om berani bayar berapa?" ucapnya mendekatkan diri.
"Seharga bubuk yang kamu pakai."
"Hahaha. Rupanya Om tau banyak ya? Tiga kantung, akan kuberikan diri ku."
"Baiklah, aku akan transfer lebih karena kamu sangat imut."
Adam merebut ponsel gadis itu dan mengetik sesuatu, "Grand Horizon Hotel, kamar VIP 5, jam 11.00." Wajah Adam mendekat ke daun telinga, "aku tidak suka menunggu," bisiknya sensual.
Wajah gadis itu memerah. Tidak pernah mendapati pelanggan dominan sepertinya. Tidak dibayar pun gadis itu rela ditiduri oleh lelaki dengan paras tegas dan postur kokoh itu.