Bab. 12

1124 Words
Pemandangan yang tak pernah kulihat sebelumnya. Sebuah bangunan seperti gedung tua. Kumuh dan terlihat bobrok. Juga kotor. Mengerikan sekali, apa aku akan dilempar ke dalam gedung ini? Oh, Tuhan! Mulutku komat-kamit. Aku takut sekali jika harus tinggal di gedung tua seperti penjara yang akan membuatku mati perlahan. Aku merasa hidupku sudah tak lama lagi.  “Turun!” Perintah laki-laki bertato naga yang tadi duduk di sebelahku. Aku bergeming. Takut. Aku tak Sudi mereka perintah-perintah. Tetapi jika tidak, aku mungkin akan dihabisi. “Turun, cepatan!” kesalnya, sembari menarik pergelangan tanganku dengan kasar, “bocah!” sungutnya kemudian. Bocah katanya? Aku sudah remaja! Daripada berurusan dengan para laki-laki bertato mengerikan yang membawaku ke sini, lebih baik kuturuti saja perintah mereka. Aku turun dari mobil, dengan kedua tangan masih terikat. Menatap gedung di hadapanku sambil bergidik. Tempat ini seperti tempat rahasia. Lokasinya jauh dari pusat kota dan pemukiman penduduk, tinggi gedung hanya tiga tingkat, seperti bangunan Rumah Sakit kuno, cat warna putih yang usang, mungkin usianya sudah puluhan tahun tak terawat, atau terabaikan begitu saja lalu difungsikan sebagai tempat tahanan oleh komplotan mafia jelek ini. “Ayo, jalan!” perintah salah satu dari ketiga orang mafia yang membawaku. Satu orang berjalan di depan, dan dua menggiringku. Keduanya mengembuskan asap rokok yang baunya berhasil membuatku terbatuk-batuk. Namun begitu, aku masih berjalan menyusuri lorong bangunan hingga kami akhirnya menaiki anak tangga menuju lantai dua. “Tempat apa ini?” tanyaku penasaran, sedikit menoleh ke belakang. “Penjara kematian!” jawab salah satu dari mereka, lalu jawaban itu ditertawakan oleh temannya. Aku tak berani bertanya lagi, sudah cukup, rasanya nyawaku sudah di ujung tanduk. “Body-nya mantap juga nih bocah,” celetuk mafia yang kudengar sering dipanggil Def. Def, mungkin saja namanya Defri, atau Dave, atau Defran, entahlah! “Bangke memang lu, Def, gak bisa liat yang cakep dikit!” timpal temannya, Hipni. “Selesaikan kalau lu mau,” lanjutnya. Tungkai kakiku terasa copot. Lemas seketika. Aku tahu maksud pembicaraan mereka apa, apa benar aku akan .... “Sudah mengabari Bos kalau kita sudah sampai?” Suara laki-laki yang berjalan di hadapanku seketika membuat Def dan Hipni terdiam. Mereka yang sejak tadi berisik bercanda dengan kata-kata jorok segera menjawab. “Belum, apa harus kita hubunginya, Boy?” tanya Def. “Harus, bego! Kan kalian tahu bocah ini siapa, hah? Kalau kita melakukan kesalahan, bisa-bisa kepala kita kena penggal, paham?!” “Santai, dong, Boy, gua kan Cuma nanya doang. Gak usah ngegas!” Def mulai sewot. “Gua tau pikiran kalian itu apa,” sambar Boy, “gua gak mau ambil resiko. Kalau kalian mau senang-senang, jangan ke gadis ini, tuh, banyak tahanan lainnya yang bisa kalian pake.” Tunjuk Boy ke arah pintu-pintu yang menghadap lorong. Di setiap lantai, terdapat beberapa ruangan dengan kursi-kursi besi yang sudah berkarat, lalu beberapa kamar atau pintu yang terlihat tertutup rapat. Dugaanku benar, bangunan ini memang dulunya rumah sakit. Def dan Hipni melengos. Lalu Def mengeluarkan ponselnya, terlihat ia menghubungi seseorang. Saat tak sengaja ia melihatku memperhatikannya, matanya yang besar melotot menyeramkan, lalu ia menjauh dari kami. Kupikir ia tak ingin pembicaraannya di telepon berhasil kudengar. Tinggal ada Hipni yang berdiri tak jauh di belakangku, Boy di depan menunggu Def kembali bergabung. Tak lama Def kembali sembari mengabarkan sesuatu. “Bos minta kita cabut dari sini sekarang,” kata Def, tegang. “Ada apa? Lalu gadis ini?” “Tinggalkan saja, dia gak akan pergi ke mana-mana, atau kurung dia di kamar 13, hahaa.” Def tertawa senang, terlihat puas membuat wajahku menekuk ketakutan. Boy memiringkan wajah menatapku, sepertinya mafia satu itu tidak sekejam Def dan Hipni. Aku harap, ia tidak mengurungku di sebuah kamar yang gelap. Aku takut jika itu terjadi. “Baiklah kalau itu perintah dari bos langsung. Apa tugas kita setelah ini?” Boy menanyai Def lagi. “Seperti biasa.”  *** Langit di atas sana tertutup awan hitam, sebentar lagi bumi akan diguyur hujan. Tiga orang mafia yang membawaku ke sini sudah pergi dengan sedan hitam mereka, meninggalkanku di bangsal Rumah Sakit di lantai teratas. Di sebuah kamar berjendela kaca berbingkai kayu tua. Meski kedua kaki dan tanganku sudah tidak terikat tali, aku tak akan bisa kabur dari gedung ini. Bahkan keluar dari lokasi ini. Gedung ini dikelilingi tembok tinggi lebih dari tiga meter, di atasnya kawat besi menggulung mengelilingi bagian atasnya. Bagaimana kami yang tinggal di gedung ini bisa melarikan diri? Sementara tak ada satu orang laki-laki pun di sini, semua tahanan berjenis kelamin perempuan, mulai dari remaja hingga dewasa. Kupikir, sengaja para wanita dikumpulkan di tempat ini sebagai pemuas nafsu para mafia. Sebelum ketiga mafia yang membawaku ke gedung ini pergi, aku tahu mereka dengan cepat menyusup ke kamar-kamar, membuang apa yang sejak awal ingin mereka keluarkan dengan penuh gairah. Masih jelas kelihat Def membenarkan resleting celananya dengan wajah penuh kepuasan. Biadab! Dadaku terasa sesak, entah berapa lama aku tinggal di gedung tua ini. Siapa yang akan menyelamatkanku? Kapan penderitaan berakhir? Aku ingat orangtuaku, bagaimana perasaan mereka seandainya mereka masih hidup mengetahui putrinya terasing dalam tahanan para mafia? Hujan mulai turun satu persatu, membasahi bumi menguarkan aroma tanah basah yang khas. Udara sejuk. Dan dingin yang kian lama kian menusuk tulang. Aku menutup pintu jendela kamar, lalu meringkuk di sudut ruangan. Tidak ada apa pun di ruangan ini selain lantai yang dingin dan selembar tikar tipis yang beberapa bagiannya robek. Aku lelah. Sangat. Aku juga mengantuk. Perlahan kupejamkan mata, berharap, saat terbangun nanti aku sudah berpindah tempat. Mungkin aku bisa melihat Kak Jihan, atau Bu Darmi, atau Tante Ratih, ah, aku tak sanggup harus mendekam di sini. Tok, tok, tok! Kudengar suara pintu diketuk. Entah siapa. Aku takut membukanya. Bayangan ketiga laki-laki b***t yang masuk ke kamar demi memuaskan nafsu birahi membuat perasaanku kacau. Bagaimana jika ternyata yang mengetuk adalah si Mafia? Pintu kembali diketuk, dan aku masih diam. Kupasang pendengaran baik-baik. Aku mendengar suara seorang perempuan di luar sana. “Aku tahu kamu di dalam, bukalah! Aku bawakan makanan untukmu,” ucapnya, membuatku bernapas lega. Tapi apa mungkin? Aku mulai beranjak dari tempatku meringkuk, mendekati pintu kamar dan berdiam diri di depannya. “Siapa kamu?” Aku memastikan, bisa saja ia berpura-pura baik, kan? “Aku salah satu tahanan di sini, namaku Silvia, kamu bisa mempercayaiku,” jelasnya lagi. Silvia? Siapa dia sebenarnya? Lama aku berpikir, apa perlu aku bukakan pintu? Jujur, aku takut, tetapi perutku terasa sangat lapar, tubuhku juga sudah gemetaran. Lapar dan haus membuatku jadi tak bertenaga sekarang. “Bukalah, aku gak akan menyakiti kamu!” Perempuan itu bersikeras, ia masih berada di depan pintu kamarku. Aku pasrah, tak ada pilihan lain. Jika ingin memberi cacing perut makanan, aku harus membuka pintu kamar. Akan banyak kemungkinan. Dibunuh. Dianiaya. Digauli. Atau dia akan menjadi teman yang baik. Aku membuka pintu, dan melongokkan kepala.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD