Bab. 13

1781 Words
Aku menemukan seseorang berdiri di depan pintu. Wanita berbadan tinggi kurus, pada wajahnya menonjolkan tulang pipi dan di bawah matanya terdapat lingkaran hitam. Mata besar itu menatapku lekat, dua sudut bibirnya melengkung ke atas. Senyumnya aneh, aku melihat keramahan yang tidak biasa. “Hai, aku Silvia,” katanya, lalu ia melirik apa yang ia bawa. “Kamu pasti lapar, aku bawa ini, beri-berian di sekitar gedung.” Aku melihat beberapa buah tanaman liar di tangannya, di dalam sebuah mangkuk mungil. Aku pernah melihat jenis buah seperti anggur berukuran mini itu ketika masih kecil, ingatan tentang masa lalu semasa di kampung halaman bersama orangtuaku kembali memenuhi kepala. “Ambilah, lumayan untuk mengganjal rasa lapar, yang penting kamu gak kelaparan,” ucapnya lagi. Aku tersenyum kecil. Wanita yang baik, tetapi mengapa ia mau-maunya mencari buah tanaman liar ini untukku? Aku menarima mangkuk mungil di tangannya. Mangkuk itu berpindah tangan bersamaan senyumnya yang memudar. Matanya menyusuri seluruh tubuhku, dari ujung kaki hingga kepala. “Kamu masih perawan? Berapa usiamu?” “ Delapan belas tahun,” jawabku singkat. “Malang sekali nasibmu, gak ada satu orang pun yang bisa lolos dari tempat ini. Di sini, semua tahanan serupa sampah busuk yang dimasukkan ke dalam plastik hitam dan dibuang. Gak berguna. Gak ada harapan. Pelan-pelan kita akan mari di gedung ini jadi tulang-belulang.” Silvia berkata sangat mengerikan, aku tidak kuat mendengarnya, aku ingin menangis sambil memegang mangkuk dengan tangan gemetar. “Tahanan baru, akan mereka tiduri setiap hari hingga cairan kental dalam tongkat mereka habis dan terpuaskan. k*****t memang, tapi kita tak ada pilihan selain menuruti perintah mereka. Jika menolak, tindak kekerasan akan terjadi, mati tidak, hidup pun menderita. Kita akan dibuat cacat seumur hidup, entah itu patah tulang atau satu bola mata keluar. Mereka gak peduli, yang mereka tahu birahi mereka terpenuhi. Hanya itu yang bisa mereka lakukan.” Tubuhku ambruk, lemas. Apa hidupku akan semengenaskan itu? Silvia membantuku berdiri, ia mengajakku masuk ke kamarku sambil melirik ke kanan-kiri sebelum akhirnya pintu kamar ditutup rapat. Ia berdiri di depan jendela, rupanya hujan di luar sudah mereda. “Makanlah buah itu, Rania. Kamu butuh tenaga. Aku akan membantumu untuk keluar dari sini. Jangan sampai kamu mati sebelum berjuang.” “Dari mana Kakak tahu namaku?” Aku cukup terkejut saat ia menyebut namaku. Silvia, kutaksir usianya jauh lebih dewasa dariku. Mungkin ia seusia Tante Ratih, sedikit lebih terlihat tua dan kuyuh sebab penampilannya yang tak terurus dan terlalu kurus. Silvia memakai tangtop warna putih yang sudah sangat Kumal, bukan putih lagi, tetapi hitam kecoklatan. Entah berapa lama ia tinggal di sini. “Tiga laki-laki berengsek itu tak sengaja menyebut nama kamu, jadi aku tahu. Apa benar kamu gadis simpanannya Liem Xingsheng?” tanya Silvia, ia menoleh menatapku lekat. Sorot matanya berharap aku mengatakan kebenaran. Tetapi aku takut, aku tak akan mengakuinya. Meski Silvia terlihat baik, namun aku belum mempercaya sepenuhnya. Melihatku masih diam sambil menatap buah di dalam mangkuk yang terlihat seperti buah dari Surga, Silvia banyak bercerita tentang wanita-wanita yang dibuang di gedung ini. Sebagian dari mereka mengaku sebagai gadis simpanan Tuan Liem. Mereka mengatakan itu agar mereka tidak diperlakukan tidak baik oleh tiga orang laki-laki yang belum lama ini meninggalkan gedung tua ini, tidak hanya mereka, terkadang, banyak mafia lainnya yang datang demi mengadakan pesta s*x dan minum-minum terlarang. Polisi tak akan menemukan tempat ini dan mereka dengan bebas melakukan apa saja yang mereka ingin lakukan. “Mereka semua Anjing!” Silvia meludah ke luar jendela. Aku bisa melihat emosi dalam diri wanita itu yang tertahan. Rasa jijik, benci, muak, berbaur menjadi satu. Wanita-wanita muda yang mengaku simpanan Tuan Liem pada akhirnya mereka perlakukan sama seperti tahanan lainnya. Mereka renggut kesucian dan masa depannya. Bahkan, beberapa orang wanita muda lebih memilih bunuh diri daripada harus melayani dan disakiti para mafia. Mafia itu begitu kejam, tak memiliki nurani, mereka seperti Dajjal. Selera makanku hilang. Aku tiba-tiba merasa mual. Silvia menatapku, tersenyum sinis. “Kamu harus terbiasa menjalani hari-hari seperti yang kami alami. Pesanku, berpikirlah bagaimana caranya agar kamu bisa keluar dari sini, jangan memilih bunuh diri. Entah kenapa, meski terasa mustahil, aku yakin kamu memiliki hidup yang bahagia, Rania.” Sorot matanya berubah teduh, bibirnya gemetar. Kaki kurusnya mendekatiku, duduk di hadapanku yang menatapnya sekilas karena rasa takut. “Melihatmu, aku jadi ingat adikku. Mungkin dia seumuran sama kamu, Rania. Namanya Devita, dia gadis pendiam, sorot matanya sendu, ia memiliki banyak mimpi.” “Di mana adik Kakak sekarang?” Aku penasaran, meski nada suaraku terdengar seperti tercekik. “Dia meninggal seminggu sebelum aku diperdaya oleh para mafia. Kecelakaan tabrak lari. Sampai sekarang, aku gak tahu siapa pelakunya. Hingga aku dibawa mafia tuk dijadikan pekerja seksual dan ditahan di gedung ini.” Aku menelan ludah yang terasa sakit. Aku ingat Tante Ratih, apa Tante akan bernasib sama denganku? Dengan Silvia? “Kak, aku takut.” Akhirnya aku mengungkapkan perasaanku yang sebenarnya tanpa kuungkapkan pun kurasa semua orang akan tahu bahwa betapa takutnya aku di sini. Tubuhku terasa panas-dingin dan gemetaran. Mataku terus memanas menahan tangis, aku terus memikirkan keburukan-keburukan apa saja yang akan kuterima setelah ini. Silvia menyemangatiku, mungkin juga menyemangati dirinya sendiri agar tetap kuat menerima kenyataan pahit. “Jangan takut, kalau kamu mau, kita bisa sama-sama memikirkan jalan keluar dari sini.” Aku seperti memiliki harapan dan kekuatan. Kulempar senyum kecil padanya. Aku bukan tipe gadis yang mudah putus asa sebenarnya, aku siap berjuang bersama jika Silvia bisa dipercaya. “Sekarang, ciciplah buah beri hutan itu, Rania. Sebelum mereka datang.” “Mereka? Para mafia?” “Ya, siapa lagi? Mereka datang untuk berpesta.” “Dari mana Kakak tahu mereka akan pesta?” Lagi, aku bertanya. “Setiap akhir pekan, mereka datang untuk bersenang-senang. Biasanya setelah mereka banyak membawa gadis-gadis sebagai tahanan baru.” Aku kembali bergidik. Ini sungguh mengerikan. Jauh di luar dugaan. “Kamu tahu, Rania, di dalam gedung ini, sudah ada 200 wanita yang masih hidup. 50 orang mati bunuh diri, dan hanya ada 3 orang yang berhasil melarikan diri. 15 orang, mati ditembak. 16 orang, mati karena sakit dan diperkosa sampai mati.” “Da-dari mana Kakak tahu semuanya?” Aku gemetar, Silvia mengetahui semuanya dan dia kini terlihat seperti tahanan senior. Silvia tidak menjawab. Ia hanya menatapku sekilas lalu pandangannya terlempar ke langit-langit ruangan. Ia seperti mengeja kalimat-kalimat di sana untuk ia katakan padaku. Aku menunggu. Namun Silvia tak kunjung mengatakan apa-apa. Hingga akhirnya ia beranjak dari duduknya meninggalkan ruanganku. “Aku di kamar 01 di lantai dua, kamu bisa datang padaku jika ada perlu,” katanya, sebelum menutup pintu dan terdengar suara kakinya menjauh.  *** Hari sudah petang, aku masih berada di ruanganku. Kamar apek dan bau. Aku berdiri di depan jendela, rasanya aku bersyukur ditempatkan di kamar ini sebab memiliki jendela yang menghadap ke Timur. Jika pagi hari, aku bisa merasakan hangatnya cahaya matahari tanpa harus keluar kamar. Lalu di sore hari, langit orange kemerahan membuatku memiliki kekuatan. Setidaknya, alam sana adalah enegi baik yang harus kuserap agar tetap semangat berpikir meski keadaan semakin sempit. Di di sekeliling gedung, kulihat rumput-rumput sudah meninggi, mungkin saja Silvia memetik buah tumbuhan liar yang tadi kumakan di sekitar gedung ini. Benar saja, dari atas, kulihat beberapa wanita tahanan bertubuh kurus terlihat menyingkap semak-semak, mungkin saja mereka kelaparan dan mencari apa saja yang bisa mereka makan. Aku tiba-tiba merasa haus. Tidak ada air di sini. Ke mana harus kutemukan air untuk minum? Tenggorakanku terasa sangat kering sekarang. Seseorang dari bawah sana mendongak ke atas, ia menyadari aku melihat mkegiatan mereka dari kamar ini. Tangannya melambai, dan refleks aku juga melambai ke arahnya. Beberapa orang teman-temannya ia menyibak semak ikut menatapku, mereka seakan terkejut melihat keberadaanku. “Apa kamu bidadari?” tanya mereka, kini mereka seakan melupakan apa yang mereka cari, fokus mereka menatap ke arahku dengan wajah mendongak. Aku tertawa. Bidadari? Dasar juling! “Ya, bidadari malang. Aku tahanan baru!” teriakku, dan mereka saling pandang, lalu tertawa terbahak, membuat keningku berkerut. Ada apa dengan mereka? “Kami pikir kamu bidadari yang akan menolong kami!” teriak salah satu dari mereka. Kemudia mereka mengabaikan ku, kembali sibuk mencari buah tanaman liar. Sedih rasanya. Mereka, bahkan aku sendiri berpikir sama. Berharap, seseorang datang menyelamatkanku dari tempat sialan ini. Membawaku pergi jauh dari dari para mafia. Tapi kurasa, itu hanyalah angan yang tak mungkin terjadi. Aku menjauhi daun jendela. Aku sudah tak tahan lagi, tenggorokanku terasa haus sekali. Aku memutuskan untuk keluar kamar, mencari air, kamar mandi, atau siapa pun yang memiliki persediaan air. Di luar kamar sangat gelap. Lorong-lorong tak memiliki cahaya sama sekali. Aku terpaksa meraba dinding lorong hingga kutemukan gagang pintu kamar lainnya. Semua pintu kamar terkunci, dan tak kudengar suara-suara di dalam kamar sana. Hening, lantai ini seperti bangsal tak berpenghuni, padahal Silvia mengatakan padaku bahwa di gedung ini dihuni oleh dua ratus wanita. Di mana mereka? “Apa ada orang?” tanyaku, suaraku menggema, tempat ini kosong. Aku bisa mendengar suaraku memantul. Hingga akhirnya aku menemukan tangga, satu-satunya jalan turun menuju lantai dua. ‘Aku di kamar 01 di lantai dua, kamu bisa datang padaku jika ada perlu’ Aku mengingat pesan Silvia sebelum meninggalkan kamarku. Ya, tujuanku sekarang menemuinya, mencari pintu kamar nomor 01. Berbeda dengan lantai tiga, di lantai ini aku melihat cahaya penerangan. Ada lampu teplok yang menempel di dinding, satu lampu di sayap kiri, dan satu lampu lagi berada di sayang kanan. Kursi-kursi besi berkarat berjejer di dinding menghadap depan masih tak terlihat ada seseorang yang duduk di sana, kurasa Silvia salah menginformasikan padaku soal jumlah penghuninya gedung ini. Dengan mudah kutemukan pintu 01. Letaknya berada di dekat tangga. Aku menelan ludah. Berharap Silvia bisa memberiku sedikit air untuk melegakan tenggorokanku. Aku baru saja ingin mengetuk pintu kamar Silvia, seketika saja pergelangan tanganku ditarik oleh seseorang. Tubuhku terseret menjauhi pintu, dan kudapati seorang wanita muda berdiri di dekatku sambil menyentuh bibir dengan telunjuk. Aku menatapnya. Baru kusadari kami memiliki tinggi badan yang sama. Wajahnya masih mudah, hanya terlihat pipinya cekung dan tulang bahunya menonjol. Kurus, tetapi tidak sekurus Silvia. “Siapa kamu?” bisikku. “Gue yang tanya, lu siapa? Tahanan baru?” tanyanya dengan bahasa gaul khas anak Jakarta. Aku mengangguk lemah. “Aku Rania, aku butuh air. Aku haus,” jawabku, aku tak ingin banyak basa-basi lagi. Liurku sudah terasa keting terus-menerus membahasahi tenggorokan. “Ikut aku,” katanya, masih memegangi pergelangan tanganku. “Hei, mau ke mana? Siapa nama kamu?” Langkahku terseok mengikuti ke mana langkah wanita muda yang membawaku menuruni anak tangga menuju lantai bawah. Kakinya terhenti sebentar, “Mau minum, kan? Jangan protes, ikuti aja gue!” Aku pasrah. Baiklah, ke mana pun akan aku ikuti asal dahagaku bisa terobati. Dia membawaku ke lantai bawah, dan aku dikejutkan oleh pemandangan yang sanggup membuatku berderai air mata.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD