Bab. 11

1398 Words
           Aku selamat. Bodyguard berotot besar itu berhasil dibujuk Om Deri untuk tidak menggangguku.     "Sialan lo!" sungutnya pada Om Deri, lalu meninggalkan kami berdua menuju ruang lain.     Aku masih gemetar hebat, pandangan mata terus menunduk ke bawah. Aku masih trauma melihat kilatan mata Om Deri.     "Akhirnya ketemu di sini kita," bisik Om Deri, tangannya mencengkeram lenganku kuat-kuat. Aku mendesis kesakitan.     "Sakit, Om." Aku berusaha melepaskan tangan, tetapi semakin aku berusaha berontak cekalan tangan Om Deri makin kencang.     "Rania, harusnya beruntung kamu Om selamatin. Kalo nggak, bisa mati kamu diperkosa oleh p*****l ganas macam si Andre!"     Aku meringkuk ketakutan. Masih menatap lantai.     "Sekarang, kamu pilih mana, melayani Om atau dia. Atau ... kalau kamu nggak mau, Om bisa seret kamu ke lokasi pengasingan bergabung sama gadis-gadis pemberontak lainnya." Suara Om Deri terdengar sangat tenang, seakan dialah bos para mafia itu.     "Saya nggak takut mati, Om!" teriakku mengangkat wajah. Entah kekuatan dari mana aku akhirnya berani menatap wajah suami tanteku yang jahat itu.     Tawa Om Deri membahana, seakan ucapanku hanyalah banyolan para badut jalanan. "Berani juga kamu," ejeknya tersenyum miring.     "Lepasin!" Aku kembali menarik tangan, dan memanggil wanita yang saat ini masih bersama bos, "Kak Jihaaan!!"     "Hahahaa, teriak aja teros! Nggak ada yang peduli sama kamu Rania. Hari ini hari bersenang-senang, Bos dan para Bodyguard-nya yang setia. Om bener-bener nggak nyangka kamu ada di sini, jadi salah satu gadis simpanan bos." Om Deri menarik napas panjang, "Aahh, kasihan Ratih, dia sudah kontrak kerja sama g***o anak buahnya bos, sekarang kamu juga."     Mendenger nama Tante Ratih disebut, seketika rindu itu kembali bertabuh.     "Saya kangen Tante Ratih, Om." Suaraku tercekat, aku sudah sangat rindu. Pergi dari rumahnya tanpa pesan, lalu kami terpisah tanpa kabar. Semua gara-gara Om Deri.     "Percuma, Rania. Tantemu nggak bakal peduli. Justeru dia senang kamu nggak jadi beban buat dia," kata Om Deri, dia seolah menatapku iba.     "Om Deri bohong!" Aku tak percaya, Tante Ratih tidak sejahat itu padaku. Bukankah aku keponakannya sendiri?     Kedua bahu Om Deri terangkat. "Terserah," katanya, melengkungkan ujung bibir ke bawah, "Dia sudah Om ceraikan."     "Om jahat! Jahat!" Kakiku menendangnya kuat-kuat tapi Om Deri justeru menikmati kebrutalanku.     "Semoga Tante Ratih bisa bahagia dengan laki-laki lain, nggak menderita waktu sama Om!"     "Kurang ajar kamu, Rania!" Bentak Om Deri, satu tangannya terangkat hendak menampar wajahku.     "Aarrgh!" erangnya kesakitan, di saat tangan kasar Om Deri nyaris menyentuh pipiku seseorang dengan cepat menendang tangan Om Deri kencang dari arah belakang.     "Lepasin Rania!"     Mulutku terbuka lebar, aku tidak percaya Kak Jihan datang. Aku segera melepaskan tangan dari cekalan Om Deri, lalu segera memeluk Kak Jihan erat.     "Kak!" Aku mengadu, terguguh hebat.     "Dasar l***e!" teriak Om Deri murka.     "Tutup mulut lo!" Kak Jihan tak kalah marah.     "Ada apa ini?" Terdengar suara berat datang dari arah kamar. Laki-laki itu sedikit merapikan dasi dan jasnya yang miring. Aku segera melepaskan pelukan dari tubuh Kak Jihan.     Kak Jihan dan Om Deri langsung membungkukkan badan memberi hormat. Dengan canggung, aku pun ikut melakukan hal sama.     Sudah saatnya berhadapan dengan Tuan besar, Liu Xingsheng.     "Tuan, Jihan menghalangi saya untuk mengajak gadis itu untuk melayani saya." Om Deri menegakkan badan, tetapi masih menundukkan wajah.     Aku dan Kak Jihan ikut menegakkan badan bersamaan. Kak Jihan melirik Om Deri dengan tatapan tak suka. "Ampuni saya, Tuan. Ucapannya tidak benar."     Tuan besar Liu Xingsheng tersenyum tipis menanggapi dua orang kepercayaan beradu mulut. Layaknya bos besar yang tidak menyukai hal sepele dan membuat kening lebarnya mengerut, ia bersikap elegan dan bersikap santai untuk menunjukkan kelasnya.     "Saya bisa dengan mudah membuat lidah kalian tertarik keluar." Dia berkata dengan aksen Indonesia yang belum begitu sempurna.     "Anak itu memberontak, Tuan." Telunjuk Om Deri mengarah padaku.     Aku menggigit bibir kuat-kuat. Tega sekali Om Deri padaku, kata 'pemberontak' adalah sebuah larangan keras bagi Tuan besar.     Tuan besar Liu Xingsheng menyipitkan matanya yang memang sudah sipit. Pandangannya beralih padaku.     "Siapa namamu?" tanya Tuan besar, ia melangkah mendekatiku yang sejak tadi berdiri gemetar.     "Sa-saya Rania, Tuan."     "Cantik," ucap Tuan besar setelah berdiri di dekatku. Sangat dekat. Jari telunjuknya  menempel ke dagu hingga wajahku terangkat menatap wajahnya.     "Berontak berarti mati," bisik Tuan besar padaku. Desisannya seperti ular yang siap menelanku hidup-hidup.     "Saya mohon jangan hukum Rania, Tuan," pinta Kak Jihan setengah memohon. Tapi dengan cepat Tuan besar membungkam mulut Kak Jihan.     "Diamlah, Jihan. Atau kamu yang akan saya kirim ke pengasingan."     Dalam kesempatan ini, Om Deri kembali menyudutkanku. Ia mengatakan kalau aku tidak ingin melayani dan menuruti perintahnya. Dengan kemalangan dibuat-buat, Om Deri mengeluh belum mendapatkan seseorang untuk bisa diajak bersenang-senang hari ini.     "Mohon maaf, Tuan. Rania bukan salah satu pelayan di sini, dia gadis pilihan Tuan Liem." Kudengar Kak Jihan berusaha membantuku. Mungkin, sudah waktunya Kak Jihan memberitahu Tuan besar kalau aku harus dilindungi.     "Liem    Xingsheng?" Tuan besar seakan tak percaya. Kak Jihan mengangguk kecil untuk meyakinkan.     "Hemm," gumam Tuan besar, kini kedua tangannya bersembunyi dalam saku celana. "Cukup mengesankan," ucapnya berdecak kagum.     Kak Jihan menatapku dengan tatapan menenangkan.     "Jihan mengarang cerita, Tuan. Lebih baik anak pemberontak itu dibunuh atau dibuang. Dia anak paling sialan yang pernah saya temui!!" teriak Om Deri tidak pernah puas, tidak pula bersikap sopan. Dia terus merongrong Tuan besar agar aku dihukum.     Tuan besar menarik satu tangannya dari saku celalu, lalu dengan kecepatan tinggi ia menarik pelatuk pistol yang ada dalam genggamannya.     Darah segar muncrat keluar dari kening Om Deri, membanjiri tubuh dan lantai. Dalam hitungan detik, tubuh laki-laki itu terjatuh menggelempar.       ***         Tuan besar memerintahkan anak buahnya memeriksa ruangan kami, kamar-kamar, dan apapun  barang yang kira-kira mencurigakan.     Aku melihat Kak Jihan berusaha sekuat tenaga memperdaya Tuan besar agar aku tidak dibawa ke tempat pengasingan. Tuan besar sendiri seakan tidak peduli, bahkan saat Kak Jihan menjelaskan bahwa Tuan Liem sangat menyayangiku.     "Jangan terlalu keras merayu saya, Jihan. Kamu tidak tahu apa-apa. Liem, sudah tidak ditugaskan lagi di negara ini. Dia sudah saya perintahkan menangani organisasi baru di Tiongkok," jelas Tuan besar meyakinkan Kak Jihan. "Dia juga sudah saya nikahkan dengan putri seorang pengusaha, sahabat saya di China."     Bohong jika aku tidak sedih mendengar perkataan Tuan besar. Pasti ada kesalahan. Tuan Liem tidak mungkin berbohong.     "Tuan, saya mohon." Sekali lagi Kak Jihan memohon, dan aku mulai terisak.     Tuan besar melihatku dengan senyum mengerikan. "Bawa pemberontak kecil itu!" perintahnya pada para bodyguard yang sejak tadi terus mengawal.     "Tuan," panggil Kak Jihan nyaris putus asa.     "Kak Jihan." Aku memanggilnya lemah, aku tidak ingin dia memohon lagi. Biarlah, biarlah aku dibawa kemanapun mereka pergi. Yang kutakuti adalah, nyawa Kak Jihan sendiri. Cukup sudah kulihat kematian Om Deri yang mengenaskan di depan mata hanya karena terlalu banyak bicara.     Dua orang laki-laki berbadan besar mendekatiku dan menarik tanganku hendak menuruni anak tangga menuju mobil mewah yang terparkir di pekarangan rumah.      "Nggak mau!" Aku menggigit tangan salah satu dari mereka.     "Tuan, saya sudah memberikan semua yang Tuan inginkan bahkan nyawa dan tubuh saya sendiri. Tapi tolong, Tuan, jangan hukum Rania. Saya mohon." Kak Jihan mencium kaki Tuan besar demi aku.     Wajah bos yang kejam itu tetap tidak menunjukkan emosi apapun. Santai dan elegan. Tapi suara yang keluar dari mulutnya membuat darahku mendidih, aku berteriak sekencang-kencangnya hingga parau sudah. Tidak ada satupun dapat menolong. Tidak seorangpun berani berkata-kata lagi, Tuan besar menginginkan Kak Jihan segera dihabisi.     Aku meronta-ronta seperti orang kesurupan. Berteriak kencang, membabi buta memukuli orang yang membawaku menuju mobil.      "Kak Jihaaan! Kakaaak!"     Tenggorokanku sakit. Dan badanku sudah tidak bertenaga lagi.     "Dasar orang jahat! Mafia terkutuk! Orang gila aneh! Pendosa!"     Tuan besar bersama pelayan dan Bodyguard-nya tengah berjalan menuju mobil mewahnya dengan langkah cepat. Sesekali ia melirik arloji di tangan.     "Urus dia!" perintah Tuan besar sebelum ia masuk ke mobil.     "Siap, Tuan!" Para anak buah memasukkanku ke mobil yang berbeda.     Dalam mobil, kedua tanganku diikat kencang dan duduk di temani seorang laki-laki tepat di samping.     "Kak Jihan." Aku kembali menyebut Kak Jihan, bagaimana nasibnya sekarang? Bahkan aku tidak sempat berkata apapun padanya. Tidak juga memeluk tubuhnya. Apa benar Kak Jihan akan dihabisi?     Dadaku sesak, hingga terasa nyeri sekali.       "Apa yang mereka lakuin sama Kak Jihan?" tanyaku pada laki-laki yang menemaniku.     "Jangan banyak nanya, bocah! Khawatirin aja nasibmu sendiri!" Laki-laki itu tertawa keras.     "Cuih!" Aku meludahinya.     Satu tamparan keras mendarat di pipiku. Membuat sudut bibirku terasa pedih, mungkin juga keluar darah. Ya, meski begitu aku merasa puas. Air ludahku sudah mendarat di wajah jeleknya!      Mobil melaju sangat cepat, awalnya mobil yang membawaku beriringan dengan kendaraan bos dan lainnya. Namun akhirnya semua kendaraan menyebar ke berbagai arah.     "Mau dibawa ke mana saya?" tanyaku bersuara serak.     "Ke tempat sampah!" jawab mereka sambil tertawa lepas.    
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD