Aku melihat semua wanita penghuni rumah ini wajahnya memucat. Bisik-bisik kudengar para pelayan berucap getir yang aku tidak paham apa maksudnya, yang membuatku was-was, Kak Jihan memintaku datang ke ruangannya.
Sejak pagi aku sudah berdandan rapi, dan kini kutemui ia berpenampilan tak biasa. Kak Jihan terlihat sangat cantik. Ia mengenakan pakaian sedikit terbuka, tidak terlalu seronok tapi menarik dipandang, apalagi yang melihat mata lelaki, tentu saja tidak akan ada yang berani menolak jika Kak Jihan mendekat.
"Kak," panggilku pelan, aku masih mematung di ambang pintu kamarnya.
"Hemm." Dia masih merapikan 'make up' di wajah, pandangan mata terus tertuju ke cermin. "Masuklah, Rania," perintah Kak Jihan cepat. Lalu aku segera masuk ke kamarnya dan duduk di sofa samping dipan.
"Kak, kenapa semua orang keliatan takut?" Aku tak sabar menanyakan perihal 'ketakutan' itu.
Kak Jihan mengakhiri kegiatannya. Sekarang dia menoleh ke arahku. Kecantikannya terlihat sempurna hari ini, benar-benar buatku pangling.
"Rania," ucapnya serak, "itulah sebabnya kenapa kamu saya panggil, Sayang. Sesuatu akan terjadi, dan kita harus siap." Bibir merahnya yang bak kelopak mawar bergetar.
Astaga. Tubuhku seketika gemetar ketakutan.
"Apa kita mau dibunuh, Kak?!" Aku histeris.
Kak Jihan memutar kursinya dan mendorong roda kursinya mendekat ke arahku. Kedua tangan Kak Jihan menggenggam jari-jariku erat. Ia seperti mentransfer kekuatan dari dalam tubuhnya untukku. "Ssstt, jangan panik, Rania. Nggak ada pilihan lain, menuruti perintah atau mati. Itu aja."
Aku tahu Kak Jihan bersikap santai seolah tidak memiliki rasa takut, dia ingin aku tenang.
"Dengar, Rania. Lakukan apa yang menurutmu ingin lakukan. Saya sudah ajari banyak hal ke kamu 'kan? Tentang interaksi dengan mereka. Gimana kita menyambut kedatangan mereka, cara menatap dan bicara." Kak Jihan menggenggam semakin kuat, lalu bibirnya sedikit maju ke daun telingaku, ia membisikkan kata, "Buat mereka tertipu dan merasa takjub dengan kecerdikan dan penampilan."
Aliran darahku terasa tersumbat, itu tidak mungkin kulakukan. Tidak mungkin.
"Kakak pasti masih ingat, saya baru 18 tahun sekarang, Kak. Apa yang menarik dari penampilan saya?"
"Jangan bodoh, Rania! Penampilan menarik nggak harus bertubuh ideal dan terlihat memuaskan. Dengan keanggunan kamu di depan mereka itu aja udah bikin 'mood' mereka meningkat. Seenggaknya kita belum mati hari ini!"
Gigil di tubuh semakin menjadi. Aku menarik tangan dari genggaman Kak Jihan dan menutup kedua telinga. "Cukup, Kak. Saya nggak kuat dengernya!" raungku sambil menangis. Kenapa hidupku semenyakitkan ini.
Kak Jihan mendekapku erat. Aku merasakan detak jantungnya berdebar kencang. Sama sepertiku, hanya saja mulutnya diam dan sikapnya tenang. Mungkin, dia sudah terbiasa dalam situasi dan kondisi seperti ini. Hidup dalam bayang-bayang kematian.
***
Aku melihatnya dari kaca jendela dari ruanganku, sendirian. Beberapa unit mobil berwarna hitam mengkilap memasuki pekarangan rumah beriring-iringan. Mataku langsung tertuju pada sebuah mobil di bagian samping ada sticker gambar aneh yang tidak kupahami. Aku berpikir gambar itu adalah simbol atau lambang kekuasaan Tuan besar.
Semua penghuni rumah berbaris menyambut Tuan besar penuh hormat. Penjaga laki-laki dan pelayan perempuan menundukkan kepala dalam-dalam, tak ada satupun yang berani menatap wajah Tuan besar, bos segala bos. Dari sini, tidak terlalu jelas kulihat wajah itu, aku hanya bisa melihat kulitnya yang putih, gaya jalannya seakan dikejar musuh. Cepat dan penuh kewaspadaan.
Aku tidak terkejut saat melihat Tuan besar berdiri di hadapan seorang wanita cantik yang sejak tadi ikut menyambut kedatangannya. Tuan besar mengecup punggung tangan wanita itu dengan sikap hormat dan mesrah. Tetapi perutku tiba-tiba mual dan semua isi perut seakan ingin keluar. Aku terus melihat pemandangan di bawah sana, wanita itu menggandeng manja lengan Tuan besar saat menuju pintu masuk utama.
Saat memikirkan Tuan besar, aku merasa ajalku sudah dekat. Wajah yang sedari tadi dihias secantik mungkin kini terlihat seperti zombie dalam cermin. Dadaku sesak, dan aku merasa kesulitan bernapas.
"Rania," panggil seseorang mengejutkanku. Ternyata seorang pelayan yang tadi ikut penyambutan Tuan besar, ia sudah kembali bersama teman-temannya yang lain.
"Kenapa nggak ikut menyambut?" katanya terlihat heran melihatku tetap di ruangan.
Aku gugup harus menjawab apa, setahu mereka, semua orang harus ikut menyambut kedatangan Tuan besar tanpa terkecuali dan tanpa alasan.
"Sa-saya disuruh Kak Jihan, katanya gak usah ikut." Aku merasa sangat polos membocorkan hal ini pada pelayan. Ah, entahlah. Aku mulai kehilangan akal sekarang. "Apa Tuan besar akan kesini?"
"Nggak tau," jawab pelayan cepat, "Tuan besar tadi ke kamar utama dengan Jihan."
Aku tahu Tuan besar menggandeng Kak Jihan saat masuk ruangan, tapi aku tidak tahu kalau mereka akan ke kamar utama.
Tanpa banyak tanya lagi pada pelayan, aku segera berlari menuju kamar utama. Beruntung, belum ada bodyguard yang ikut ke lantai dua, karena peraturannya di sini, para laki-laki harus berjaga di bawah--lantai satu sebelum datang perintah dari bos untuk naik ke lantai atas.
Aku tahu yang kulakukan ini tidak sopan, tetapi aku penasaran apa yang Kak Jihan bahas dengan Tuan besar di kamar utama. Sekarang aku tahu kalau Tuan besar begitu dekat dengan Kak Jihan, aku masih mengingat betapa lembutnya Tuan besar mencium punggung tangan Kak Jihan.
"Lama sekali kita tidak bertemu."
"Ya, Tuanku." Suara Kak Jihan sangat lembut dan penuh hormat.
Lalu, aku tidak mendengar apapun lagi dalam waktu beberapa menit. Hingga aku kebingungan kenapa tidak ada pembahasan di antara mereka?
"Oh, Tuan ...." Kak Jihan melenguh, suaranya berubah serak dan terdengar manja.
Awalnya aku masih belum mengerti, tapi berulangkali kudengar suara-suara aneh mereka, aku jadi ingat sesuatu.
Bodoh! seharusnya aku tidak berada di sini sekarang.
Aku kembali ke ruanganku dengan perasaan tak menentu. Rasa takut, aneh, bingung, semuanya melebur jadi satu.
"Suatu saat, nanti kamu bakal tahu," kata Kak Jihan waktu itu. Inikah yang ia maksud? Bahwa dia, wanita simpanan Tuan besar? Atau ... wanita pelampiasan bos mafia terkutuk itu? Ah, aku tidak tahu dan seharusnya memang tidak akan pernah tahu.
Seorang bos, bebas memilih wanita yang ia sukai. Berhak menentukan siapa saja yang pantas untuk diajak bersama atau tidak. Bukankah wanita-wanitanya hanya menerima dan pasrah? Kak Jihan memang pernah mengatakan, bisa memuaskan lawan adalah penyelamat menurutnya. Tapi aku masih tidak percaya.
Konyol! Aku jadi benci Kak Jihan, inikah caranya bertahan selama ini? Tidak, aku rasa ... Kak Jihan memang memiliki perasaan yang bukan sekedar paksaan. Di sini, aku dipaksa berpikir dan bertindak layaknya orang dewasa.
Tidak sampai di situ, tiba-tiba para bodyguard Tuan besar naik ke lantai dua, mereka menyebar ke seluruh ruangan. Entah berapa jumlah mereka, aku melihat masing-masing orang memaksa pelayan untuk melayani nafsu b***t mereka.
"Kamu!" teriak lelaki berbibir hitam tebal menguarkan bau alkohol dalam mulutnya, ia menunjuk pelayan yang ada di ruanganku. "Sini!" suruhnya garang.
Pelayanku menatapnya ngeri, tapi ia tidak bisa berbuat banyak. Berteriak minta tolong rasanya percuma.
"Heh, Bocah!" Ia melotot ke arahku, "Cantik juga kamu."
Aku langsung berlari menjauh sebelum laki-laki itu berubah pikiran, satu-satunya orang yang bisa membantuku adalah Kak Jihan. Terseok aku kembali menuju kamar utama. Sayangnya, di pintu ruangan masuk ke kamar utama sudah berdiri seorang bodyguard berotot besar penuh tato menghalangiku.
"Mau ke mana, lo?" teriaknya keras.
"Saya mau ketemu Kak Jihan, Om."
Bodyguard itu terbahak mendengar ucapanku. "Jangan ada yang ganggu, bos lagi santap siang!" katanya sambil memainkan ujung lidah di bibir dan matanya menatapku lekat. Bulu kudukku meremang. Betapa mengerikannya orang ini.
"Cantik juga lo, kesempatan nih!" Hidungnya kembang kempis terlihat sangat bernafsu padaku.
"Om, jangan Om, saya mohon!"
"Halah, sok nggak mau lo!" Tangan kekarnya berusaha menyambarku dengan kasar, cepat aku menghindari cengkeraman tangannya.
"Sini lo, bocah!"
"Kak Jihaaan!" teriakku sebelum kedua tanganku berhasil ia gapai. Aku meronta-ronta, berteriak dengan keras minta tolong.
"Kak Jihan tolooonggg! Kakak tolong, Kak!" Aku masih cukup bertenaga berteriak dan meronta-ronta.
Beberapa laki-laki yang melihatku dibekap oleh bodyguard bertenaga besi ini tertawa riang.
Tubuhku terempas ke lantai. Lemas. Dengan cepat, ia membuka pakaiannya dan ....
"KAK JIHAAANNN!!!" Aku berteriak sekali lagi, berharap Kak Jihan mendengar suaraku. Aku tidak boleh pasrah. Tidak boleh!
Tiba-tiba, seorang bodyguard yang lain datang, dia seperti penasaran untuk melihatku lebih dekat, entah apa yang membuatnya seolah ingin mengenaliku-- membuat bodyguard yang sejak tadi hendak menggagahiku merasa terganggu.
"Rania?" desisnya tak percaya saat melihatku lebih dekat. Bukan hanya dia, aku pun tak kalah terkejut.
"Om Deri?!"