Bab. 3

1322 Words
  Aku menatap ke arah orang tersebut, instingku cukup kuat kalau orang itu terus memperhatikanku diam-diam. Sayangnya, dia pura-pura sibuk melempar pandangan ke tempat lain. Begitu seterusnya sampai aku selesai makan.   Saat pengunjung mulai sepi, aku segera membantu ibu warung mencuci piring yang lumayan banyak. Karena sudah terbiasa di dapur, aku tidak merasa kesulitan tuk sekedar mencuci piring kotor.   "Cekatan juga kamu, Dek. Bersih dan langsung rapi." Ibu warung tersenyum puas melihat hasil kerjaku. Sesaat, dia terpaku saat melihat kakiku.   "Kakimu kenapa, yo?" Dia bertanya dengan kening mengerut.   Aku kesulitan menjelaskan, harus dimulai dari mana. Berbohong lagi? Aku sudah sering berbohong demi menyelamatkan diri. Tapi terserahlah.   "Sandalku putus, Bu. Jadi ... tadi harus jalan kaki. Nggak apa-apa kok, Bu. Sudah biasa." Ya, aku harus melakukan kebohongan lainnya. Tetapi aku janji, suatu saat aku akan jujur untuk semuanya. Entah kapan.   Mimik muka ibu warung berubah, ia menatapku kasihan sepertinya, dan itu membuatku tidak nyaman. Aku tidak terlalu suka dikasihani walau keadaanku memang membuat mata-mata menatap iba.   Selesai mencuci piring, ibu warung mengajakku mengobrol, dia bertanya banyak hal tentang kehidupanku. Di mana rumahku, dan dengan siapa aku tinggal. Meskipun baru kenal, aku rasa ibu warung sangat peduli dan perhatian.   Tidak banyak yang kuceritakan. Aku hanya mengatakan bahwa aku seorang gelandangan sejak orangtuaku meninggal. Hanya itu.   "Wess, kamu tinggal sama ibu saja, yo. Daripada keluyuran ndak jelas, masih mending bantu ibu jualan nasi. Iya, toh? Anak secantik kamu kalau hidup di jalanan ya banyak yang iseng, bisa-bisa ditangkep trus dijual ke luar negeri. Serem." Tangannya menepuk bahuku pelan, dan melanjutkan ucapannya, "Panggil saya Bu Darmi, semua orang di sekitar sini yo ngenali saya, Ibu Darmi."   Aku tersenyum lebar, sungguh bahagianya bisa bertemu Bu Darmi hari ini. Setidaknya, aku punya tempat tinggal dan pekerjaan. Tidak ada lagi keinginan di hati untuk kembali ke rumah Tante Ratih, mungkin, suatu hari aku akan menemui Tante.   "Terima kasih, ya, Bu. Ibu sangat baik sama saya." Antara sangat-sangat terharu sampai air mata kembali menggenang.   Bu Darmi terkekeh. "Anggap saja saya ini Mbokmu, saya memang dari dulu kepingin punya anak perempuan. Tapi dapet e anak lanang, cuma siji tok. Ndak bisa hamil lagi. Tuh, dia! namanya Junaidi. Tapi suka dipanggil Junet sama kancane, mbuh ngapa iso dipanggil nama kae." Kini Bu Darmi benar-benar tertawa lepas. Sementara aku, mencari sosok yang Bu Darmi tunjuk barusan. Anak laki-lakinya yang bernama Junaidi.   Kedua mataku membesar saat melihat siapa yang Bu Darmi maksud. Seorang laki-laki yang sejak tadi mencuri pandang saat aku makan. Aku hampir melupakan keberadaannya yang sejak tadi duduk di ujung bangku panjang depan etalase. Satu tangannya memegang ponsel dan kedua telinganya terpasang aerphone.   "Dia itu baru cerai sama istrinya. Mbuh masalah e opo. Orang jaman sekarang ini mudah banget emosi. Ibu ndak mau ikut campur masalahnya anak, tapi yang ibu tahu, bojone si Junet itu matre. Ngambek terus karena suami penghasilan sedikit. Yo wajar, wong si Junet kerjanya kuli bangunan. Kalau libur kerja si Junet ya nongkrong di warung." Bu Darmi bercerita tanpa ditanya, seakan dia memang butuh teman ngobrol. Padahal dia tidak sadar kalau aku masih di bawah umur, masih terlalu rumit untuk memahami persoalan rumah tangga.   Suami Bu Darmi sudah lama tiada saat Junet tamat SMP. Demi menyambung hidup, akhirnya ia membawa si anak merantau ke Jakarta.   "Hidup di Jakarta itu untung-untungan. Banyak yang merantau tapi gak punya kerjaan jadi gembel. Ada yang kerja tapi serabutan. Orang kaya, ya makin kaya. Orang miskin kalau nda ada bakat yo susah. Ujung-ujungnya nguli. Bersyukur ibu iso masak, bisa jualan. Alhamdulillah sekarang sudah ndak melarat seperti dulu."   "Anak wedok, harus kuat. Kalau bisa jangan ngandelin suami teros. Sewaktu-waktu suami pergi, atau ditinggal mati yo tetap bisa menjalani hidup. Iya, toh?"lanjut Bu Darmi penuh semangat.   "Iya, Bu."   Aku menelan ludah, di balik kesederhanaan Bu Darmi, ternyata banyak pelajaran hidup yang ia jalani. Dia wanita kuat dan tangguh, benar apa yang dikatakannya, wanita tidak boleh mengandalkan suami. Aku jadi ingat Tante Ratih, apa itu pula alasan Tante masih bertahan mencari penghasilan walau dipandang tidak baik. Aku juga ingat orangtuaku saat mereka masih ada. Ibu tetap menerima orderan kue dari para tetangga meski dibayar murah, walau sedikit tetapi berkah kata ibu, karena penghasilan bapak sebagai petani   tidak bisa menjamin terus berhasil. Ada kalanya gagal panen dan bapak mengalami kerugian.   "Yowess, mending kamu istirahat dulu di rumah. Rumah ibu ndak jauh dari warung. Kamu bisa bersih-bersih dan ganti baju. Nanti Ibu suruh Junet anterin kamu, ya." Bu Darmi menyuruhku pulang ke rumahnya, tentu saja aku merasa takut saat ia mengatakan Junet lah yang akan mengantar.   "Junet! Ki anterin si ... Nama kamu sapa, ya? Ngobrol ngalur ngidul sampe lali takon. Hahaha."   "Rania, Bu."   "Rania? Uapik yo, sesuai sama orangnya, ayu," puji Bu Darmi, "Net, susah nemen sih dipanggil-panggil ndak denger. Kie lho anter si Rania pulang. Sekarang dia jadi karyawane aku."   Junet segera mengangkat wajah saat aerphone-nya dilepas. Ia melihatku sekilas dan terlihat seakan tidak percaya apa yang ibunya katakan.   "Karyawan?" Junet mengernyitkan dahi.   "Iyo, udah buruan!" Bu Darmi rada kesal.   Tanpa banyak tanya lagi, Junet segera meraih kunci motor dan memberi kode padaku supaya mengikutinya. Bu Darmi berpesan padaku, aku boleh melakukan apa saja di rumahnya layak rumahku sendiri. Aku hanya mengangguk kecil dan mengucap terima kasih.   Aku boncengan sama Junet menuju rumah Bu Darmi, agak gugup dan merasa tidak nyaman.   "Peluk aja gapapa, biar nggak jatoh," kata Junet dengan mudahnya, bibirnya menyeringai tidak sopan saat kulihat wajahnya dari belakang melalui kaca spion.     Kami sampai di rumah Bu Darmi. Tentu saja aku tidak memeluk pinggang laki-laki yang memboncengiku itu. Benar kata Bu Darmi, lokasi rumah dengan warung cukup dekat. Kalau pakai motor, lima menit sudah sampai.   "Kamu serius mau jadi karyawan ibu saya?" tanya Junet sembari membuka gembok pintu rumah Bu Darmi. Aku yang berdiri tidak jauh darinya mengangguk pelan.   "Daripada jualan nasi, mending ikut saya jualan yang lain. Saya jamin kamu bakal suka dan yang pasti untungnya banyak." Junet menawarkan pekerjaan padaku. Agak aneh memang, bukankah seharusnya dia senang Bu Darmi punya karyawan yang bisa bantu jualan? Karena penasaran, aku memberanikan diri untuk bertanya.   "Memangnya jualan apa, Om?"   "Jangan panggil Om, dong. Panggil aja saya Abang atau Bang Junet. Memangnya saya Om-nya kamu!" semprot Bang Junet sewot karena aku memanggilnya dengan sebutan 'Om'.   Pintu sudah terbuka lebar, aku mengikuti Bang Junet masuk ke rumah. Rumah Bu Darmi tampak rapi dan bersih, tatanan perabot pun tertata rapi. Aku langsung ingat suasana di warteg, pantas saja ramai pembeli, Bu Darmi ternyata pembersih.   Bang Junet duduk di kursi rotan berposisi menghadap jendela yang masih tertutup rapat. Menyulut sepuntung rokok dan mulai menikmati sensasinya.   "Saya sebut juga kamu nggak bakal tau, Rania. Kalau mau, besok bisa langsung ikut saya aja. Ntar ada yang ajarin kamu di sana," jelas Bang Junet, kemudian menghisap rokok dalam-dalam.   Asap rokok mengepul dan menyebar dalam ruangan, membuatku yang duduk di seberangnya jadi batuk-batuk.   "Nanti ... kalau kamu sudah kerja sama saya, kamu nggak usah pusing mikirin pakaian, tas, sandal, alat make-up. Semuanya saya yang tanggung. Asal, kamu mau dulu. Banyak kok gadis seusia kamu mau kerja sama saya."   Lagi lagi aku hanya bisa menyimak penjelasan dari Bang Junet, dia begitu bersemangat mempromosikan pekerjaannya.   Kedua matanya menyipit melihat ke arahku. "Rania, saya janji. Kalo kamu mau, saya bakal kasih hadiah buat kamu. Sebenarnya kamu cantik banget lho, muka blasteran begitu. Sayang aja terlalu kurus."   Blasteran? Bang Junet orang yang kesekian ngomongin muka aku blasteran.  Sewaktu SD, bahkan aku sering dipanggil bule. Apa karena warna rambutku yang kecoklatan atau hidung mancungku, mata besar dengan bulu mata lentik dan panjang?   "Saya cabut dulu lah, besok saya ke sini lagi. Kata Mbok, kamu harus bersih-bersih dan istirahat." Bang Junet mematikan tunggul rokok. Kemudian melangkah keluar rumah. Ia segera mengendarai motornya dan pergi tanpa mengatakan apapun lagi.   Aku bersyukur Bang Junet tidak melakukan hal yang membuatku takut. Aku perhatikan, sikapnya sedikit santai. Berbeda dengan karakter Om Deri yang selalu berkata dan bertindak kasar. Semoga saja anak laki-laki Bu Darmi sebaik ibunya walau di motor tadi aku sempat berpikir buruk tentangnya.          
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD