Rumah Bu Darmi memiliki dua kamar tidur, dan satu kamar mandi. Ruang tamu terhubung dengan ruang santai untuk menonton TV. Lalu dapur tanpa pintu belakang. Sederhana, tapi nyaman. Tidak terlalu banyak perabot atau pernak pernik yang menghiasi rumah. Terkesan polosan. Seperti rumah ibu dan bapakku dulu. Sayang, rumah itu sudah dijual oleh saudara-saudara bapak.
Sehabis mandi, aku masih memakai baju yang kukenakan. Rasanya tidak sopan kalau aku harus buka-buka lemari Bu Darmi walaupun dia sendiri sudah mempersilakan. Aku takut, takut untuk bertindak bodoh dan memalukan. Bahkan di rumah Tante Ratih pun, aku tak pernah mengusik barang-barang milik Tante.
Kurebahkan tubuh di atas karpet tebal di depan TV. Awalnya aku ingin nonton, tapi aku sudah sangat lelah dan ngantuk.
***
Aku tidak tahu sudah berapa lama aku tertidur di depan TV. Saat membuka mata, kulihat Bu Darmi baru selesai mandi. Wajahnya tampak segar dengan senyum mengembang saat melihatku sudah bangun dan mengambil posisi duduk. Kulihat jam di dinding dan ternyata waktu sudah menunjukkan pukul 8 malam. Artinya, aku sudah tidur selama 5 jam?
"Kok bajunya ndak ganti?" tanyanya, "ini, ganti dulu. Ini bukan baju saya, tapi baju mantu saya dulu waktu pernah tinggal di sini. Sekarang dia sudah pergi, ndak juga peduli lagi." Bu Darmi menyodorkan pakaian yang masih terlipat rapi.
"Makasih, Bu." Aku segera mengambilnya, lalu pamit ke kamar untuk ganti baju. Memang agak kebesaran, mungkin karena tubuhku terlalu kurus.
Tidak lama, aku kembali bergabung dengan Bu Darmi yang kini tengah asik nonton TV.
"Rania, boleh saya bicara?" tanya Bu Darmi terdengar serius. Ia mengecilkan volume TV sampai di angka 5.
Aku menggeser duduk agar lebih dekat. "Boleh, Bu."
Seketika Bu Darmi berkaca-kaca, dengan nada berat dia berucap, "Saya ... sebenarnya kepingin kamu tinggal sama saya, tapi ... setelah saya pikir-pikir, kok saya jadi kasihan. Harusnya kamu ini kan belajar, main, seneng-seneng sama kanca-kancamu." Air mata Bu Darmi kini sudah luruh, cepat-cepat dia lap dengan ujung dasternya.
"Dulu ... seandainya saya punya anak perempuan, dalam ati yo kepingin dimanja. Di sekolahkan tinggi-tinggi. Jadi, saya kepikiran mau daftarkan kamu ke panti saja, biar bisa belajar di sana. Siapa tahu bisa sekolah sing bener trus jadi wong sukses. Wong sugi."
Setiap ibu, pasti menginginkan yang terbaik untuk anaknya. Begitupun Bu Darmi, walaupun aku bukan anak yang ia lahirkan dari rahimnya. Sejak awal, aku sudah merasakan kepedulian dan ketulusan Bu Darmi terhadapku. Bocah yang baru ia kenal.
Tangan Bu Darmi menggenggam tanganku erat. Ada kehangat menjalar sampai ke dalam sini; hati. Aku seperti memiliki ibu kembali. Tanpa sadar, aku pun ikut menangis haru. Aku rindu, rindu memdengar petuah dari orangtua, rindu akan sentuhan lembut seorang ibu.
"Kalau saya mau cari karyawan, banyak sing mau. Ibu-ibu rumah tangga pengangguran akeh. Siap bantu kapan saya mau. Besok, saya ajak kamu ke panti, ya, Cah ayu."
Aku mengangguk, dan mencium punggung tangan Bu Darmi. "Terima kasih, Bu." Hanya kalimat itu yang bisa kuucap, meski ribuan kata ingin kuungkap. Jangankan belajar di panti, bisa bantu Bu Darmi di warungnya saja aku sudah merasa senang.
Kami tenggelam dalam hening. Bu Darmi membelai rambutku yang panjang bergelombang. Lalu, ia bilang, rambutku sangat indah. Tidak luput berkomentar seperti anaknya yang mengatakan wajahku kebule-bulean.
"Pesan saya, nanti kalau kamu tinggal di panti, harus sabar dan kuat yo, Cah ayu. Ndak ada tempat tinggal yang enak selain rumah sendiri. Harus gigih, sapa lagi yang menguatkan selain diri sendiri. Iya, toh?"
"Iya, Bu. Tapi ... apa nanti setelah tinggal di panti saya masih bisa bertemu ibu?"
"Yo, iso tenan. Ada pengurus panti yang saya kenal baik, makanya tadi pas beberes warung saya keinget dia dan juga inget kamu ini."
"Orangnya baik nggak, Bu?" Aku takut kalau-kalau pengurus panti bersikap galak dan kasar.
Bu Darmi tertawa mendengar pertanyaanku, dia mulai merebahkan badannya dan menggeliat nikmat. Mungkin duduk terlalu lama membuat badan Bu Darmi pegal, biasanya orangtua tidak tahan duduk atau berdiri terlalu lama. Sama seperti orangtuaku dulu.
"Baik dan jahat itu dua sisi yang ada pada setiap manusia, Rania. Saya memang ndak sekolah, bukan orang terpelajar. Tapi ibu banyak belajar dari perjalanan hidup. Kenal banyak orang, apalagi pas merantau di kota ini. Macem-macem pokok e."
"Tapi kenapa ada orang baik trus bisa jadi jahat, Bu?"
"Biasane, yo. Wong berbuat jahat itu karena ada kesempatan. Atau memang sifat jahatnya itu lebih kuat," jelas Bu Darmi dengan nada suara mulai melemah, matanya pun mengerjap-ngerjap.
"Oh, gitu ya, Bu." Aku menanggapi, "Ya, sudah.Tidur, ya pindah ke kamar aja, kayaknya udah ngantuk banget. Hihi."
"Ibu tidur di sini aja, lebih adem." Bu Darmi tersenyum lembut, lalu menguap berkali-kali. Akhirnya dia tertidur saat kuusap-usap punggung tangannya. Tangan yang tidak pernah lelah 'tuk mencari nafkah.
Perutku kembali terasa lapar, tetapi kutahan. Aku tidak berniat untuk mencari makanan di dapur. Ingin kembali tidur tapi aku masih belum mengantuk kembali.
Perlahan aku keluar rumah, ingin menikmati langit malam sambil duduk di teras.
Langit malam di atas sana sangat bersinar dan memanjakan mata. Bulan menggantung indah, dan gemintang bernunjukkan kerlipnya. Cantik.
Di lingkungan ini, aku perhatikan tidak sesepi lingkungan tempat tinggal Tante Ratih, padahal di sana pemukiman padat penduduk. Di sini, banyak orang-orang berlalu lalang baik jalan kaki atau berkendaraan. Suara-suara anak kecil, terasa hidup dan hangat. Seperti normalnya hidup di sebuah perkampungan yang ramai. Aku pikir, kebanyakan anggota keluarga setiap rumah itu lengkap. Ibu, bapak, dan anak-anak. Jangan tanyakan penghuni rumah-rumah kumuh di daerah Tante Ratih, orang-orang yang tinggal di sana memang rata-rata para pekerja lajang yang malam dijadikan siang, siang dijadikan malam. Tante Ratih menjuluki kampung itu kampung 'kupu-kupu malam'. Aku tidak terlalu paham soal itu walau tanteku sendiri salah satu dari mereka.
Angin malam mulai terasa dingin. Saat kakiku akan melangkah masuk ke rumah, tiba-tiba seseorang memanggilku dari rumah sebelah. Teras rumah Bu Darmi bersisian sangat dekat dengan teras tetangga. Tetapi sejak tadi aku tidak menyadari orang itu juga tengah duduk di teras menatap langit malam. Mungkin karena lampu terasnya mati jadi ...
"Hei, kamu siapa?"
Aku terkejut karena yang menyapa ternyata seorang laki-laki. Kucermati nada suaranya, terdengar masih berusia muda. Sayangnya, karena cahaya temaram aku tidak begitu jelas melihat wajahnya.
"Kamu siapa?" Bukannya menjawab aku malah balik bertanya.
"Kenalin, aku Aldo. Maaf, tadi aku liat kamu duduk sendirian di situ." Dia dengan ramah mengenalkan diri, dan jujur mengatakan diam-diam memperhatikanku. Aku hanya tersenyum kecil.
"Nggak apa kok. Salam kenal, aku Rania."
"Cucunya Bu Darmi?" tanyanya ingin tahun.
Aku bingung harus jawab apa, cucu? Ah, lebih baik aku 'iyakan' saja.
"I-iya." Susah payah aku menjawab agar tidak ketahuan sedang berbohong.
Laki-laki itu terdiam, lalu dalam hitungan detik ia melompati dinding teras yang setinggi pinggang.
"Hap!" desisnya, lalu menjejakkan kaki di teras tempatku berdiri.