Tenggorokanku mulai terasa kering dengan napas tersengal-sengal. Entah sudah berapa jauh aku berlari tanpa alas kaki, menyusuri gang gang sempit di pemukiman padat penduduk.
Sepanjang jalan dan beberapa kali melewati belokan, hidungku terus mencium bau busuk. Aku tahu, banyak pemuda iseng kencing sembarangan entah di tembok rumah atau di balik pohon. Ditambah kotoran kucing liar dan anjing jalanan. Tak heran jika pemukiman di sini terkenal jorok, kerap juga kusaksikan dengan mata kepala sendiri bagaimana warga membuang sampah sembarangan. Got saluran air dipenuhi sampah juga lalat hijau bertebaran, bila angin malam berembus kencang seketika menguar aroma memualkan.
Dadaku ikut terasa sesak dan bibir meringis menahan rasa sakit di telapak kaki. Kerikil-kerikil kasar sudah banyak melukai kulitnya hingga terasa perih.
"Yang kuat Rania, yang kuat." Aku bergumam menyemangati diri sendiri, berbisik seakan seseorang datang memberi kekuatan.
Malam ini adalah malam terburuk setelah hampir tiga tahun aku tinggal bersama Tante Ratih. Selama ini suaminya tidak pernah mengusikku, tidak juga berminat untuk menatap tubuhku. Entah setan apa yang sudah merasuki Om Deri sampai ia nekat mendobrak pintu kamar dan ingin menerkamku dengan ganas.
Ah, air mata kembali meleleh. Apa yang terjadi sekiranya aku masih meringkuk di sudut kamar tanpa sempat melarikan diri. Membayangkannya saja sudah membuat tungkai kaki lemas tak berdaya.
"Heh, bocah!" bentak seorang pemuda saat berpapasan denganku. Bentakannya membuatku terkejut dan menatapnya takut-takut. Pemuda berjaket kulit itu tidak sendiri, seorang gadis dengan pakaian seksi menggelayut manja di sampingnya. Mereka berjalan sedikit terhuyung-huyung.
"I, iya, Om." Terbata aku menimpali, aku takut kalau tidak disahuti mereka akan marah.
"Bang, kayaknya gue kenal sama ini anak." Gadis itu menatapku lebih dekat, jelas dia tengah memeriksa wajah demi mengenaliku lebih saksama.
"Siapa memang bocah ini, Yank," tanya pemuda itu, mulutnya bau alkohol membuat perutku mendadak mual.
"Lo ponakannya Ratih, kan? Siapa ya nama lo? Gue lupa."
Mendengar gadis itu menyebut Tante Ratih, gedub jantungku kembali bergemuruh. Aku tidak mau menjawab pertanyaannya, kalau jujur, bisa-bisa aku diajak kembali pulang ke rumah.
"Heh, bocah. Kalo ada yang nanya itu dijawab!" bentak pemuda itu sangar, aku tahu mereka menunggu jawaban dariku.
"Ma-maaf, Om. Aku nggak kenal siapa Ratih. Nama saya Rere. Saya pamit permisi ya, Om, Tante."
Saatnya ambil langkah seribu. Setelah menjawab dengan perasaan takut, aku lari secepat angin meninggalkan pemuda dan pacarnya itu. Tidak peduli mereka pacaran atau suami istri, yang jelas aku terhindar dari berbagai tanya dari keduanya. Siapa yang peduli jika aku dimangsa Om Deri, bahkan Tante Ratih sekalipun kurasa tidak akan berdaya melawan suaminya sendiri.
"Woiii! Jangan kabur lo bocah!!" Suara pemuda itu melengking saat melihatku pontang panting lari bak dikejar setan. Lagi-lagi aku beruntung atas minimnya penerangan di daerah ini sampai seseorang akan kesulitan melihat dengan jelas wajah orang lain.
Tidak peduli betapa sakitnya telapak kakiku, sampai memar kebiruan. Beberapa titik mengeluarkan darah akibat goresan kerikil tajam.
'Tidak apa Rania, kamu akan baik-baik saja' aku terus membatin, tidak ada penghibur yang hebat selain diri sendiri. Tidak ada kekuatan paling dahsyat kecuali diri sendiri pula.
Mataku berbinar saat melihat jalan raya di hadapan. Aku benar-benar sudah keluar dari pemukiman jorok itu dan selamat dari kebiadaban Om Deri. Dia tidak akan mau mencariku sampai sejauh ini. Untuk apa pula Om mengejarku sementara istrinya akan kembali esok pagi jika ia sedikit lebih sabar untuk melampiaskan nafsunya.
Usiaku sekarang 14 tahun, seandainya melanjutkan sekolah, mungkin sudah duduk di kelas 2 SMP. Di usiaku saat ini, sedikit banyaknya aku sudah tahu apa itu hubungan seksual, kekerasan seksual, perundungan dan penganiayaan. Aku sudah banyak membaca buku dan majalah-majalah bekas. Sering juga Tante Ratih membawakanku buku bacaan dewasa atau majalah dewasa entah dari mana ia dapatkan. Aku tidak tertarik dengan s*x bebas, tapi aku tertarik bagaimana cara seorang gadis mempertahankan kesuciannya. Hanya saja, di depan Om Deri aku mengaku bodoh belum bisa membaca dan menulis meski terdengar mustahil baginya.
Mungkin, aku akan jadi gembel jalanan mulai sekarang. Kakiku terus berjalan menyusuri tepi jalan raya. Kadang, aku duduk di kursi taman 'tuk hilangkan lelah. Menatap keramaian lalu lintas seakan tak ada hentinya, kemudian menyaksikan hamparan langit dengan keindahannya. Bulan, gemintang, dan kilau cahayanya.
Tuhan, apa mungkin pun aku bisa bersinar seperti bintang-bintang?
***
Aku membuka mata saat suara-suara semakin terdengar ramai, serta sinar matahari menyengat kulit. Rupanya semalam aku tertidur di kursi taman. Sudah tidak kurasakan lagi dinginnya angin malam membelai tubuhku, mungkin karena aku terlalu lelah untuk merasakan itu semua.
Bangun tidur, perutku terasa melilit. Cacing perut sudah minta jatah. Tetapi, aku bingung mau makan apa, uang saja aku tak punya untuk membeli sepotong roti atau bungkus nasi di warung pinggir jalan.
Aku bangkit dari kursi taman, dan segera menyeberang jalan menghampiri warung makan di seberang sana. Kulihat, warung makan ini cukup ramai pembeli, membantu mencuci piring demi sebungkus nasi aku pikir itu ide bagus di banding harus mengemis dengan mimik muka meminta belas kasihan.
"Bungkus opo mangan di sini, Dek?" tanya ibu warung dengan logat jawanya yang kental, ia menatapku sekilas lalu kembali sibuk melayani pembeli yang datang silih berganti.
Aku menelan ludah yang terasa kering. Apa aku bisa bekerja dengan perut melilit serta rasa pusing ini?
"Saya mau makan, Bu. Tapi nggak punya uang." Sedikit rasa malu dan tak enak hati aku mengucapkannya, jelas saja perkataanku mengundang simpati para pengunjung lain. Beberapa pasang mata mulai meneliti penampilanku.
Ibu warung terdiam sesaat, tampak ragu ingin mengatakan apa.
"Nanti ... selesai makan, saya akan bantu ibu cuci piring atau bersih-bersih. Boleh nggak, Bu?" Kutawarkan jasa tenagaku agar si ibu segera menyetujui.
"Yoo, rapopo lah, gampang. Sing penting kamu mangan sek yo. Pucet wess mukamu itu lho. Melas aku."
Aku tidak terlalu paham bahasa Jawa, tetapi sedikit bisa memahami ucapan si ibu, wanita berbadan tambun itu masih merasa iba melihatku yang mungkin sangat terlihat pucat. Tangan ibu warung lincah menyiapkan makan untukku, dalam sekejap sepiring nasi beserta lauk pauknya sudah tersedia di hadapanku.
Makan nasi warteg memang paling nikmat. Dulu, ibu dan bapakku juga penggemar masakan warteg. Selain murah, pilihan menunya juga banyak. Tinggal pilih, warteg mana yang jadi favorit.
Seperti singa kelaparan, kulahap sepiring nasi dengan nikmat. Sesekali mengelap keringat di kening dengan tisu, dan meneguk teh tawar hangat. Aku hampir tidak menyadari, sepasang mata terus menatap ke arahku.