"Di sana gelap. Ntar kamu gak liat muka gantengku." Dia terbahak saat mengucapkannya di depanku. Aku yang sejak tadi bengong melihatnya nekat melompati dinding teras seketika ikut tertawa. Mana mungkin ada orang senekat dan sekonyol itu.
Karena takut mengganggu Bu Darmi yang sedang beristirahat, aku mengatakan pada Aldo untuk tidak terlalu berisik. Kami akhirnya duduk bersama di teras, menikmati langit terang sambil bercerita. Sebenarnya, Aldo lah yang banyak bercerita, aku hanya pendengar dan sesekali menimpali. Kadang, hanya bicara jika ia bertanya.
Aldo bercerita tentang kesehariannya yang membosankan. Sekolah, belajar, mengerjakan PR, ikut kursus, dan banyak lagi kegiatan-kegiatan belajar lainnya yang ia sangat bosan menjalani. Dia ingin bebas dari itu semua, dan tidak sabar ingin segera tamat sekolah. Baginya, sekolah adalah tempat paling menjemukan dan melelahkan.
Dia juga menceritakan teman-teman dekatnya. Doni, anak seorang pedagang ikan yang memiliki hobi main bola. Ada lagi Riki, teman yang sukanya nyontek saat ulangan.
"Menurutmu, enak mana, belajar atau main?" tanyanya serius. "Oya, kamu kelas berapa sekarang?"
Dua pertanyaan yang harus kujawab sekaligus. Tentu saja jawabanku membuatnya nyaris tak percaya.
"Aku suka belajar, belajar apa aja. Karena aku nggak sekolah."
"Nggak sekolah?"
"Ya, tamat SD, aku putus sekolah." Kali ini aku bicara jujur meskipun terasa menyesakkan. Aldo boleh saja bercerita tentang betapa jenuhnya di sekolah, tapi aku begitu sangat merindukan bisa duduk dan belajar di kelas bersama teman-teman.
"Maaf," kata Aldo penuh sesal.
"Nggak apa kok."
"Sekarang kamu tinggal sama nenekmu?" tanyanya lagi.
Aku menggeleng, tapi bibirku mengembang. "Nggak, besok aku akan diantar Bu Darmi, eh, maksudku diantar nenek untuk belajar di panti. Mudah-mudahan bisa sekolah lagi di sana." Aku mengatakannya dengan penuh harapan.
Mendengar perkataanku, Aldo menggoda, "Jadi ... ceritanya kamu nggak bisa tidur gegara nggak sabar nungguin besok?"
Kami tertawa bersamaan. Aldo benar. Aku sudah tak sabar menunggu datangnya siang.
"Belajar yang rajin ya, jangan lupain aku juga. Makin cantik. Makin pinter. Jangan pacaran," pesan Aldo, "ntar kalo udah gede, langsung nikah aja sama aku."
Krik ... krik.
"Tau nggak, tadi ... pas aku liat kamu duduk sendiri di sini, aku kayak liat bidadari. Kamu cantik, ditambah ada cahaya sinar bulan terang di atas sana."
Aku masih diam.
"Kok diem aja?"
Aldo menyadari aku tidak merespon setiap ucapannya. Bukan pula aku tidak mengerti. Hanya saja, membahas hubungan antara laki-laki dan perempuan aku belum tertarik. Aku kesulitan memaknai arti cinta, pengorbanan, ketulusan dan kesetiaan. Hidupku tidak sedamai dan sebahagia itu untuk dikisahkan. Tidak pula ingin berangan tinggi tuk bermimpi. Aku hanya ingin, hidup di lingkungan yang bisa membuatku merasa aman. Itu saja.
"Lebih baik, kita nggak ngomongin kayak gitu dulu, ya," pintaku setengah memohon, "aku masih di bawah umur tauk!"
Aldo menggaruk kepalanya yang tidak gatal. "Ya, mangap. Suruh siapa kamu cantik."
"Kan aku perempuan, ya cantik."
"Baru ini aku liat ada yang cantik di keluarga Bu Darmi. Anaknya kan satu, cuma Bang Junet. Itu juga belum punya anak dia. Trus, kamu anaknya siap?"
Deg!
Aldo baru sadar kalau Bu Darmi tidak memiliki cucu dari anaknya yang semata wayang itu. Siapapun pasti mikirnya salah satu orangtuaku adalah orang asing, bukan orang Indonesia.
"Aku udah ngantuk, Kak. Aku masuk ya, kata nenek kan gak boleh tidur malem-malem." Aku beranjak dari duduk. Mencoba mengalihkan pembicaraan, tepatnya menghindari pertanyaan yang aku tidak bisa jawab.
Beruntung, Aldo tidak memaksa, mendengarku memanggilnya 'Kak', dia kembali membuatku terkikik.
"Ya, adek cantik. Selamat istirahat." Aldo ikut berdiri dan melambaikan tangan ke arahku. Lalu cepat-cepat kembali melompat menuju teras rumahnya yang gelap.
Sebelum menutup pintu, kudengar suara benda dihantam dan Aldo meringis kesakit. Kupikir, senjata makan tuan hukuman atas semua gombalannya tadi.
***
"Mbok, mau kemana?" tanya Bang Junet saat melihat kami--Aku dan Bu Darmi--sudah bersiap-siap pergi ke panti pagi ini.
"Mau ke panti sing kae, daftarna si Rania tinggal di sana. Aku yo kasian kalo tak suruh melu dagang."
Bang Junet menatap tajam ke arahku. "Rania, kamu kan udah janji mau ikut saya hari ini. Gimana, sih!"
"Eeh, ikut ning endi, toh? Wong Rania ini kan melu aku. Bukan kamu, Junet," sela Bu Darmi jengkel. Setelah selesai mengunci pintu rumah, Bu Darmi segera menarik tanganku untuk pergi.
"Maaf, Bang. Aku mau belajar ke panti aja. Nggak mau ikut Abang." Aku tidak berani menatap matanya, Bang Junet terlihat gusar saat tau aku mau ke panti.
"Nanti saya bakal jemput kamu Rania. Ngapain coba mau mau tinggal di panti."
"Sembarangan kalau ngomong. Awas kalau ganggu Rania. Memangnya mau kasih kerjo opo, toh? Wong kamu tukang kuli kok ngajakin Rania kerjo," omel Bu Darmi, masih memegangi tanganku.
Aku mengikuti langkah Bu Darmi, diikuti oleh Bang Junet yang mengendarai motornya sangat pelan.
Aku bertanya-tanya, kenapa Bu Darmi tidak tahu pekerjaan yang diceritakan oleh Bang Junet kemarin padaku? Bahkan Bang Junet tidak sekalipun membahas kerjaannya sebagai kuli bangunan? Aku merasa ada yang aneh. Tapi ...
Tiba-tiba Bang Junet menghentikan mesin motor, kulihat ia mengeluarkan ponsel dan menelepon seseorang. Aku tidak bisa mendengar apa yang dikatakannya, karena langkah kami semakin menjauh meninggalkan Bang Junet yang menepikan motornya di sisi jalan.
"Dari sini kita naik angkot cuma sekali. Trus jalan kaki sebentar baru sampai ke panti." Bu Darmi menjelaskan rute perjalanan kami.
"Iya, Bu. Nggak apa-apa," timpalku penuh rasa bahagia.
Aku mengenakan baju dan sandal baru. Bu Darmi juga membelikanku tas ransel kecil. Bu Darmi membeli barang-barang ini sepulang dari jualan kemarin sore. Pulangnya juga tidak langsung memberitahuku, tadi pagi baru ia keluarkan semuanya. Yang paling membuatku haru, Bu Darmi libur buka warung hari ini demi ingin mengantarku ke panti.
"Bagi ibu, kamu saat ini lebih penting dari uang. Ntar juga kalau sudah besar, ya bisa cari uang dengan mudah." Begitu kata Bu Darmi saat memberikan barang-barang baru untukku.
Akhirnya kami sampai di tepi jalan raya untuk menunggu angkot. Seketika Bang Junet datang dengan motor bututnya bersama satu teman yang juga membawa motor.
"Mbok, lama kalau naik angkot. Mending nyong anter we lah. Nanti Rania bonceng Deni." Bang Junet menunjuk temannya.
Bu Darmi mengerutkan dahi, menatap kedua laki-laki yang katanya siap mengantar kami ke panti.
"Nanti turun dari angkot kan jalane lumayan jauh lho, Mbok. Panas. Kasihan Rania," bujuk Bang Junet agar Bu Darmi segera menyetujui.
"Nggak apa-apa kok, Bang. Enak naik angkot aja." Aku menolak. Tapi sayangnya Bu Darmi menaruh percaya sama anaknya itu.
"Wesslah," kata Bu Darmi pada akhirnya, "jangan ngebut-ngebut tapi yo. Wedi aku."
"Sip, Boss." Senyum Bang Junet merekah, dia segera membantu ibunya duduk di motor. Sementara aku mengikuti perintah Bang Junet untuk bonceng di motor temannya, Deni.
"Den, hati-hati, ya." Bang Junet mengedipkan mata, dengan seringainya yang kemarin sempat membuatku takut.
Tidak banyak basa-basi lagi, kedua motor yang membawaku dan Bu Darmi menuju panti langsung meluncur di jalan raya.
Aku merasa ingin terbang, sebuah panti dan harapan. Juga mimpi-mimpi.
Kalau kata Bu Darmi hanya naik angkot sekali, berarti jarak tempuh hanya sebentar. Lagi pulo menggunakan motor tidak butuh waktu lama. Sayangnya, di tengah jalan, Bang Deni menepikan motor di sebuah bengkel.
"Yah, ban motor bocor. Kita ngebengkel dulu bentar, ya. Bis itu beli bensin trus kita lanjut jalan."
"Iya, Bang. Tapi hubungin dulu Bang Junet kalo kita di sini." Aku takut Bu Darmi khawatir melihat motor kami tidak terlihat olehnya.
Bang Deni menenangkanku, "Iya, nanti Abang telpon."