Bab. 6

1242 Words
Mau tak mau aku harus menunggu ban motor diperbaiki di bengkel, bersama Bang Deni. Ban motor kami pecah, harus ganti baru. Tetapi sudah menunggu lama, kulihat motor kami belum dikerjakan oleh pemilik bengkel. Aku mulai kesal dan menanyakannya pada Bang Deni kenapa motor kami didiamkan begitu saja. Tetapi Bang Deni menjawab tunggu giliran, antre, katanya. “Tapi kok motor yang dikerjain itu gak kelar-kelar, Bang? Lama bener.” Aku benar-benar tak sabar. Aku memikirkan Bu Darmi dan Bang Junet, apa mungkin mereka sudah sampai? Kulihat Bang Deni belum juga menghubungi Bang Junet dan ibunya itu. “Sabar ya, Neng. Nanti kalau motor yang duluan itu selesai, baru motor kita yang dikerjakan.” Bang Deni berusaha menenangkanku. “Tapi, Bang. Abang telpon Bang Junet dulu, kita keknya masih lama deh. Aku gak mau Bu Darmi kelamaan nunggu.” Aku mengingatkannya lagi dengan tampang cemberut. Ya, aku tak sabar. Rasanya ingin cepat sampai ke panti asuhan. Sembari menunggu, aku menghayal bagaimana enaknya kembali masuk sekolah. Bisa belajar lagi bersama teman-teman baru, lingkungan baru. Pengalaman baru, semuanya. Kata Bu Darmi, aku memang harusnya meneruskan sekolahku. Belajar dan terus belajar, sayang kalau sampai putus sekolah. Aku setuju, mumpung belum terlambat. Bang Deni, kulihat duduk di kursi sambil menyandarkan kepalanya. Matanya terpejam, entah tidur entah apa. Sedangkan aku masih merangkai masa depan. Tinggal di panti, mungkin akan seru juga. Aku bisa punya banyak teman dan guru-guru di sana. Sinar matahari sudah mulai memancarkan sinarnya. Sudah lebih dari dua jam kami di bengkel ini, motor Bang Deni baru dikerjakan oleh orang bengkel. Duh, payah sekali kerja orang-orang bengkel ini, lelet! Bang Deni terlihat mondar-mandir sambil menggenggam ponsel, seperti menunggu sesuatu. Akhirnya, aku melihatnya seperti menelepon seseorang, kemudian menempel ponsel ke telinga. “Kami masih di bengkel,” katanya, kupikir, dia pasti bicara dengan Bang Junet. “Ya, dia masih sama gua,” kata Bang Deni lagi, ujung matanya terlihat melirik ke arahku. Mendapati aku memperhatikannya, dia melempar senyum padaku. Aku ikut tersenyum meski kesal karena sudah menunggu terlalu lama. Mudah-mudahan saja setelah ini semuanya dilancarkannya. Tapi anehnya, Bang Deni tidak sama sekali menyebut Bu Darmi, panti asuhan atau yayasan yang ingin kudatangi. Bang Deni menjauh sedikit, menjaga jarak padaku. Sekarang aku tak bisa lagi mendengar percakapan Bang Deni di telepon. Tak lama, Bang Deni menyudahi teleponnya. Kemudian dia mendekatiku. “Neng, nanti biar gak kelamaan, kamu ikut mobil temen Abang aja, ya, bentar lagi dia jemput. Kebetulan, katanya mereka mau lewat arah panti sana. Klo nungguin motor, kayaknya masih lama, deh.” Aku mengernyitkan dahi. “Gak ah, aku takut, Bang.” Aku menolak. “Gak apa-apa, itu temen Abang kok. Orangnya baik. Daripada kelamaan nunggu ya, kan? Tuh, liat, bannya baru dibongkar.” Telunjuk Bang Adi mengarah pada motornya yang baru mau diperbaiki. “Gimana, mau, ya?” bujuk Bang Deni. Aku bimbang, iya atau tidak. Namun setelah kupikir-kupikir, memang sebaiknya aku ikut temannya Bang Deni saja. Akhirnya aku menyetujui. “Iya, Bang, gak apa-apa.” Tak lama, benar saja, sebuah mobil berwarna merah mengkilap berhenti di depan bengkel tempat kami menunggum. Tidak ada kaca mobil yang turun, hanya pintunya saja yang dibuka. “Tuh, udah sampai, Rania masuk, ya. Abang sudah bilang tadi untuk nurunin kamu ke panti,” kata Bang Deni sembari menarik tanganku menuju mobil. Sekali lagi aku menatap Bang Deni sebelum masuk. Bang Deni mengangguk kecil. Kulihat wajahnya tampak sedih. Ah, kupikir dia hanya terharu melepasku. “Dah, Bang Deni,” ucapku sebelum akhirnya masuk ke mobil dan menarik pintunya agar menutup rapat. Aku melihat punggung Bang Deni berbalik, dia seperti menahan sesuatu entah apa dalam hatinya. Aku sendiri duduk terpaku, berada di dalam sebuah mobil mewah yang belum pernah aku tumpangi sebelumnya. Aroma wangi yang segar, sejuk, dan membuatku merasa nyaman. Seorang wanita berpakaian seksi, dengan make up tebal duduk di samping sopir. Dia menoleh padaku, lalu memberiku sebotol air mineral. “Kamu pasti haus lama nunggu tadi, nih, minum,” katanya terdengar ramah. Aku sama sekali tidak menaruh curiga padanya. Aku memang haus, tenggorokan terasa kering. Melihat air itu, rasanya tak sabar ingin kutenggak, mengobati rasa hausku. Kusambar botol minuman itu sambil mengucap terima kasih. Dia tersenyum padaku. Kemudian kembali fokus ke depan. Sementara sopir mobil, sejak tadi aku tak mendengar dia bersuara. Fokus menyetir mobil seperti seorang robot. Aaghh, lega. Aku sudah hampir menghabiskan setengah botol minumku. Rasa dahaga seketika terobati. Beberapa menit kemudian, kepalaku terasa berat, mata pun tak kuat membuka. Aku sedikit pusing dan diserang rasa kantuk yang hebat. Setelah itu, aku sama sekali tidak tahu apa-apa lagi. *** Entah sudah berapa lama aku tertidur, atau mungkin saja aku pingsan. Tak tahu lah. Saat aku membuka mata, aku tak lagi berada di mobil, tetapi di sebuah ruangan yang belum pernah kulihat sebelumnya. Sebuah ruangan, yang kupikir kamar panti yang akan menjadi tempat tinggalku. Namun tebakanku salah, saat melihat seseorang dengan pakaian serba hitam berdiri berjaga di depan pintu. Dia sempat melihatku, dan langsung berteriak. “Tuan, gadis itu sudah bangun!” katanya, melalu alat komunikasi yang ada di tangannya. Tuan? Siapa dia? Kepalaku masih terasa pusing. Sedikit berdenyut-denyut. Tubuhku terasa pegal dan berat. Ugh, kenapa aku bisa begini? Kucoba untuk bangkit, tetapi terasa sulit. Kuhela napas panjang lalu pasrah tetap berbaring saja. Kulihat sekeliling ruangan, tak ada jendela yang bisa kulihat waktu. Pagikah, siang, sore, atau malam. Aku sama sekali tak tahu. Hingga kemudian, kudengar suara ketukan langkah seseorang semakin mendekat menuju ruangan tempatku berbaring. Jantungku terasa dipacu kencang, aku takut seseorang akan menyakitiku. “Akhirnya kau sadar juga.” Seseorang memasuki ruangan dengan langkah cepat. Dia mengenakan stelan jas yang rapi. Sangat formal seperti tuan-tuan muda yang kaya raya yang pernah kulihat di majalah atau televisi. Orang seperti itu ternyata benar-benar nyata adanya. Dia menatapku lurus, langkahnya semakin mendekat, membuatku menelan ludah. Apa yang dia inginkan dariku? Wajahnya tampan. Berkulit putih bersih. Mata sipit, hidung mancung dan bibir tipis kemerahan. Postur tubuhnya ideal, dia seperti bukan orang asli Indonesia, tetapi seperti laki-laki Korea. “Rania,” katanya menyebut namaku. “Si-siapa kamu?” Aku terbata, dan berusaha menepis jari tangannya saat dia menyentuh pipiku. “Oh, maaf, saya Liem Xingsheng. Kau bisa memanggil Tuan Liem.” Dia memperkenalkan diri tanpa ekspresi. Tuan Liem Xingsheng? Siapa pula dia ini, aku tak tahu apa-apa. “Apa aku ini babu kamu, harus panggil tuan segala?” ucapku sewot. “Aku harusnya di panti sekarang, ketemu Bu Darmi, kenapa tiba-tiba di sini?” Aku berusaha mengingat kejadian sebelumnya, dan aku mengingatnya dengan cepat. Mobil merah itu .... “Kau sedang tidak di panti, atau di mana pun, Rania. Saat ini kau tengah berada di sebuah kamar markas para mafia. Seseorang sudah menjualmu pada saya.” “Apa?!” Tuan Liem tertawa, dia memasukkan kedua tangannya di saku celana. Sedikit memiringkan wajah dia menatapku seolah iba. “Jangan terkejut. Kau adalah gadis paling beruntung, Rania. Saya tidak akan menyusahkanmu. Namun tugasmu adalah, menuruti semua perintah saya. Ada banya aturan yang harus kamu jalani,” ungkapnya. “Aku gak ngerti apa maksudmu, Tuan!” sergahku. Seenaknya saja dia mau memerintahkan seperti ini. “Nanti kau akan mengerti.” “Aku gak mau di sini, aku mau ke panti!” “Kau akan mendapatkan segalanya di sini, tenanglah. Buat dirimu nyaman.” “Gak mau! Aku gak kenal kalian!” seruku, tapi Tuan Liem masih tak perduli. Dia bersikap santai namun tegas mengingatkanku. “Oh, saya harus pergi sekarang,” katanya, saat melihat jam di pergelangan tangannya. Kemudia dia mendekatiku kembali seraya mengatakan ....
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD