Bab. 7

1347 Words
"Jangan pernah menentang jika ingin selamat. Ingat, kamu sudah saya bayar mahal. Dengan bayaran seorang Rania, saya seharusnya sudah mendapatkan sepuluh gadis seusiamu." Tuan Liem mencondongkan wajahnya ke arahku, sampai wajah kami sangat dekat.   Mataku terpejam kuat-kuat, wajah Tuan Liem hampir menyentuh wajahku.   Hening, tidak ada hal apapun yang terjadi. Saat aku perlahan membuka mata, ternyata tuan Liem sudah tidak ada di hadapanku. Aku melihatnya berjalan cepat-cepat keluar ruangan tanpa menoleh ke arahku.   Huft! Syukurlah tidak terjadi sesuatu yang mengerikan. Tetapi aroma tubuh Tuan Liem masih tertinggal di sini.   Penjaga ruangan melongokkan kepala ke arahku. Kali ini dia melihatku lebih teliti. Mungkin dia penasaran saat mendengar ucapan Tuan Liem tentang harga beliku. "Gadis burik kok mahal!" desisnya cukup jelas kudengar.   Ya, bagaimana tidak kurus dan burik, orang aku hanya gembel jalanan. Aku tidak pernah berhias, lantaran karena aku belum seharusnya berdandan layaknya orang dewasa. Aku tidak banyak makan dan minum vitamin. Minum s**u apalagi. Walaupun dulu masih ada ibu, ibu hanya memberiku s**u kental manis kalenga. Kecuali aku terlahir dari pasangan orang kaya. Ibuku seorang pedagang kue, dan bapak seorang petani sayur.   Walau hidup pas-pasan, ibu dan bapak menyayangiku sepenuh hati. Mereka orangtua yang baik. Saat aku dibully teman-teman, ibu dan bapak selalu membuatku bahagia. "Biarlah apa kata orang, asal cinta ibu dan bapak tak pernah kurang." Bapak selalu berkata seperti itu, membuatku bahagia dan bangga memiliki mereka. Hingga suatu hari aku harus kehilangan keduanya dengan cara yang tidak kuinginkan.   "Rania, ikut saya, ya." Seorang wanita berseragam tiba-tiba datang memerintahku mengikutinya.   "Kamu siapa?" tanyaku merasa takut.   "Udah ikut aja, pake nanya segala. Cepetan!" Suaranya sangat tidak enak didengar. Galak.   "Gak mau." Aku menatapnya gak suka.   "Gak nurut ntar diseret mau?"   "Gak!"   "Heh! Lo bisa bantu seretin bocah keras kepala itu nggak? Gue males ngurusin bocah manja." Wanita bermake-up menor itu melotot ke arah laki-laki ceking depan pintu. Lalu menatapku kesal.   Penjaga itu melihat ke arahku lagi. Dia tampak ragu, tapi akhirnya dia menuruti perintah wanita berseragam itu.   "Gak mauuu!" Aku berusaha melepaskan tangan saat laki-laki itu menarik kencang pergelangan tanganku. "Tolooong!" teriakku sekuat tenaga. Tapi percuma, tidak ada yang mendengar bahkan peduli.   "Ayo! Jangan manja kamu!" hardik penjaga itu memasang tampang yang membuat nyaliku ciut.   "Om, tolong jangan sakiti saya, Om. Saya mohon, sumpah, badan saya lemas." Aku memohon saat kedua tanganku ditarik kuat-kuat. Kakiku terpaksa mengikuti langkah si penjaga dengan sangat lemah.   "Kayaknya dia sakit. Badannya panas," kata penjaga ceking itu pada wanita berseragam. Wanita itu bukannya melunak tapi semakin garang.   "Paksa aja teros. Orang sakit kan belum tentu langsung mati," ketusnya sambil melipat kedua tangan di d**a.   Aku sudah tidak tahan lagi. Kepalaku masih belum pulih dari rasa sakit, perut kosong dan badan lemas. Ingin kembali berteriak tapi tenggorokan sudah sangat kering. Aku ingin pasrah tapi aku pun tak ingin mati. Aku masih ingin hidup, ingin sekolah, ingin bertemu Tante Ratih, Bu Darmi ....   "Seret teros!" Samar kudengar perintah wanita kejam itu. Bodohnya si penjaga menurut saja.   Saking lemasnya, aku sudah tidak tahan menopang tubuh. Badanku terjatuh terhempas ke lantai. Pandanganku buram dan aku tidak mendengar apa-apa lagi selain ucapan sesal si penjaga.   "Sial, bisa mati gua kalo bos marah. Harusnya jangan diseret begini, njiirr!!"   ****      Aku melihat ibu dan bapak menemuiku. Wajah keduanya tidak tampak bahagia. Ibu justru berderai air mata, sedangkan bapak tertunduk dengan mimik sedih.   "Rania." Suara ibu serak. Napasnya tak beraturan. Anehnya lagi, kedua matanya seolah enggan menatapku.   "Bu, ibu kenapa? Kenapa ibu dan bapak sedih?" Aku bertanya tapi mereka tidak menjawab.   "Bu ... apa Rania sudah buat salah? Apa Rania bikin ibu dan bapak kecewa?"   Bapak dan ibu menggeleng bersamaan. Air mata ibu semakin deras. Aku tidak tahan melihatnya, aku ingin menghapus air mata ibu dan memeluknya, tapi ibu menolak. Ibu tidak ingin kusentuh.   "Maafkan bapak dan ibu, Nak. Kamu tidak salah, kami lah yang salah sama kamu, Rania." Suara bapak bergetar, aku bisa merasakan getaran penyesalan yang teramat sangat dalam nada suaranya.   Aku terdiam. Kini ikut menangis melihat ibu. Bukankah seharusnya kami bahagia dalam pertemuan ini? Kenapa semuanya seakan meruntuhkan langit di atas kepalaku.   "Salah ibu dan bapak apa? Rania nggak ngerti. Rania nggak ngerasa dijahatin ibu dan bapak, Rania mau peluk kalian."   "Ibu dan bapak cuma mau minta maaf, Nak."    "Tapi minta maaf apaaa? Rania nggak tau, Pak." Aku benar-benar ingin menjerit sekuat-kuatnya, ada apa dengan orangtuaku?   "Bu," panggilku lemah, "apa ibu nggak rindu?"   Ibu semakin tergugu, begitu kini dengan bapak.   "Rania rindu kalian ...."   Ibu dan bapak mendekat ke arahku, keduanya merangkulku erat. Aku merasa bahagia, sangat bahagia, hingga tubuh kedua orangtuaku lambat-lambat menghilang dalam pelukan. Seperti kabut asap, hilang dalam sekejap.   "Bu," panggilku lemah.   "Pak!"   "Ibu, bapak? Kalian di mana?"   "Ibu!"   Aku berlari kesana kemari mencari ibu, mencari bapak. Keduanya hilang dari pandangan. Aku lelah, napasku tersengal. Ibu dan bapak tidak lagi kutemukan. Hilang ....   "Ibu!   "Bapak!"   "Rania!" panggil seseorang, tapi suaranya sangat jauh.   "Rania!" Dia memanggil lagi, aku merasa suaranya sedikit jelas.   Orang itu memanggilku berkali-kali. Terus. Sampai aku hapal nada suaranya. Dia memanggil namaku. Rania! Rania! Rania! Tak pernah berhenti sampai aku merasa sesak dan ...   Mataku yang rapat pelan-pelan membuka. Tidak ada lagi suara orang memanggil, pun tepukan di pipi setelah susah paya aku membuka kelopak mata agar bisa melihat secara sempurna.   Aku terkejut melihat wajah siapa yang pertama kali kulihat. Dia Tuan Liem. Garis wajahnya tak pernah kulupa, si kaya yang mengayatakan orang yang bertanggung jawab atasku.   "Rania," gumamnya nyaris tak terdengar. Mata elangnya lekat menatap wajahku.   Ini, ini suara yang tadi memanggil-manggilku. Suaranya yang terdengar jauh, lalu samar kudenger jelas.   Aku ingin bersuara tapi dia menahanku. Tangannya sigap mengambil segelas air yang sudah tersedia di atas meja di samping tempatku berbaring dan vitamin berbentuk pil. "Minum." Dia memerintahku.   Dua orang wanita yang sejak tadi berdiri di sampingku yang terbaring lemah segera membantuku duduk. Mereka sangat kecekatan dan terlihat sangat takut pada Tuan Liem.   Setelah meneguk segelas air hingga tandas dan meminum vitamin agar aku kembali berenergi, kuucapkan terima kasih pada Tuan Liem. Aku tak menyangka 'bos' orang-orang jahat ini hati untuk membantuku.   "Kamu jatuh pingsan dan itu karena ulah dua anak buah saya yang t***l!" Tuan Liem kembali meletakkan gelas kosong di atas meja. "Mereka sudah mendapatkan hukumannya," lanjut Tuan Liem sambil menjentikkan jari.   Sebuah pemandangan yang membuatku berteriak histeris. Usiaku baru menginjak 15 tahun bulan depan, sudah diperlihatkan kengerian dan kekerasan. Dua orang laki-laki berbadan kekar penuh tato di seluruh d**a telanjangnya masing-masing membawa nampan berisi kepala.   Satu kepala wanita berseragam yang galak, dan satunya lagi kepalah si penjaga berbadan cungkring. Kepala mereka ditebas sebagai hukuman.   Tubuhku menggigil setelah menyaksikan kengerian di depan mata. Mulutku terkunci, kesulitan tuk bicara. Dua orang algojo itu sudah pergi, kuharap tidak akan pernah lagi melihat pemandangan serupa. Aku bisa mati karena lemas.   "Saya harus pergi. Wanita-wanita di sini akan melayani kamu, Rania. Minta apapun yang kamu mau, asal jangan bertindak bodoh untuk lari dari sini." Tuan Liem menepuk-nepuk jasnya yang licin dan rapi seakan menghilangkan debu di sana. "Makan yang banyak," pesannya sebelum melangkah keluar ruangan dengan sangat gayanya yang elegan.   ***      Aku mandi di dalam kamar mandi yang luas dan menggunakan perlengkapan mandi yang bagus-bagus. Harum sabunnya tahan lama, wangi shampoo-nya pun membuatku ingin terus menciumnya.   Aku sampai bertanya-tanya, kenapa aku diperlakukan begitu istimewa oleh Tuan Liem? Apa yang membuatnya tertarik dengan bocah miskin sepertiku?   "Jangan terlalu senang, Rania. Nggak ada pangeran kayak di cerita dongeng di dunia nyata. Terutama di sini, anak buahnya aja kejam apalagi bosnya," cerocos salah satu wanita yang sibuk menyisir rambutku setelah selesai mandi. Ucapannya ditertawakan oleh teman-temannya yang lain.   Aku bingung apa yang mereka tertawakan. Apa Tuan Liem berpura-pura baik?   "Tapi gue baru kali liat Tuan Liem kayak gini, gak kayak bocah-bocah lain yang sering dia omel omelin," kata wanita lain yang juga sibuk dengan kegiatannya merapikan baju. Ucapannya disetujui oleh teman-temannya dan aku tidak peduli.   "Kenapa kalian mau kerja sama Tuan Liem?" Tiba-tiba aku bertanya pada mereka, hanya itu yang ada dikepalaku saat ini. Kenapa mau?   "Kami butuh uang dan kami menikmati," jawab seseorang, dia seperti mewakili yang lain.   "Berapa umur kamu, Rania? 14, 15, 16?"   "16 tahun, bulan depan." Aku menjawab, dan mereka saling pandang.  
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD