Bab. 8

1363 Words
"Wow, bentar lagi ultah, dong! tapi keliatan kek umur 17 tahun ya, sayangnya aja kamu kurus. Ya, bener kata Tuan Liem, makan yang banyak." Mereka tertawa serempak. Memang aku bertubuh kurus, seharusnya mereka tidak bersikap begitu.   "Aku mau makan, Kak," kataku meminta. Aku memang butuh nasi saat ini.   "Nanti, setelah selesai dandan, ya. Kamu tuh cantik, mirip siapa ya?" tanya wanita yang tadi menyisir rambutku pada temannya, "oh, iya, mirip Princess Elsa!" teriaknya girang. Lalu kembali tertawa.   Wanita-wanita aneh. Tapi aku tidak peduli. Asal mereka tidak menyakitiku.   Tidak butuh waktu berjam-jam, mereka kompak mempercantik penampilanku. Memakaikan baju, menata rambut, dan mendandaniku. Hingga mereka berkata, "selesai!"   Aku seperti masuk ke dalam sebuah cermin besar di hadapanku. Kulihat pantulan tubuhku di sana. Gadis cantik itu ... aku! Mereka benar, aku cantik seperti tokoh anime kesukaanku, Elsa. Malah aku terlihat jauh lebih cantik.   Rambut terang kecoklatan dan bermata hazel berbulu mata lentik. Bibir penuh dengan garis wajah sempurna. Aku tidak menyangka aku terlihat cantik. Ditambah gaun mewah, dengan pernah perniknya. Tatanan rambut digelung terangkat ke atas penuh hiasan bunga-bunga kecil. Aku benar-benar disulap bak putri dongeng.   "Saatnya makan," kata seorang wanita di belakangku.   Aku membalikkan badan. Tersenyum ke arahnya riang.   "Makasih, Kak. Kalian baiiikk banget sama saya." Aku memeluknya erat.   "Kami hanya menjalankan tugas, Rania. Jangan sampai kepala kami ditebas gegara bertindak bodoh."   Aku kembali membeku. Mendengar kepala ditebas membuatku kehilangan selera makan.   "Ayo!" Dia menarik tanganku menuju meja makan dalam sebuah ruangan.   Kamu tahu, aku menyaksikan berbagai menu lezat di atas meja. Semua untukku.   "Makan yang banyak biar gemuk, biar enak buat dijadiin korban. Hihiii." Mereka kembali terkikik.   Entah kenapa aku merasa kata-kata para wanita ini penuh teka-teki.    ***     Namanya Jihan. Aku memanggilnya Kak Jihan, dia adalah satu wanita yang melayaniku di sini. Dibanding yang lain, dia lebih ramah dan sabar mengajariku. Di saat aku sedang kebingungan bagaimana harus mulai makan, dengan telaten dia memberi contoh cara menggunakan pisau untuk memotong makanan, cara memegang sendok dan garpu dalam bersamaan, sekaligus etika makan yang sopan dan elegan.   Aku mengamatinya dengan takjub, sungguh, ia layaknya seorang wanita terdindik, elegan, dan memukau saat makan. Cara membuka mulut, mengunyah tanpa suara, minum, sampai mengelap mulut dengan tisu. Aku semakin tertarik mempelajari semuanya, dan sebagai guru dia tak kalah semangat mengajari.   "Ada yang mau kamu tanyain, Rania?" tanyanya sebelum aku benar-benar mulai menyantap hidangan.   "Kenapa saya harus belajar makan kayak gini, Kak?" Satu pertanyaan kulontarkan.   "Karena kamu gadis pilihan. Nggak semua gadis yang dibeli oleh Tuan Liem punya kesempatan belajar seperti kamu."   "Saya nggak ngerti maksud Kak Jihan, tapi saya senang belajar apa aja." Aku tersenyum ke arahnya, menunjukkan bahwa aku menikmati belajar saat makan di atas meja layaknya orang penting.   Kak Jihan beranjak dari duduknya. "Oke, saya tau kamu anak yang cerdas, Rania. Makanlah,setelah itu, saya ajari kamu hal baru." Kak Jihan mengerlingkan mata, dan memberi kode agar aku segera makan. Dia sendiri hanya mengamatiku dan sesekali mengintruksi jika aku melanggar etika makan.   "Kakak nggak ikut makan bareng saya?" Aki merasa tak nyaman makan sendiri, sementara ada seseorang tengah mengamati.   Kedua mata Kak Jihan melebar, telunjuk kanannya menempel di bibir.   "Sssttt! Ingat, saat makan, dilarang ngobrol yang gak penting. Kecuali saat diperlukan atau sedang ditanya. Ditanyapun, nggak harus dijawab kalau bisa jawab menggunakan kode dari mata, gerakan bahu, atau jari tangan. Contohnya, menggeleng, mengedipkan mata, mengangkat bahu, atau menjentikkan jari. Catatannya, itu semua harus dilakukan dengan elegan, lembut dan sopan. Tanpa kita jelaskan ini-itu, mereka yang paham etika di meja makan akan mengerti." Kak Jihan kembali menjabarkan secara detil padaku.   Aku mengangguk mengerti, dan mengakhiri makanku dengan baik. Agak tersiksa sebernanya, bila makan harus mengikuti aturan, etika, atau apapun itu. Aku sudah terbiasa makan dengan caraku sendiri. Kadang, makan lesehan di lantai, menyuap menggunakan tangan, dan mengobrol dengan mulut penuh. Di sini, aku baru paham, bahwa menjadi bercahaya itu tidaklah mudah.   ***         Waktu sudah menunjukkan pukul 08:00  malam. Pelajaran terakhir yang tadi diajarkan oleh Jihan adalah bagaimana cara berinteraksi, khususnya orang-orang dari kalangan atas. Seorang wanita harus memiliki daya tarik yang mampu membuat orang yang diajak berinteraksi merasa senang dan nyaman. Tentu saja tidak mudah, berkali-kali aku merajuk karena kesulitan berbicara dengan gaya lembut, sopan dan elegan. Tidak harus 'menye-menye' bak putri keraton, tetapi kita harus bisa menguasai diri. Mayoritas perempuan, kadang bersikap berlebihan hingga lupa kontrol diri baik dari sikap, bicara ataupun gaya. Contohnya, bagaimana kita menjaga 'image' saat berhadapan dengan laki-laki berkelas dan tampan.   "Belajarlah agar dirimu menjadi berharga, Rania. Buat pandangan mereka silau oleh kilau kecantikan hati dan perilakumu," pesan Kak Jihan di akhir waktu belajar kami.   Betapa kagumnya aku dengan Kak Jihan. Bagiku dia wanita luar biasa. Sebuah pertanyaan menggelayut di kepala, mengapa wanita sepintar dia bekerja sebagai pelayan? Kenapa dia tidak menunjukkan pesonanya dengan Tuan Liem atau yang lainnya?   Di tempat ini ... sangat aneh. Aku bertemu dengan orang jahat dan baik di tempat yang sama. Entah, memikirkannya membuat kepalaku terasa pusing.   Aku merebahkan tubuh di atas sofa panjang yang empuk. Sedangkan Kak Jihan sudah pamit beristirahat di ruangannya sendiri. Aku tidak benar-benar sendiri di ruangan ini, beberapa pelayan lainnya masih berjaga dan menemaniku, tetapi mereka berbeda, mereka hanya bicara saat ditanya dan bekerja saat diperintah. Itu membuatku merasa jenuh.   "Apa saya boleh duduk di balkon?" tanyaku pada pelayan, aku ingin melihat langit malam. Pasti bulan dan bintang bersinar indah malam ini.   Pelayan itu menggeleng. Itu tandanya aku tidak boleh keluar dari ruangan.   "Saya bosan!" Aku merengut.   "Tuan Liem nanti akan marah, kami nggak mau ambil resiko," jawab pelayan itu padaku.   Aku ingin menimpali tapi kutahan. Aku bukan seorang putri di sini, tapi tahanan. Daripada membuat celaka, lebih baik aku diam.   "Kak, ada yang punya hape?" tanyaku lagi hampir frustasi. Tapi sedetik kemudian, aku baru sadar, nomor siapa yang akan kuhubungi seandainya ada ponsel di sini? Aku tidak hapal nomor ponsel siapapun.   Ah, aku lelah. Aku ingin ... mati saja rasanya.   Tiba-tiba seorang pelayan masuk ke ruangan, membuatku terduduk secara spontan dari rebahan. "Rania, Tuan Liem datang," katanya sedikit membungkuk lalu kembali meninggalkan ruangan.   Entah kenapa aku merasakan debar halus dalam d**a saat nama Tuan Liem disebut. Aku senang ia datang, aku senang ia peduli padaku walau ia orang paling ditakuti oleh para bawahannya di sini.   Suara ketukan sepatunya sangat kuhapal. Ia melangkah dengan sangat gagah memasuki ruangan. Pakaiannya selalu berubah-ubah setiap kali ia datang.   "Untuk kamu," katanya tanpa ekspresi sesampainya di hadapanku.   Aku hampir melompat girang saat kulihat kedua tangannya menyodorkan boneka beruang besar berwarna merah muda yang lembut.   "Terima kasih, Tuan Liem." Dengan cepat kuambil boneka itu lalu memeluknya erat. Bulunya sangat lembut dan harum. Wajahku tenggelam dalam perut beruang.   "Ehem?"   Aku menyembulkan kepala, Tuan Liem memasang tampang 'bete' di depanku.   "Ma-maf, Tuan. Saya terlalu senang."   Tuan Liem seolah tidak mendengar ucapanku, kedua manik matanya terus menatapku lekat. Matanya menyusuri garis wajahku dan berkata sangat pelan. "Cantik." Tapi sedetik kemudian dia berkata lagi dengan intonasi berbeda.   "Rania, besok saya harus ke luar negeri. Ada rapat penting yang harus saya hadiri." Tuan Liem berjalan ke arah pintu menuju balkon, lalu ia menoleh padaku. "Kemarilah, ada sesuatu yang ingin saya sampaikan."   Aku segera mengikutinya, mengekor di belakang sampai kami tiba di balkon yang cukup luas. Aku langsung menatap hamparan langit di atas sana, mencari-cari di mana bulan bersembunyi. Tidak kutemukan cahayanya malam ini. Langit tertutup awan tebal.   Tuan Liem memutar badan menghadap padaku. Tangannya terangkat menyentuh kepalaku dengan lembut.   "Demi apapun, saya akan melindungimu, Rania. Saya berjanji," ucapnya lantang, membuatku merinding mendengar pernyataannya sendiri.   Alisku bertaut, menatap dalam bola matanya. Aku mencari sebuah kejujuran di sana, benarkah apa yang dia ucapkan padaku atau ...   "Percayalah, Rania. Kamu saat ini berada dalam kepungan orang-orang jahat tak berhati nurani. Tidak ada cara apapun dapat bebas dari kepungan mereka selain mati."   "Termasuk kamu, Tuan Liem?"   "Ya, bukankah kamu sudah tahu saya bos penjahatnya di sini?"   Aku mendengar desau angin malam berembus kencang, menggerakkan rambut panjangku mengikuti arahnya. Tuan Liem menurunkan tangan kemudian maju selangkah di hadapanku hingga sangat dekat, kedua tangannya menyusup ke leher dan dengan cepat menggelung rambutku yang berantakan menjadi sanggul kecil. Setelah itu ia kembali melangkah mundur.   Aku tersenyum, aku pikir dia akan menyakiti atau mencekik leherku. Tapi aku tidak peduli kalaupun aku mati saat ini. Aku sudah pasrah.   "Siapa kalian sebenarnya, Tuan Liem?"    
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD