Abience

3921 Words
Hari-hari kuliah dimulai. Itu artinya, para mahasiswa baru dari setiap prodi mulai disibukkan dengan berbagai macam tugas dari angkatan senior. Ya, rupanya ospek diadakan tidak hanya sekali, tapi dua kali. Yang pertama adalah ospek universitas dan fakultas yang sudah dilalui dua minggu lalu, sebelum perkuliahan dimulai. Ospek kedua ini adalah ospek prodi, yang mana masing-masing prodi punya cara tersendiri dalam pelaksanaannya. Maba prodi Matematika harus menjalankan berbagai macam tugas dari senior selama empat minggu ini. Tugasnya beragam, ada yang bersifat individu, kelompok, dan angkatan. Tujuan dari tugas-tugas itu adalah untuk mendekatkan diri antarteman seangkatan, antar-angkatan, dan tentunya pengenalan terhadap prodi serta organisasi di dalamnya. Puncak ospek ini adalah malam keakraban yang diadakan pada akhir pekan minggu kelima. Chika duduk di salah satu kursi kantin dengan wajah ditekuk. Pada saat teman-temannya yang lain cukup bersemangat memburu tanda tangan senior, gadis cantik itu justru tampak lesu dan tidak berminat sama sekali. Padahal ini adalah hari terakhir pengumpulan tanda tangan angkatan 12, 13, dan 14. Selama beberapa hari ini pikiran Chika memang sedang kacau. Bukan hanya karena kuliah dan ospek saja, melainkan juga karena hubungannya dengan Juno. Sungguh, sebenarnya Chika ingin sekali jujur pada sang pacar, tapi dia tidak bisa. Itu sebabnya akhir-akhir ini dia selalu menghindar kalau diajak kencan atau ketemuan. "Chik, kok diem aja sih? Tuh, ada angkatan 12 lho! Nggak mau minta tanda tangan?" tanya Luki setelah selesai dari kegiatannya meminta tanda tangan Raka dan Leon yang duduk di pojokan kantin. Dari ketiga angkatan senior yang wajib dimintai tanda tangan, angkatan 12 memang yang paling jarang bisa ditemui di kampus. Itu sebabnya, siapapun angkatan 12 yang 'nongol' pasti langsung jadi sasaran empuk bagi para maba. Chika menggeleng singkat sebelum menjawab, "Males ah." "Lah kok males? Emang lo udah dapet berapa yang angkatan 12?" Tanpa perlu mendengar jawaban Chika, Luki langsung mengambil buku tanda tangan gadis itu dan melihat tiap halaman. Pemuda tampan tersebut berdecak. "Ya ampun, lo ke mana aja deh tiga hari kemaren? Tanda tangan lo masih banyak yang kurang-kurang tuh! Dihukum baru tau rasa lo!" "Dih, bodo amat! Kan kalo ada yang dihukum, seangkatan kecipratan semua. Wlee!" Chika menjulurkan lidahnya, mengejek. Luki yang langsung teringat akan konsekuensi kalau tidak lengkap dalam mengumpulkan tanda tangan senior pun mendadak panik. "Eh iya, bener juga lo. Wah, kalo gitu lo harus buruan kumpulin tanda tangan lagi! Ayok!" Tanpa basa-basi Luki menarik tangan Chika agar gadis itu bangkit dari posisinya yang tentu saja ditolak sang empunya tangan mentah-mentah. "Ogah, ah! Mager gue! Gue udah kehabisan stok fake smile ini!" "Bodo amat ya, Chik. Gue nggak mau dihukum gara-gara lo. Ya elah, tinggal samperin Kak Leon sama Kak Raka doang kok. Mumpung ada orangnya tuh!" "Luki, gue nggak—" "Udah, udah, nggak usah ribut! Nih udah kita samperin." Suara bernada khas itu menghentikan adegan tarik-menarik yang dilakoni Chika dan Luki dalam sekejap. Kedua orang berbeda gender itu menatap kaget ke arah Leon dan Raka yang tahu-tahu sudah duduk di seberang mereka. Leon memasang senyum ramahnya, sementara Raka rautnya tampak datar. "Lah, kok malah kita yang disamperin nih, Kak? Jadi nggak enak." Luki langsung duduk dan menarik kembali tangannya dari tangan Chika demi mengusap tengkuk, merasa tak enak. Pemuda yang sering dinilai narsis oleh teman-teman seangkatannya itu buru-buru menyikut Chika, melancarkan kode agar gadis di sampingnya itu menunjukkan sikap baik kepada kedua senior mereka. Pasalnya, bukannya menyapa, Chika malah kelihatan tidak tertarik sama sekali dengan kedatangan dua pemuda tampan di depannya. Sikapnya justru terkesan masa bodoh. Well, sikap tak bersahabat Chika ini bukan tanpa alasan, tentu saja. Kalau kepada Raka, sudah pasti tidak perlu dijelaskan lagi, kan, karena apa? Kalau Leon karena pemuda itu sudah tahu soal statusnya dengan Raka. Lho, kok bisa? Beberapa hari lalu, setelah ngampus Leon sempat mampir ke rumah Raka untuk mengambil komik yang mau dia pinjam. Karena waktu itu kamar Raka tidak dikunci dan dia sudah biasa keluar-masuk kamarnya tanpa izin, Leon langsung nyelonong saja. Pas sekali, Chika sedang ada di dalam dan mereka pun sama-sama berteriak karena kaget. Raka yang sebelumnya lupa akan keberadaan Chika di rumahnya pun mau tidak mau harus menjelaskan semuanya kepada sang sahabat. Sejak saat itu, Leon selalu saja menggoda Chika dan Raka. Itu sebabnya Chika jadi sebal. Leon mengibaskan tangannya. "Ya elah santai aja kali! Sesekalilah yang senior nyamperin juniornya. Ya, kan, Rak?" Raka hanya menggumam malas sebagai respons. Sama seperti Chika, dia kelihatan tidak nyaman karena harus duduk berhadapan dengan gadis itu. Hal ini terlihat jelas dari caranya menghindari tatapan tajam Chika. "Oh ya, kayaknya si Chika malu, ya mau minta tanda tangan ke gue sama Raka? Ya udah sini kami kasih secara cuma-cuma." Tangan Leon sudah bergerak mengambil buku tanda tangan milik Chika yang tergeletak di atas meja, tapi sang empunya dengan cepat menolak. "Eh, nggak usah nggak papa kok. Kan gue—" "Sst, udah nggak papa. Santai aja!" Leon bersikeras menarik buku milik Chika dan mulai menarikan jarinya di sana. Menulis biodata dan memberi tanda tangan di bagian bawahnya. Rupanya dia melakukan hal yang sama pada halaman selanjutnya. Kali ini dia menulis biodata Raka dan menyuruh pemuda di sampingnya untuk membubuhkan tanda tangan. Walau tampak ogah-ogahan, Raka melakukan apa yang sahabatnya itu suruh. Apa yang dilakukan Leon dan Raka ternyata membuat Chika jadi sedikit merasa tidak enak. Apalagi ketika Luki kembali menyikut lengannya dan berbisik, "Tuh! Lo harusnya bersyukur mereka sebaik itu ngasih biodata dan tanda tangan secara cuma-cuma. Tadi aja ogah-ogahan lo." "Ck! Berisik lo ah! Iya-iya, ntar gue bilang makasih ke mereka." "Nih ya, udah selesai tanda tangannya. Tinggal foto selfie, kan? Yok!" Perkataan Leon membuat Chika sedikit kaget. Dia baru ingat kalau selain meminta biodata dan tanda tangan, mereka harus menyertakan bukti selfie. Dan Chika juga baru ingat kalau salah satu alasannya tidak mau meminta tanda tangan Raka dan Leon adalah selfie ini. Ya udahlah, udah terlanjur juga! Kalo gue nolak, ntar Luki curiga, batin Chika pasrah sambil mengambil ponsel dari tas dan bangkit dari tempat duduknya. Leon menggeser tubuhnya mendekat ke arah Raka agar Chika bisa duduk di dekatnya. "Akhirnya gue bisa selfie sama kakak ipar juga!" bisik Leon sambil terkekeh kecil saat Chika sedang mengatur kameranya. Chika langsung melayangkan delikan tajam pada pemuda di sampingnya. "Berisik! Awas aja ya sampe Luki denger kata-kata lo barusan!" Leon hanya mengangkat bahunya. Klik! Foto selfie antara Leon dan Chika pun jadi juga. Leon yang tampak antusias langsung meminta ponsel Chika dan memeriksa hasilnya. Dia berdecak kagum, tapi bukan karena hasil fotonya yang bagus, melainkan karena dia mengagumi wajahnya sendiri. "Gila ya, emang ganteng banget gue! Nyokap gue dulu ngidam apa ya sampe anaknya seganteng ini? Wah!!!" Chika dan Raka kompak memutar bola mata malas, sedangkan Luki hanya mengangguk-angguk seolah berkata, "Iyain aja biar cepet!" "Yon, buruan! Gue ada janji sama Pak Bimo nih!" ujar Raka yang sudah mulai bosan dengan tingkah laku sahabatnya. Untung saja Leon langsung peka dan segera mengembalikan ponsel dalam genggamannya kepada Chika sambil menyengir kuda. Sebelum bergeser dan mempersilakan Chika duduk di tempatnya, Leon sempat membisikkan sesuatu kepada Raka yang membuatnya mendapatkan toyoran keras dari sahabatnya itu. "Ya Allah, Rak tega bener lo sama sahabat sendiri! Sakit nih woy!" Leon mengusap-usap kepalanya sambil bangkit dari kursi. Raka hanya mendengus, sementara Chika dan Luki yang tidak mengerti apa-apa hanya mengerjap keheranan. Tapi Chika tidak mau berlama-lama menghadapi situasi ini, jadi dia langsung duduk di samping Raka dan bersiap-siap mengambil foto selfie mereka. "Wah, Chika agresif banget nih! Pengennya cepet-cepet, ya?" Kata-kata Leon berbuah pelototan tajam dari Chika dan Raka yang dengan kompak menoleh ke pemuda berwajah imut itu. Tidak ingin mendapat toyoran atau balasan berbentuk kekerasan lainnya dari sepasang suami-istri itu, Leon pun akhirnya mengunci rapat-rapat mulutnya. Membiarkan Raka dan Chika menikmati momen selfie mereka. Chika dan Raka sudah siap dengan pose dan senyum tipis yang tampak dipaksakan, tapi lagi-lagi sebelum sempat memencet tombol, Leon melakukan sesuatu yang membuat keduanya berteriak, "Aduh!" Klik! Tanpa sengaja sebuah foto konyol tercipta ketika kepala Chika dan Raka saling bertabrakan. "Leon!!!" geram Chika dan Raka bersamaan sambil mengusap kepala mereka yang kesakitan. Sang empunya nama dan Luki yang tadi melihat kejadian saat kepala Chika dan Raka saling terbentur menjadi kaget. "Ups, maaf-maaf! Habisnya tadi kalian selfie tapi jauhan sih, ya mana keliatan selfie-nya dong?" "Ya tapi nggak usah pake jedotin kepala gue, kan?" Chika mendesis sinis. Dia tahu kalau ini hanya akal-akalan Leon saja yang hanya ingin menggoda dirinya dan Raka. Leon menyengir kuda. "Monggo, lanjutin selfie-nya. Kali ini nggak gangguin lagi deh gue. Sumpah!" Chika dan Raka kembali ke posisi awal untuk selfie, tapi suara Leon yang lagi-lagi mengganggu membuat keduanya harus rela menahan diri untuk tidak mengamuk. "Deketan lagi tuh! Masa selfie nggak—" "Yon, sekali lagi gue denger suara lo, gue siram es teh, ya?" Mendengar ancaman itu, Leon akhirnya bungkam. Dia tidak lagi banyak berkomentar saat Chika dan Raka mengambil selfie. "Makasih banyak ya, Kak. Gue sama Luki ke kelas dulu. Permisi!" ujar Chika dengan sedikit jutek setelah selesai ber-selfie dengan Raka. Buru-buru menarik Luki menjauh dari meja itu dan meninggalkan kantin. Saking buru-burunya, Luki bahkan tidak sempat berpamitan pada Raka dan Leon yang memperhatikan keduanya. Ketika keduanya sudah sampai di kelas, barulah Luki bertanya, "Lo kenapa sih, Chik? Sikap lo aneh banget deh tadi di depan Kak Leon sama Kak Raka." Chika membantah. "Nggak kok. Biasa aja tuh." "Biasa apaan? Lo sama Kak Leon keliatan deket, tau. Eh, tapi Kak Leon mah emang jahil sama semua orang sih." "Nah, itu tau! Udah ah, nggak usah bahas mereka lagi. Bentar lagi Bu Indira masuk nih. Gue mau belajar." Chika mulai mengeluarkan buku catatan dan alat tulisnya. Luki berdecak dan ikut mengeluarkan alat tulis serta buku catatan miliknya. Di tengah-tengah kegiatannya yang sedang pura-pura membaca materi pada pertemuan selanjutnya, Chika membatin, Coba aja Leta sekelas sama gue, gue nggak akan kejebak bareng Luki dan ngadepin situasi kayak tadi! ***** Rasa takut itu memang bentuknya bermacam-macam. Ada rasa takut terhadap hewan jenis tertentu, ada rasa takut pada ketinggian, takut hantu, dan lainnya. Setiap orang pasti memiliki ketakutan yang berbeda-beda. Ada yang memang sudah memiliki rasa takut terhadap hal tertentu sejak lama, atau bahkan yang baru muncul setelah terjadi sesuatu. Chika sendiri takut pada gelap. Dia paling tidak suka kalau berada di ruangan tanpa penerangan sama sekali. Dia selalu merasa kalau dalam kegelapan hal-hal buruk lebih rentan terjadi. Saat tidur pun ia tidak bisa jika lampunya dalam keadaan mati. Hal itu sering menjadi perdebatannya dengan Raka yang biasa tidur dalam keadaan gelap. Untungnya Raka mau mengalah. Akhir-akhir ini, Chika merasa bahwa rasa takutnya bertambah. Dia jadi takut bertemu dengan Juno, pacarnya sendiri. Namun, itu bukanlah ketakutan terbesarnya saat ini. Yang paling ditakutkannya adalah kehilangan pemuda itu dan berakhir dibenci olehnya. Itu sebabnya sampai detik ini, Chika masih belum memberitahu sang pacar mengenai statusnya yang sudah jadi istri orang lain. Padahal, sekarang mereka sedang berdua. Sepulang dari kampus tadi, Juno menjemput Chika tanpa pemberitahuan sama sekali. Jelas saja gadis itu kaget dan panik setengah mati. Dia takut Juno akan bertanya soal sikap anehnya selama beberapa hari ini. Lagi pula, dia juga tidak siap jika harus menjelaskan semuanya. Untung saja, apa yang dikhawatirkannya tidak menjadi kenyataan. Juno tidak bertanya macam-macam. Sekarang sepasang sejoli ini sedang makan berdua di food court sebuah mall. Chika juga tidak tahu kenapa Juno mengajak dia nge-mall. Soalnya, dari sekian banyak tempat, mall adalah tempat yang paling jarang dijadikan tempat kencan mereka, kecuali untuk nonton film. Dan hari ini tidak ada tanda-tanda Juno mau mengajaknya nonton. “Kok nggak dimakan? Kamu sakit?” Pertanyaan Juno membuat lamunan Chika buyar. Sambil gelagapan, gadis cantik itu menjawab, “E-Eh enggak kok.” Senyum manis yang sedikit dipaksakan menjadi penutup sanggahan yang disampaikan olehnya. Chika mulai melahap makanannya walau sedikit enggan. “Kamu marah, ya, gara-gara aku tiba-tiba nyulik kamu kayak gini?” Dengan cepat Chika menggeleng. “Aku nggak marah kok. A-Aku cuma nggak nyangka aja kalo kamu bakal tiba-tiba ngejemput aku kayak tadi. Tumben-tumbenan lagi ngajak nge-mall.” Juno terkekeh. Dengan sedikit nada merajuk yang dibuat-buat dia berujar, “Habisnya kamu sih akhir-akhir ini susah banget ditemuin. Kamu nggak tau, kan, betapa kangennya aku sama kamu? Orang yang sedang merindu itu bakal lakuin apa pun buat ketemu pujaan hatinya. Makanya aku nekat.” Bukannya membalas kata-kata Juno dengan lisan, Chika justru menghadiahinya dengan cubitan di lengan yang membuat pemuda itu berteriak kesakitan. Gadis cantik itu tampak gemas. “Aduh! Kok dicubit sih?” “Habisnya kamu ngomongnya gitu. Kan geli!” Chika mendengus. “Kamu nih ya sejak masuk teknik jadi makin jago ngegombal tau nggak? Siapa sih yang ngajarin cowok aku yang polos jadi kayak gini?” Juno hanya tertawa sebagai respons. Dia menggeleng sambil mengulurkan tangan demi mengacak rambut Chika gemas. “Sekali-sekali lah, Chik.” “Sekali-sekali apaan? Ini udah—“ “Lho, Chika?” Suara seorang wanita yang tiba-tiba muncul di tengah-tengah mereka mau tidak mau membuat Chika dan Juno segera menoleh. Keduanya menampilkan reaksi yang berbeda ketika melihat sosok Arina—bundanya Chika— yang berdiri tak jauh dari meja tempat mereka makan. Jika Juno tampak semringah melihat wanita cantik itu, Chika justru kelihatan panik. Mampus gue! “Eh, Bunda ….” Juno langsung berdiri dari tempat duduknya demi menghampiri Bunda, berniat menyapa. Sayangnya, niat baik itu tidak jadi terlaksana karena Chika sudah menyerobot duluan. “Eh, Bunda di sini juga? Kebetulan banget nih, Bun aku mau ngomongin soal yang tadi pagi itu lho. Yuk!” Chika sengaja mendekati Arina dan merangkul lengannya saat berujar begitu. Tujuannya sudah jelas, kan? Yup, untuk menyeret bundanya menjauh dari Juno. “Bentar, ya?” pamit Chika yang langsung berlalu tanpa perlu mendengar jawaban Juno. Setelah dirasa sudah jauh dari jangkauan Juno, Chika langsung mencoba menjelaskan soal Juno kepada Arina. “Bun, dengerin penjelasan aku dulu, ya? Aku sama Juno—“ “Kalian belum putus juga, kan? Bukannya Bunda udah nyuruh kamu putusin Juno sejak lama?” Arina menatap anak perempuannya dengan tatapan serius. Sedikit nada kecewa terselip dalam tutur katanya. Chika hanya mampu tertunduk. “Sayang, sampai kapan sih kamu mau sembunyiin status kamu dari Juno? Dia harus tau kalo sekarang kamu udah jadi istri orang dan kamu nggak bisa nutupin ini selamanya.” “Aku juga nggak mau nyembunyiin ini terus, Bun. Tapi aku juga nggak tega dan belum siap ngasih tau dia semuanya,” jawab Chika dengan nada sedih. “Sayang,” Bunda meletakkan kedua tangannya di bahu sang putri tercinta. Jari telunjuknya mengangkat dagu Chika agar mau mendongak menatapnya. “kasih tahu Juno secepatnya sebelum dia tahu dari orang lain. Bunda tahu, pasti rasanya sulit buat kamu, tapi mau gimana lagi? Mungkin ini kedengerannya jahat, tapi ini adalah konsekuensi dari keputusan yang udah kamu ambil untuk menikah sama Raka.” Mendengar kata-kata Bunda, Chika jadi memberengut, namun dalam hati ia tidak menampik kalau itu memang benar. “Chika, kesiapan dan keberanian untuk jujur itu bukannya ditunggu, tapi dibulatkan dan ditekadkan. Semakin lama kamu simpan semua ini, hanya akan menyakiti Juno semakin dalam.” Lagi-lagi Chika tidak mampu menimpali perkataan Bunda. Gadis cantik itu sekuat tenaga menahan diri agar tidak membiarkan air matanya menetes. Ya, sejak tadi Chika sudah berkaca-kaca, tapi dia berusaha tegar di hadapan Bunda. “Iya, Bun aku ngerti kok. Hari ini juga aku bakal putusin dia,” Chika berujar. Dia masih saja berusaha bersikap tegar. Padahal di dalam hati ia begitu hancur. Pokoknya hari ini gue harus akhiri semuanya, tekad Chika. Gue nggak mau Juno semakin tersakiti nantinya. ***** Seperti biasa, setiap habis pulang kuliah Levi selalu menyempatkan diri untuk nongkrong di kafe dekat lingkungan universitasnya. Dia nongkrong bersama Dewa, Temmy, dan Teo sekalian mengerjakan skripsi bersama. Tapi percaya deh, niat mengerjakan skripsi pasti hanya berjalan beberapa persen saja, sisanya sebagian besar untuk main game online. Well, hal itu tidak berlaku bagi Dewa sih sebenarnya karena dia tipe orang yang selalu konsisten dengan tujuan awal. Seperti sekarang misalnya, pada saat keempat temannya sibuk memainkan game online karena sudah pusing dengan skripsi masing-masing, Dewa masih saja betah berkutat dengan Latex dan buku-buku penunjang topik skripsinya. Tak lupa, sebuah kaca mata bertengger manis di atas hidung mancungnya. Melihat Dewa yang begitu serius, Levi pun menggoda, “Yaelah serius amat, Bang. Kalo puyeng berenti dulu gih! Lagian, ini juga masih awal semester, Bro. Santai dikit lah!” “Udah sih Lev, si Dewa mana mau dengerin rayuan setan lo!” Bukan Dewa yang menimpali perkataan Levi, tapi justru Teo. Pandangannya masih terpaku ke layar ponsel, bermain game. “Kalo yang lo ajakin itu gue ato Temmy mah udah pasti mau. Kalo Dewa, beuh mana mempan!” “Enak aja rayuan setan! Elo tuh setan!” sembur Levi tak terima. Teo dan Temmy hanya tertawa. Begitu pula dengan Dewa yang diam-diam mendengarkan tapi tidak berusaha menengahi. Tak lama kemudian sebuah u*****n kasar melayang di udara yang disusul oleh pekikan girang oleh dua orang lainnya. Rupanya Levi dikalahkan oleh Teo dan Temmy dalam sebuah permainan game. Teo dan Temmy bersorak girang sambil melakukan tos, sedangkan Levi berdecak kesal dan melemparkan tubuhnya untuk bersandar di sofa. Temmy beringsut mendekati Levi dan menepuk pelan bahunya. Dengan nada jahil berujar, “Sabar ya, Lev! Gue sama Teo nambah makanan sama minumannya nggak banyak-banyak amat kok. Palingan cuma nambah menu paling mahal aja, tapi masing-masing dua porsi. Laper nih!” Temmy dan Teo tertawa setelahnya. “Kurang ajar emang ya lo pada!” sungut Levi. Pemuda itu mengeluarkan dompetnya. Mengeluarkan beberapa lembar uang seratus ribuan dan menyerahkannya pada Temmy. Lagi-lagi, Teo dan Temmy ber-tos ria sambil sesekali tertawa. “Lah, kan siapa yang kalah, dia yang traktir. Jadi, nikmati aja kekalahan lo ini, oke?” ujar Teo sebelum beranjak pergi bersama Temmy dengan membawa uang pemberian Levi. Memesan lebih banyak makanan dan minuman. Levi hanya bisa mendengus melihat kelakuan kedua temannya itu. Dia pun melirik ke arah Dewa yang masih asyik menyelami bukunya. Dengan nada menyesal Levi berujar, “Tahu gitu tadi gue ngikutin lo ngerjain skripsi aja ya, Wa?” Dewa terkekeh. “Penyesalan emang datengnya belakangan, Lev. Kalo di awal mah pendaftaran.” “Yeu ni anak malah ngelawak! Dah ah, mau ke toilet dulu gue.” Mengabaikan Dewa yang saat ini sedang tertawa, Levi pun bangkit dari kursinya dan hendak berjalan ke toilet, tapi langkahnya harus terhenti ketika tatapannya terarah pada pintu masuk. Di sana ada sosok yang ikut terpaku saat bersitatap dengan dirinya. Audrey Nathania. Melihat Audrey yang sudah mau berbalik pergi, Levi buru-buru membereskan barang-barangnya kemudian mengemasinya, hendak pergi. Tentu saja hal ini membuat Dewa yang melihat jadi kebingungan. “Lev, lo mau ke—“ “Drey!” Rupanya Levi tidak menghiraukan pertanyaan Dewa dan langsung mengejar Audrey yang baru saja melewati pintu. Audrey mengabaikan panggilan Levi, tapi pemuda itu dengan sigap menarik tangan sang gadis agar berhenti berjalan. Audrey berdecak dan menatap Levi sengit. “Biar gue aja yang pergi, jadi lo nggak perlu repot-repot ngehindarin gue,” tukas Levi cepat sebelum Audrey sempat membuka mulutnya untuk mengomel. Tanpa perlu mendengar balasan dari gadis itu, Levi sudah lebih dulu pergi ke parkiran dan masuk ke mobilnya. Melajukannya dengan kecepatan yang cukup tinggi. Dengan diliputi perasaan marah yang cukup besar, Levi mengendarai mobilnya dengan tak tentu arah. Saat di lampu merah, akhirnya ia mendapat ide untuk pergi ke kelab malam langganannya. Tak lupa menghubungi seseorang dulu sebelumnya. “Hai, Sayang! Malam ini kamu free, kan? Clubbing yuk!” Nada bicara dan ekspresi wajah Levi sekarang justru sangat berbeda dengan suasana hatinya beberapa waktu lalu. Levi yang saat ini sedang menelepon tampak semringah dan sedikit genit dengan nada bicara menggoda yang dilisankannya. “Oke, habis ini aku jemput, ya! Jangan lupa dandan yang cantik buat aku.” Levi mengakhiri percakapan itu dengan melayangkan ciuman jauh kepada sang pacar. Setelah sambungan terputus, rautnya pun kembali keras seperti sebelumnya. Drey, sampai kapan sih lo bakal ngabaiin gue kayak gini? Gue kangen lo yang dulu. Gua kangen banget. ***** Setelah dari mall, rupanya Juno mengajak Chika ke kafe tempat biasa mereka nge-date. Kafe ini juga merupakan kafe yang penuh kenangan bagi mereka berdua karena tempat inilah Juno dan Chika jadian. Mengingat hal itu seketika membuat Chika menjadi sesak. Yang lebih membuat sesak karena rupanya hari ini adalah anniversary hubungan mereka yang ke-dua tahun dan Chika baru ingat saat Juno bertanya padanya soal hari ini! “Maaf, ya, aku lupa banget. Itu sebabnya aku nggak nyiapin kado apa pun.” Chika tampak merasa bersalah, sebab Juno sudah menyiapkan makan malam romantis untuk mereka berdua. Padahal tahun lalu justru dialah yang ingat, sedangkan Juno lupa. Juno tersenyum sebagai respons. “It’s okay. Aku tau kok kalo akhir-akhir ini kamu kan juga sibuk sama urusan ospek dan kuliah. Lagian, bisa berdua kayak gini sama kamu aja udah jadi kado terindah buat aku. Makasih, ya.” Aduh, Juno … jangan bikin aku makin susah buat lepasin kamu dong! Dewi batin Chika menjerit. Jangankan Chika, gadis lain kalau dikasih kata-kata seperti tadi sudah pasti melayang, kan? Iya, Juno memang sebaik dan sepengertian itu. Makanya Chika tidak akan pernah tega untuk menyakiti hatinya. Tapi kalo disimpen terlalu lama aku juga akan nyakitin kamu semakin dalam, Jun. Serius, rasanya Chika ingin menangis sejadi-jadinya sekarang. Dia masih tidak tega mau memutuskan hubungan mereka hari ini juga, tapi kalau tidak cepat diputuskan, Juno akan semakin terluka nantinya. Kenapa juga sih hari ini mesti anniversary kami? “Chik, bentar ya?” Tiba-tiba Juno bangkit dari kursinya dan beranjak ke panggung yang saat ini dalam keadaan kosong. Chika menatap Juno tak mengerti, tapi ketika pemuda ganteng itu mulai duduk di kursi di atas panggung sambil memangku sebuah gitar akustik, ia mulai paham. Mampus! Double kill gue! Dan ketika Juno mulai memainkan intro sebuah lagu yang merupakan lagu favorit sekaligus penanda jadian mereka dua tahun lalu, Chika mulai berkaca-kaca. “Well you done done me, you bet I felt it, I tried to be chill, but you so hot that I melted ….” Saat Juno mulai bernyanyi, Chika sudah tidak mampu lagi menahan air matanya. Kalau begini jadinya, ia benar-benar tidak sanggup lagi. Suara Juno yang merdu dan tatapannya yang penuh cinta membuat Chika semakin tidak tega dan dilanda dilema. Haruskah Chika mengakhirinya sekarang juga? Atau dia harus mengumpulkan keberanian di lain hari? Cukup! Tanpa basa-basi Chika bangkit dari kursinya dan berlari meninggalkan kafe. Tentu saja tindakannya ini membuat Juno keheranan dan segera memanggil namanya. Dia menghentikan nyanyiannya dan berlari menyusul Chika. Beruntung, Chika belum pergi terlalu jauh. Gadis cantik itu baru sampai di parkiran. “Chik!” Juno menarik tangan Chika agar gadis itu berhenti berlari. Chika tidak menolak, tapi tangisnya makin kencang. “Chik, kamu kenapa sih?” Juno bertanya. Nada bicaranya terdengar khawatir. Dia menatap Chika yang menunduk dengan lekat. Bukan jawaban yang Juno terima, Chika justru merengkuh tubuhnya. Membuat mereka berpelukan dan Chika berakhir menangis di dadanya. Juno sudah hampir mengangkat kedua tangannya untuk membalas pelukan itu, tapi kalimat yang dilontarkan Chika selanjutnya membuat pergerakannya harus terhenti. Dia mati rasa. “Maaf, Jun, kita harus putus.” Entah sudah berapa lama mereka bertahan dengan posisi itu, yang jelas keheningan masih saja menyelimuti keduanya. Chika belum menjelaskan lebih jauh soal kata-kata yang baru saja ia ucapkan, sedangkan Juno juga tidak mencoba menanyakan alasannya. Ketika Chika mulai menarik diri dan hendak menjelaskan, Juno baru bertanya, “Kenapa, Chik? Apa aku ngelakuin kesalahan ke kamu sampe kamu—“ Chika menggeleng cepat. “Bukan kamu, tapi aku, Jun. Kalo hubungan ini dilanjutin, kamu bakal tersakiti. Sekarang aja aku udah nyakitin kamu banget. Ada hal yang belum aku ceritain ke kamu.” Juno masih menatap Chika tak mengerti. Chika mengambil napas dalam-dalam sebelum melanjutkan, “Aku udah nikah sama orang lain, Jun. Aku dijodohin. Itu sebabnya kita nggak bisa lanjutin hubungan ini.”
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD