Prelude pt. 1

3173 Words
Chika pulang sendiri. Dia menolak sewaktu Juno mau mengantarkannya pulang. Alasannya sederhana, karena dia tidak mau merepotkan mantan kekasihnya itu. Lagi pula, tempat yang selama ini dituju Juno saat mengantarkannya pulang sudah berbeda. Chika tidak mau semakin menyakiti Juno jika pemuda itu tahu bahwa rumah yang sekarang ditujunya adalah rumah Raka, suaminya.   Chika duduk di bangku taman komplek perumahan tempatnya kini tinggal. Sudah tiga puluh menit dia berada di situ sambil menangisi hubungannya yang kandas malam ini. Semakin merasa sesak saat mengingat ekspresi Juno saat dia berkata jujur tadi. Di balik luka yang dirasakannya, Juno tetap tersenyum walau terpaksa. Chika tahu bahwa Juno hanya berusaha kuat, berusaha tegar. Pemuda itu bahkan terus berkata bahwa dia tidak apa-apa. Dia bisa memahami kalau Chika melakukan itu—menerima perjodohan dan akhirnya menikah— demi Eyang.   Chika mengambil napas dalam-dalam kemudian mengembuskannya secara perlahan. Tangannya terangkat guna menyapu air matanya yang tak berhenti meleleh. Gadis cantik itu pun mendongak, memandang langit yang gelap tanpa bintang. Membuatnya tersenyum getir.   "Langit aja sampe sehati ya sama gue. Mendung. Kayak suasana hati gue sekarang," gumam Chika.   Kemudian, tangan Chika pun merogoh tas demi mengambil ponsel dan headset, memakainya lalu menghubungankannya ke ponsel. Chika memencet ikon radio dan mencoba mencari lagu yang pas untuk suasana hatinya saat ini. Sampai pada akhirnya suara khas salah seorang penyanyi terkenal Indonesia menyapa rungunya.   Jika aku bukan jalanmu, ku berhenti mengharapkanmu. Jika aku memang tercipta untukmu, ku kan memilikimu. Jodoh pasti bertemu.   Air mata Chika leleh lagi, tapi kali ini dia tidak membiarkannya menganak sungai. Chika langsung menyeka air matanya dan bergumam, "Afgan bener, kalo jodoh pasti ketemu kok. Sekarang mungkin gue dijodohin sama Raka, tapi belum tentu juga dia emang jodoh gue yang sebenarnya. Jodoh nggak ada yang tau."   Tidak ada yang dilakukan oleh gadis cantik itu lagi selain mendengarkan lagu-lagu yang secara random diputar oleh salah satu saluran radio. Telinganya mendengarkan, tatapan matanya terarah ke depan, tapi pikirannya melanglang buana tak tentu arah. Saking tidak fokusnya dia bahkan tidak tahu kalau sejak tadi ada seseorang yang memanggil namanya.   "Chicken!"   Baru ketika orang itu memanggilnya dengan nama lain, Chika tersentak. Dia menoleh dan agak terkejut begitu melihat siapa gerangan yang memanggilnya sejak tadi.   "Kok lo ada di sini? Ngapain manggil-manggil gue?" Chika bertanya tanpa melepas headset di telinganya. Sosok itu menjawab, tapi Chika yang tidak mendengar tampak kebingungan, "Hah? Lo ngomong apaan sih?"   Sikap bodoh Chika mengundang dengusan gemas dari sosok jangkung tersebut. Tanpa basa-basi menarik lepas headset  bagian kanan yang masih setia terpasang di telinga si gadis dan kontan membuatnya mendapat protes, "Aduh! Pelan-pelan bisa nggak sih? Kasar banget jadi orang." Chika pun melepas bagian satunya sambil menggerutu.   "Makanya kalo lagi ngomong sama orang itu headset lo lepas dulu. Biar nggak bolot."   "Enak aja lo ngatain gue b***t! Udah tadi ganti-ganti nama gue, sekarang pake ngatain segala. Nyebelin!" Chika bangkit dari bangku dan bersiap pergi sambil menghentakkan kaki. Namun, langkahnya harus terhenti ketika Raka mencekal pergelangan tangannya.   "Apaan sih—"   "Lo habis nangis?"   Pertanyaan Raka membuat Chika batal marah-marah. Gadis itu mengerjap pelan dan wajahnya sedikit mengendur, tapi tidak lama. Dia buru-buru menarik tangannya dari kuasa Raka dan mengelak, "Enggak kok. Siapa juga yang nangis? Sok tau lo!"   "Terus itu pipi lo basah kenapa? Mata lo juga merah tuh."   "Ih, apaan sih gue—"   "Gue mau ke minimarket, mau ikut nggak? Tadi lo nanya kan, ngapain gue di sini? Gue lagi jalan ke minimarket, terus karena liat lo di sini lagi galau ya udah gue samperin. Jadi, mau nggak?"   Chika terdiam. Sibuk menimang-nimang apakah harus mengiyakan tawaran Raka atau tidak. Pasalnya dia juga tidak mungkin pulang dalam keadaan kacau begini. Kalau Opa atau Om Armand melihatnya, yang ada mereka bertanya-tanya. Chika sedang tidak ingin menjelaskan apa-apa dan harus berakhir bohong nantinya, jadi ia rasa tidak ada salahnya, kan, menerima ajakan Raka?   "Oke deh. Gue ikut."   Tanpa banyak basa-basi lagi, dua insan berbeda gender itu berjalan ke minimarket dekat komplek. Tidak ada percakapan di antara keduanya. Kecanggungan menjadi penyebab utama.   Tidak adanya percakapan di antara mereka membuat pikiran Chika kembali melanglang buana.   Juno lagi apa ya sekarang?   Tin!!!   "Chik!"   Chika tersentak kaget saat Raka merangkul bahunya dan menariknya agar mendekat. Membuat tubuh keduanya bertabrakan pelan. Raut Raka yang tampak marah membuat Chika keheranan.   "Lo itu kalo di jalan fokus dong! Tadi itu ada mobil yang hampir nabrak lo, tau nggak?"   "Mo-Mobil?"   "Iya, mobil!" bentak Raka yang membuat Chika langsung menundukkan kepalanya. Sadar kalau telah membuat Chika sedikit ketakutan, pemuda itu mengatur napasnya lalu bertanya pelan-pelan, "Sebenarnya lo itu ngelamunin apa sih? Beneran lagi galau, ya?"   Sambil merengut Chika melepas diri dari Raka yang masih betah merangkulnya. "Gue nggak kenapa-napa kok. Udah ah, ayo jalan lagi!"   Chika mendahului Raka berjalan di depan. Raka yang sepertinya berniat bertanya lagi, kali ini memilih untuk menyimpan pertanyaannya itu dan mengekori Chika.   Akhirnya mereka sampai juga di minimarket dan langsung berjalan menuju rak yang berbeda. Raka melihat-lihat rak bagian camilan dan minuman dingin, sedangkan Chika melihat-lihat es krim.   Lagi-lagi, Chika jadi teringat Juno. Pemuda itu sering sekali mentraktirnya es krim cone kesukaannya. Chika yang tadinya berniat membeli es krim, jadi urung. Lebih baik dia tidak usah membeli apa pun yang hanya akan membuatnya teringat pada lelaki itu.   "Lo nggak beli apa-apa?" Raka bertanya begitu mereka berdua sampai di kasir. Chika menggeleng. "Terus kalo nggak mau beli apa-apa, ngapain ikut gue?"   Chika mengangkat bahunya sambil menjawab, "Gue cuma mau ngadem kok."   Raka tidak lagi merespons perkataan Chika karena dia harus membayar belanjaannya. Tepat saat dia menyerahkan uangnya, di luar minimarket hujan mengguyur dengan deras. Hal ini sontak membuat Chika mendesah.   "Yah, kok hujan sih? Terus kita pulangnya gimana dong?" Chika menoleh pada Raka, tapi lelaki itu langsung berjalan ke salah satu rak. Chika mengekorinya.   Raka berdecak karena tidak menemukan apa yang dia cari. "Payungnya habis," terangnya pada Chika yang menatapnya bertanya-tanya. Chika ikut mendesah kecewa.   "Jadi kita mesti nunggu di sini sampe reda dong?"   Raka mengangkat bahunya sambil berlalu. "Mau nggak mau."   "Ah, sial banget gue hari ini!" Chika mengacak rambutnya frustrasi lalu berjalan menyusul Raka yang keluar dan duduk di teras minimarket. Kebetulan di situ ada meja dan kursi kosong.   "Lo beneran nggak mau beli apa-apa?" tanya Raka beberapa saat kemudian. Chika menggeleng. Raka mengangkat bahunya dan masuk kembali ke minimarket.   Chika mengikuti ke mana arah Raka pergi dengan penasaran. Melihat Raka berjalan ke rak yang menyediakan berbagai macam mie instan, Chika menduga kalau pemuda itu kelaparan dan hendak membeli mie untuk dimakan. Ia pun mengalihkan pandangannya dari Raka dan duduk menopang dagu dengan sebelah tangan. Menunggu hujan reda.   Lima menit berlalu. Raka datang kembali membawa se-cup mie instan yang telah dibuatnya dan sebotol minuman jeruk.   "Nih, makan!"   Chika merasa kaget ketika Raka menyodorkan mie dan minuman itu kepada dirinya. Dia berujar, "Kok dikasih gue? Gue kan nggak minta."   "Makan aja! Gue tau lo laper."   "Gue nggak la—"   Kriuk! Kriuk!   Chika langsung tutup mulut karena merasa malu. Raka benar, sejak tadi dia memang lapar, tapi karena masih merasa sedih akan kejadian malam ini, ia jadi tidak berselera. Namun, ketika mencium aroma mie yang ada di hadapannya, sepertinya Chika jadi ingin makan.   "Udah, makan aja! Gue traktir gini."   Sambil tersenyum malu-malu, Chika pun mulai memakan mie itu dengan lahap. Raka memperhatikannya sambil geleng-geleng kepala.   "Lo habis putus sama cowok lo, ya?"   "Uhuk! Uhuk! Uhuk!"   Tembakan yang diluncurkan mulut Raka sukses membuat Chika terkejut dan tersedak. Gadis itu terbatuk cukup parah. Merasa bersalah karena bertanya pada saat yang tidak tepat, Raka buru-buru bangkit dari kursi dan membantu gadis itu meredakan batuknya. Raka menepuk-nepuk punggung Chika dan menyurunya minum.   "Makannya pelan-pelan aja kali, Chik!"   "Pelan-pelan gimana?! Gue itu keselek karena pertanyaan lo, tau?"   "Oh, jadi bener ya lo habis putus?"   Chika langsung terdiam, tidak bisa menjawab. Air mata dengan cepat mengumpul di pelupuk matanya dan tak lama kemudian meluncur begitu saja. "Iya, gue habis putusin Juno dan bilang semuanya ke dia. Kenapa? Seneng lo?" Chika terisak setelahnya. Dia melipat kedua tangan di atas meja dan menangis di sana. Raka jadi panik dibuatnya.   "Eh, Chik jangan nangis gitu dong! Ntar gue disangka ngapa-ngapain lo—"   "Lo kan emang habis ngapa-ngapain gue! Pertanyaan lo tuh jahat banget, tau nggak?" sentak Chika marah. Gadis itu menangis makin kencang.   Semakin panik, Raka pun beringsut ke sebelah Chika dan menepuk pelan bahunya, tapi yang dilakukan Chika pada detik selanjutnya berhasil membekukan persendian pemuda berbahu lebar itu.   Chika menempelkan kepala ke dadanya dan menangis keras di sana.   Tidak ada yang bisa dilakukan Raka selain menerima situasi itu. Sekarang dia justru melingkarkan tangannya ke sekeliling bahu Chika dan mencoba menenangkannya.   Detik demi detik berlalu hingga menjadi menit. Hujan yang mulai reda rupanya beriringan dengan tangis Chika yang sudah mulai tak terdengar lagi oleh telinga Raka. Takut hujan akan kembali mengguyur, Raka mengajak Chika untuk pulang.   "Chik, hujannya reda. Mau pulang nggak?" Namun, pertanyaan itu tak kunjung menuai jawaban setelah ditunggu selama hampir semenit. Merasa curiga, Raka mencoba untuk melongokkan wajahnya agar bisa melihat wajah Chika dengan jelas. Lantas, ia berdecak.   "Yeu, dia malah tidur!" Harusnya Raka langsung membangunkan Chika saja agar mereka bisa segera pulang, namun hal itu justru tidak dilakukannya. Pemuda tampan itu seolah tak mau mengusik Chika yang kelihatan tidur dengan pulas. Dalam diam memperhatikan wajah cantik Chika dari jarak dekat.   Tidak peduli dalam keadaan habis menangis ataupun tidak, menatap wajah tidur Chika tetap membawa efek yang aneh bagi Raka, tapi entah kenapa ia justru menyukainya.   *****   Clubbing malam ini sepertinya masih tidak bisa mengembalikan mood Levi agar kembali seperti sedia kala. Pemuda itu memutuskan untuk pulang setelah pacarnya, Stevi, justru menari random dengan lelaki lain di lantai dansa. Dengan amarah menggebu, Levi keluar dari kelab malam langgananya. Sama sekali tidak pamit pada gadis berpakaian seksi yang sebentar lagi akan ia jadikan sebagai mantan kekasih.   Sambil menelusuri parkiran di depan kelab, Levi berjalan menuju mobilnya. Namun, langkahnya harus terhenti ketika mendengar panggilan dari belakang punggungnya.   "Sayang! Mau ke mana sih? Kok aku ditinggal?"   Levi memutar badannya dengan malas. Ternyata Stevi sudah berdiri tak jauh dari tempatnya berada kini. Gadis itu tampak terengah.   "Sayang—"   "Kita putus, jadi jangan panggil gue 'sayang' lagi."   Kalimat itu dengan mudahnya terlontar dari mulut Levi. Membuat mata Stevi seketika melotot tak percaya.   "K-Kok kamu putusin aku sih?" Stevi mencoba menyentuh lengan Levi. "Lev, aku salah apa sama kamu?" Namun dengan cepat Levi menghempaskan tangannya secara kasar dan membuatnya semakin tidak mengerti.   Seraya tersenyum sinis Levi berujar, "Masih tanya salah lo apa? Ngapain tadi joget-joget sama cowok lain? Kurang belaian?"   "Hah? Ya ampun, Lev tadi aku cuma—"   "Sst! Udah deh, nggak usah jelasin apa-apa. Basi!" Levi mendengus dan melemparkan tawa yang seolah mengejek. "Lagian, gue juga udah bosen sama lo, jadi mending kita putus aja, oke?"   Plakkk!!   "Dasar berengsek lo! Kalo emang mau putusin gue bilang aja langsung, nggak usah pake ungkit-ungkit soal gue joget sama cowok lain. Dasar sampah!" Stevi pergi sambil menghentakkan kaki meninggalkan Levi.   Alih-alih merasa tersinggung, Levi hanya menatap kepergian Stevi dengan senyum sinis. "Sampah ngatain sampah," gumamnya. Lantas, dia pun kembali melangkahkan kaki menuju mobil.   Levi kira niatnya untuk meninggalkan kelab akan segera terlaksana karena dia sudah hampir membuka pintu mobilnya. Namun, kegiatannya harus kembali tertunda setelah ia melihat sosok yang lumayan dikenalnya sedang duduk di trotoar kecil dekat tanaman di pinggir gedung kelab. Penasaran karena sosok itu tampak sedang bersedih, Levi pun memutuskan untuk menghampirinya.   "Leta?"   Sosok pemilik nama pun menoleh dan tampak gelagapan begitu melihat Levi. Leta berusaha bersikap tenang saat bangkit dari posisinya sekarang demi membalas sapaan pemuda itu, "Eh, Kak Levi. Lagi apa, Kak di sini?"   "Lah, kan ini kelab langganan gue. Lo sendiri ngapain di sini? Cewek alim kayak lo nggak mungkin clubbing, kan?"   Leta tersenyum tipis menanggapi pertanyaan itu. Senyumnya menular pada Levi yang justru terkekeh.   "Ah, gue tau!" Levi terkesiap pelan dan tampak menebak-nebak. Leta menatapnya bertanya-tanya. "Jangan-jangan si kunyuk Teza ya yang ngajakin ke tempat haram ini? Wah, bener-bener itu anak!"   "Eh, bukan kok, Kak! Aku nggak lagi sama Teza kok," Leta mengklarifikasi. Levi menatapnya meminta penjelasan. Dengan gugup Leta pun menjelaskan, "Itu ... tadi aku nggak sengaja lewat aja, terus duduk di sini deh."   Penjelasan itu membuat Levi sontak tertawa. "Astaga, lo itu ada-ada aja, ya! Kalo nyari tempat duduk jangan di sini juga kali, Ta. Bahaya."   Leta kontan meringis.   "Ikut gue aja, yuk!"   "Hah? Ke mana?"   Wajah kaget Leta lagi-lagi membuat Levi tertawa. "Sumpah ya, ekspresi lo tuh lucu banget! Tenang aja kali, lo nggak bakal gue apa-apain kok. Gue cuma mau ajak lo makan aja. Gue laper banget nih. Ntar lo gue anterin pulang deh."   "Eh, nggak usah, Kak. Aku pulang sendiri aja—"   "Yah, jadi lo beneran nggak mau nih nemenin gue makan?"   "Bu-Bukan gitu juga, Kak. Aku ...." Leta tampak kebingungan menanggapi ajakan Levi. Gadis cantik bertinggi semampai itu tampak menimang-nimang.   "Lo kepikiran Teza, ya? Ya udah deh, gue minta izin dia du—"   "Eh, nggak perlu, Kak. Teza nggak bakal marah atau cemburu kok. Lagian sama Kak Levi gini."   "Ya tapi kan lo sama Teza tau sendiri cowok macem apa gue ini. Yakin nih si Teza nggak kenapa-napa?"   Leta menampilkan senyum menenangkan saat menjawab dengan mantap, "Enggak kok, Kak. Ntar biar aku aja yang cerita ke Teza, jadi Kakak nggak perlu minta izin dia."   Levi terkekeh. "Oke deh kalo gitu. Yuk!"   Leta mengangguk dan mengekori Levi yang berjalan menuju mobilnya. Tidak sampai lima menit, mobil itu pun melaju dengan kecepatan sedang.   Selama perjalanan, Leta tampak diam dan hanya melihat ke jalanan. Levi yang sudah tidak terlalu bad mood sesekali memperhatikannya. Kayaknya ada yang nggak beres sama Leta deh, batinnya curiga. Pasalnya, gadis itu terlihat jauh lebih pendiam dari biasanya. Levi tahu kalau Leta adalah sosok gadis kalem, tapi entah kenapa ia merasa kalau malam ini ada sesuatu yang sedang dipikirkan oleh gadis itu.   Kok gue jadi kepo gini sih? dewa batin Levi memarahi diri sendiri. Pemuda tampan itu menggelengkan kepalanya dan berusaha fokus kembali ke jalanan depan.   Beberapa menit kemudian, mereka sampai di sebuah warung makan pinggir jalan. Warung yang menyediakan menu andalan berupa nasi goreng itu adalah tempat makan favorit Levi.   "Yuk, Ta!" ajak Levi sambil turun dari mobil. Leta mengekorinya.   Sebelum memesan, atensi Levi jatuh pada Leta. "Lo mau nasi goreng apa? Yang recommended di sini sih seafood."   "Mm, aku nasi goreng ayam aja, Kak. Aku alergi seafood." Leta meringis dan membuat Levi tertegun karenanya.   "Oh, oke. Pedes nggak? Minumnya?"   "Hm, pedes. Minumnya air putih aja, Kak."   Lagi-lagi jawaban Leta membuat Levi sempat tertegun. Namun, Levi segera mengenyahkan pikiran itu dan memesan. Setelah memastikan kalau pesanan mereka sudah tercatat, Levi mengajak Leta duduk.   "Nggak papa kan kalo gue ngajak lo makan di tempat kayak gini?" Levi bertanya dengan raut merasa tak enak.   Leta menggeleng. "Nggak papa kok, Kak. Aku makan di mana aja nggak masalah."   "Syukur deh kalo gitu. Ini tempat makan favorit gue sejak SMP soalnya. Pas banget kan deket dari kelab, makanya gue ajak lo ke sini."   Leta hanya mengangguk-anggukan kepalanya mengerti sebagai respons.   Mereka tidak mengobrol lagi sampai pada akhirnya pesanan masing-masing datang.   "Gimana? Enak, kan?" Levi bertanya sambil mengunyah makanan miliknya. Anggukan Leta membuatnya tersenyum puas. Namun, ada satu hal yang menarik minatnya.   "Gue liat dari tadi lo belum minum, padahal makanan lo pedes. Minuman gue aja tinggal setengah lho. Lo nggak kepedesan?"   Pertanyaan Levi ditanggapi senyuman tipis oleh Leta. "Aku punya kebiasaan makan sampe habis dulu baru minum, Kak. Entah itu makanannya pedes atau enggak, kalo belum selesai makan ya belum minum."   "Oh?" Untuk ke sekian kalinya Levi tampak tertegun karena jawaban Leta. Semakin lama berduaan seperti ini dengan gadis itu justru semakin mengingatkan Levi kepada seseorang.   [Flashback on]   Bel istirahat belum berbunyi, tapi sosok jangkung itu sudah berlarian di koridor sekolah. Tadi dia minta izin untuk ke toilet, tapi nyatanya dia sedang menuju ruang UKS demi menemui seseorang.   "Drey!" Levi memanggil di tengah napasnya yang terengah karena berlari. Lantas, dia menghampiri sosok gadis yang saat ini sedang terbaring di ranjang UKS.   Sang pemilik nama tampak terkejut melihat keberadaan Levi di sana. "Lo ngapain di sini? Bukannya masih kelas?"   "Lo tuh teledor banget sih? Lain kali kalo mau nyicipin makanan tanya dulu ada seafood-nya atau enggak. Udah tau alergi seafood, asal makan aja."   Diomeli seperti itu membuat Audrey merengut. "Sahabat macem apa sih lo? Gue lagi sakit begini malah diomelin."   "Justru karena gue khawatir sama lo, makanya gue begini, Drey!" Levi mencubit gemas pipi Audrey dan menuai teriakan pelan dari mulut gadis itu.   "Sakit, Lev!"   "Makanya dengerin gue!"   "Iya-iya, kan dari tadi gue dengerin. Lain kali gue bakal lebih hati-hati deh! Janji."   "Awas ya kalo sampe gue denger alergi lo kumat lagi gara-gara teledor kayak tadi!"   Audrey justru terkikik geli dan menggoda Levi. Menjawil pipi Levi sambil berkata, "Ciye, gue dikhawatirin sama cowok ganteng nih! Jadi ternyata lo itu lari-lari ke sini karena saking khawatirnya sama gue, ya?"   Levi berdecak dan menangkap tangan Audrey yang masih asyik menjawil pipinya. Membuat keduanya kini saling bertatapan dalam diam.   "Drey, gue nggak bisa kalo nggak khawatir sama lo, jadi plis ya stop bikin gue jantungan kayak tadi."   Audrey tersenyum manis sambil mengangguk. Senyumnya menular pada Levi.   ***   "Yaelah, cemen lo!" Audrey menertawai Levi yang sedang meneguk minumannya sampai habis. Sepulang sekolah, mereka berdua mendatangi sebuah kedai ayam geprek yang baru buka di dekat rumah. Rumah Audrey dan Levi memang bertetangga, itu sebabnya mereka selalu pulang bersama.   Sambil mengatur napasnya Levi merespons, "Gila ya lo nggak kepedesan apa? Cabe lo lima, kan? Gue yang cabe dua aja udah begini." Pemuda tampan itu tampak bercucuran keringat.   Dengan santai Audrey menggeleng sambil melahap kembali ayam gepreknya. "Lo tau sendiri, kan betapa cintanya gue sama makanan pedes? Cabe lima tuh sama sekali gak pedes buat gue."   "Emang dasar maniak pedes lo!" Levi melirik ke minuman Audrey yang masih utuh. Gadis cantik yang duduk di hadapannya itu memang punya kebiasaan untuk tidak minum di tengah-tengah makan. Katanya sih, takut kenyang sebelum makanannya habis.   "Gue minta minum lo, ya? Masih pedes nih!"   "Ih, nggak boleh! Pesen lagi aja sana! Jangan kayak orang susah deh."   "Pelit lo ah!"   "Biarin!" Audrey menjulurkan lidahnya. Dia hanya tertawa ketika Levi memesan minuman lagi dan menatapnya bersungut-sungut. Tak ingin membuat sahabatnya itu semakin kesal, Audrey berinisiatif mengambil tissue dan mengelap butiran-butiran keringat di pelipis Levi. Sikapnya itu tanpa sadar membuat sang sahabat membeku.   "Udah, nggak usah ngambek lagi! Ntar gantengnya ilang lho." Audrey mengakhiri kata-kata dengan sebuah tawa manis.   Levi tidak merespons banyak. Dia hanya bisa tersenyum sambil menikmati perhatian Audrey kepadanya. [Flashback off]   *****   Setelah mengantarkan Leta pulang, Levi juga langsung melajukan mobilnya ke rumah. Namun, dia tidak langsung masuk rumah kendati malam sudah cukup larut. Pemuda itu justru asyik memandangi jendela kamar sebuah rumah yang berhadap-hadapan dengan rumahnya. Rumah itu adalah rumah Audrey, dan jendela kamar yang sedang dipandanginya adalah jendela kamar gadis itu.   Levi sibuk mengira-ngira sedang apa gerangan gadis yang merupakan sahabat sejak kecilnya itu. Pasalnya, waktu sudah menunjukkan pukul 12 malam, tapi lampu kamar Audrey masih saja menyala. Mungkin lagi nyekripsi atau nugas, batinnya.   Namun, tidak lama setelah itu lampu kamar Audrey pun mati. Levi mendesah lesu dan tersenyum miris.   Sampai kapan sih, Drey lo ngebuat gue cuma bisa natap lo dari kejauhan kayak gini?
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD