Hari yang paling tidak dinantikan oleh Chika akhirnya datang juga. Tebak, hari apa itu? Yeah, hari kepindahannya ke rumah Raka! Well, harusnya sejak lima hari yang lalu Chika pindah, tapi gadis itu beralasan ingin menghabiskan lebih banyak waktu dulu dengan Eyang yang baru keluar dari rumah sakit. Tadinya Chika meminta waktu seminggu, atau paling tidak sampai sehari sebelum masuk kuliah, tapi Eyang dengan tegas menolak. Beliau bilang bahwa Chika tidak boleh terlalu lama tinggal terpisah dengan Raka, suaminya.
Menyebalkan? Memang! Sayangnya, mau tidak mau, suka tidak suka, Chika harus menerima.
Chika duduk di sebelah Raka dengan wajah yang masih saja tertekuk sempurna. Saat ini keduanya memang sedang dalam perjalanan ke rumah si pemuda. Ya, mereka hanya berdua saja karena keluarga Chika tidak ada yang mau mengantar. Lantas, bagaimana dengan keluarga Raka? Mereka tidak ikut menjemput Chika karena ingin membuat acara penyembutan kecil-kecilan di rumah.
Sambil mendesah lesu Chika memeriksa jam yang melingkari pergelangan tangannya. Ini sudah lima belas menit berlalu sejak mobil Raka meninggalkan rumahnya, berarti sudah selama itu juga dia dan pemuda di sampingnya tidak saling bicara. Sejak tadi Raka terus-terusan melihat ke jalanan depan tanpa ada niat sedikit pun membuka obrolan. Begitu juga dengan Chika yang masih saja tenggelam dalam rasa kesalnya, namun sekarang sepertinya gadis itu mulai bosan terlalu lama diam.
“Lo sariawan, ya?”
Pertanyaan random yang dilontarkan Chika berhasil membuat Raka melirik sekilas padanya. Iya, hanya melirik sekilas, tanpa mau menjawab sama sekali. Chika pikir pemuda itu akan menjawab beberapa detik kemudian, tapi setelah ditunggu sampai hampir setengah menit, Raka masih saja diam. Jelas saja hal ini membuat Chika kembali dilanda rasa kesal.
“Lo tuh diajak ngomong kok malah diem aja sih? Beneran sariawan lo ya?” Chika tampak gemas.
Kali ini Raka bereaksi lebih. Tanpa menoleh, dia menjawab, “Gue cuma mau jawab pertanyaan penting dan berfaedah.”
Sontak saja Chika melongo karenanya. Tatapannya antara tak habis pikir dan juga kesal. “Ini tuh gue nanya soalnya dari tadi lo diem aja.”
“Ya elo juga diem aja, tapi lo nggak lagi sariawan, kan? Kalo gitu harusnya lo udah tau jawaban gue.”
Sumpah demi apa pun, Chika benar-benar ingin menjambak rambut Raka sekarang juga! Tadinya dia ingin mengajak Raka mengobrol untuk mencairkan suasana, tapi yang ada sekarang dia justru menyesal. Salahnya juga sih menanyakan hal yang sama sekali tidak penting seperti itu. Habisnya mau bagaimana lagi? Chika juga tidak tahu mau membicarakan apa dengan Raka. Rasanya canggung sekali.
Chika memilih untuk tidak menimpali. Gadis itu mengambil ponsel yang sejak tadi menganggur di tas selempangnya lalu memainkan benda tersebut. Sebenarnya Chika bisa saja melakukannya sejak tadi, tapi dia sedang malas membuka ponsel apalagi menyalakan paket datanya. Kadang kalau sedang dalam mood yang buruk Chika memang suka bersikap begitu. Itu sebabnya, Chika memainkan ponsel hanya untuk memutar lagu dan bersenandung saja. Ini terasa jauh lebih baik daripada hanya duduk diam sambil melihat pemandangan luar.
Tak terasa, mereka berdua pun sampai di rumah Raka. Selama beberapa detik Chika sempat merasa takjub melihat bagaimana megahnya rumah pemuda itu. Rumah bergaya klasik tersebut dua kali lebih besar dibandingkan rumahnya.
“Ayo turun!"
Chika pun turun dari mobil begitu mendengar ajakan Raka. Mereka tidak langsung masuk karena Raka harus mengeluarkan koper Chika dari dalam bagasi terlebih dahulu. Cukup gentle, bukan? Kalau boleh jujur, itu salah satu nilai plus Raka di mata Chika.
Rupanya Raka tidak hanya membantu Chika mengeluarkan koper, tapi dia juga membawakannya sampai di dalam rumah. Namun, tugas mulianya itu segera digantikan oleh Mbak Asri, asisten rumah tangga mereka. Tak lupa, perempuan yang sudah hampir menginjak kepala empat itu juga menyapa Chika dan Raka.
"Nggak usah, Mbak. Ntar aku aja yang bawa ke atas," tolak Raka secara halus saat Mbak Asri meminta koper Chika untuk dia bawakan.
Mbak Asri berdecak dan mengibaskan tangannya. "Udah, biar Mbak aja. Den Raka sama Non Chika ke ruang makan aja, udah ditunggu soalnya."
"Eh, tapi itu berat lho, Mbak," Chika angkat bicara. Dia sempat meringis ketika membayangkan Mbak Asri dengan badan sekurus itu membawakan kopernya yang besar dan berat ke lantai dua. Namun, lagi-lagi Mbak Asri tidak menampilkan ekspresi keberatan sama sekali. Dia tetap tersenyum manis saat mengangkat koper miliknya.
"Ngangkat beginian mah udah biasa buat Mbak. Udah, Aden sama Non ke ruang makan aja, ya." Mbak Asri masih tersenyum lebar saat berujar begitu.
Chika tersenyum sungkan menghadapi perlakuan Mbak Asri kepadanya. "Makasih ya, Mbak. Maaf ngerepotin," ujarnya.
"Ini udah tugas Mbak, Non. Nggak usah ngerasa sungkan begitu. Mulai sekarang, kalo ada apa-apa, ngomong aja ke Mbak."
Chika mengangguk sambil tersenyum manis. "Makasih, Mbak."
"Mbak permisi dulu, Den, Non."
"Iya, Mbak," jawab Raka dan Chika bersamaan.
Selepas kepergian Mbak Asri ke lantai dua, Raka pun mengajak Chika ke ruang makan yang letaknya di dekat ruang tengah. Entah kenapa Chika merasa cukup deg-degan saat ini. Dia merasa seperti akan diadili, padahal katanya ini adalah acara penyambutan kecil-kecilan.
"Eh, kalian udah datang?"
Suara familiar itu membuyarkan lamunan Chika. Gadis itu mengarahkan atensi kepada Opa yang tersenyum lebar ke arahnya. Beliau yang duduk di salah satu kursi meja makan langsung berdiri dan merentangkan kedua tangannya.
"Selamat datang di rumah, Chika!"
Chika meringis menanggapi sambutan itu. "Makasih, Opa." Tak lupa, gadis cantik itu beringsut ke arah Opa untuk mencium tangannya. Akan tetapi, dia cukup merasa heran ketika melihat sosok lain yang juga berada di sana. Pria muda berwajah tampan yang ikut berdiri di samping Opa itu tampak asing baginya.
Seolah mengerti akan rasa ingin tahu Chika, Opa segera angkat suara, "Oh ya, kenalin, ini Armand, adik papanya Raka. Akhir-akhir ini dia lagi sibuk berkelana ngurusin bisnisnya di luar negeri, makanya baru bisa ketemu kamu sekarang."
Chika mengangguk paham kemudian menyalami pria bernama Armand itu. Dia mengangguk dan tersenyum manis saat memperkenalkan diri. "Chika, Om."
"Halo, Chika!" balas Armand dengan disertai senyum yang cukup lebar. "Wah, ternyata kamu lebih cantik daripada yang Papi ceritain, ya? Beruntung banget nih si Raka dapet istri secantik kamu."
Dipuji begitu membuat Chika mengulum senyum malu. "Makasih, Om." Iseng, Chika melirik ke arah Raka yang saat ini justru tampak membuang muka. Kelihatan sekali kalau pemuda itu agak tidak senang saat Armand mengatakan kalimat terakhirnya.
Chika mencibir di dalam hati.
"Ya udah, ayo duduk! Kok malah berdiri terus sih? Ayo, ayo, kita lanjutin ngobrolnya setelah makan!" ajak Opa antusias sambil duduk kembali di tempatnya. Chika, Raka, dan Armand pun mulai mengambil tempat mereka masing-masing.
Makan siang pertama Chika sebagai bagian dari Keluarga Alaric pun dimulai.
*****
"Kita beneran sekamar?!"
Raka menanggapi keterkejutan Chika dengan dengusan malas. Pemuda yang kini bersandar di balik pintu kamarnya yang tertutup itu menghunuskan tatapan datar pada Chika saat menjawab, "Ya lo pikir Opa bakal biarin kita tidur di kamar terpisah? Nggak mungkin."
Chika semakin terkejut. "Terus kita tidur seranjang juga?"
"Ya sekarang lo liat, ada berapa kasur di sini? Satu doang dan itu king size. Jadi, gimana menurut lo?"
Wajah Chika tampak pias begitu Raka selesai berujar. Tubuhnya bahkan sampai jatuh terduduk di atas ranjang saking syoknya. Tak lama kemudian, dia mengacak rambutnya dan mengerang, "Bisa gila gue!"
Raka mengernyit heran melihat reaksi Chika yang dinilainya berlebihan. Padahal sebenarnya dia paham betul dengan apa yang sedang istrinya pikirkan saat ini dan itu membuatnya ingin tertawa kencang.
"Gue tau apa yang lagi lo pikirin sekarang, tapi tenang aja itu nggak bakal terjadi kok."
Chika langsung memfokuskan atensi kepada Raka yang masih bertahan di posisi bersandarnya. Dia menelan saliva gugup sebelum bertanya, "E-Emangnya apa yang gue pikirin?"
Raka terkekeh. Dia tahu kalau Chika hanya pura-pura tidak mengerti saat ini karena merasa malu. Raka bisa tahu karena raut wajah gadis itu sudah menjelaskan semuanya.
Reaksi Chika yang tampak lucu rupanya membuat sebuah ide muncul di otak Raka. Pemuda itu mengubah ekspresi wajah dan tatapan matanya menjadi lebih intens. Bahkan, dia juga mulai melangkahkan tungkainya agar semakin dekat dengan gadis yang berstatus sebagai istrinya tersebut.
Beruntungnya, Chika terlambat menyadari situasi. Gadis itu masih saja menanti jawaban dari mulut Raka sehingga tidak sadar saat jarak keduanya kian menipis. Kesadarannya baru kembali saat lutut mereka berdua sudah hampir bersentuhan.
"Eh, mau apa—aa!"
Raka tidak memberi Chika kesempatan untuk bicara karena dia langsung mendorong dan menindih tubuh gadis itu di ranjang. Dilihatnya kini Chika sedang menutup wajah dengan kedua tangan, seolah takut pada sesuatu yang mungkin saja akan Raka lakukan kepada dirinya. Raka menahan diri untuk tidak tertawa saat ini melihat sikapnya. Ternyata mengerjai Chika sangat menyenangkan!
"Raka, lo ngapain sih?! Minggir deh!" Beberapa detik kemudian, Chika mulai memberontak. Sambil tetap memejamkan mata, gadis itu mendorong-dorong badan besar Raka agar menyingkir darinya, tapi tentu saja dia tidak menyerah semudah itu.
"Ini, kan yang lo pikirin?" Raka bertanya.
Chika menghentikan pergerakannya dan membuka mata. Dia menatap Raka tak mengerti. "Maksud lo?"
Raka mendengus. Masih aja nggak mau ngaku! batinnya gemas.
"Nggak usah pura-pura polos dan nggak ngerti! Muka lo nggak bisa boong." Raka menghela napasnya perlahan sebelum melanjutkan, "Gue emang berengsek, tapi gue bukan PK kok. Jadi lo nggak usah mikir macem-macem!"
"Ih, siapa yang mikir macem-macem sih?! O-Orang gue ...." Tiba-tiba Chika terdiam dan menggigit bibirnya. Pandangannya menjadi tidak fokus. Raka masih bisa melihat dengan jelas kegugupan yang melanda gadis cantik itu.
Sebuah senyum miring kembali menghiasi wajah Raka ketika mengamati raut Chika dari jarak sedekat ini. Dia baru sadar kalau gadis yang sudah resmi jadi istrinya itu memang secantik ini. Bahkan, dia juga baru sadar kalau mereka berdua sama-sama berwajah campuran.
"Lo blasteran, ya?" Tanpa sadar mulut Raka melisankan pertanyaan itu.
Raka kira Chika akan terkejut dan tidak mau menjawab pertanyaannya, tapi ternyata gadis itu berkata, "Lo orang ke sekian yang nyangka begitu. Padahal mah gue pribumi asli."
Pernyataan itu membuat dahi Raka berkerut cukup dalam. "Yakin lo?"
"Yakin lah! Tanya sendiri ke Bunda ato Ayah kalo nggak percaya. Muka gue begini karena turunan dari Bunda. Bunda nggak ada darah campuran luar negeri, tapi mukanya emang kayak blasteran."
Raka justru terdiam cukup lama usai mendapat informasi itu. Pikiran randomnya berkelana tanpa diminta. Dia jadi teringat oleh almarhumah Mama yang punya darah Jerman dalam tubuhnya. Opa juga ternyata turunan Jerman walau tidak langsung dari orang tuanya. Tanpa sadar, sikapnya ini membuat gadis di bawah kungkungannya menjadi jengah.
"Sampai kapan lo mau ngungkung gue begini terus? Berat, tau?"
Raka tersentak dari lamunan lalu segera menyingkir dari atas tubuh Chika dan duduk di samping gadis itu. Chika juga langsung bangkit dari posisinya saat ini dan melayangkan tatapan penuh peringatan pada pemuda di sampingnya.
Sambil menunjuk Raka, dia berkata, "Awas ya kalo lo sampe boong! Tadi lo udah bilang kalo lo nggak bakal macem-macem, kan? Gue pegang kata-kata lo!"
Alih-alih menjawab sesuai dengan jawaban yang Chika mau, Raka justru terkekeh cukup sinis. "Kalopun gue macem-macem, nggak masalah juga kali. Gimana pun juga kita ini udah sah, udah halal."
"Ih, tapi gue kan masih kecil! Lo nggak boleh macem-macem sama anak kecil."
Tak!
"Aw! Raka, sakit tau!" Chika berteriak kesakitan dan menatap Raka tajam. Tangannya mengusap dahi. Rupanya, ia baru saja mendapatkan sentilan dari Raka yang gemas mendengar ucapannya.
"Salah siapa ngomong aneh-aneh?" dengus Raka gemas. "Di negara kita, umur lo itu udah masuk umur minimal buat cewek nikah. Itu artinya udah dianggap dewasa. Mana bisa dibilang anak kecil?"
"Ih, suka-suka gue dong! Mulut-mulut gue kok lo protes sih?" Chika buru-buru bangkit dari ranjang dan menghampiri kopernya yang belum sempat dibongkar. Chika mengeluarkan seperangkat pakaian dan wadah peralatan mandinya. "Daripada gue darah tinggi ngadepin lo, mendingan gue mandi," ujar Chika sambil menghentakkan kakinya ke kamar mandi.
Lagi-lagi, ide jahil terlintas di otak Raka yang segera berujar, "Oh, mau mandi? Mau dimandiin sekalian nggak nih? Anak kecil kan belum bisa mandi sendiri?"
Chika yang baru saja masuk ke kamar mandi langsung berbalik dan dengan nada galak menimpali, "Diem lo, dasar m***m!"
Brakk!! Chika membanting pintu kamar mandi dengan cukup kasar.
Tepat setelah pintu itu tertutup, tawa Raka pun terlempar ke udara. Sungguh, dia tidak pernah merasa sesenang ini habis menjahili seorang gadis. Well, sepertinya sikap bawel Chika bisa menjadi hiburan tersendiri baginya mulai saat ini.
*****
Juno sekeluarga sampai di rumah pukul 9 malam. Selama beberapa hari ini mereka pergi ke Sydney untuk menghadiri acara pernikahan salah seorang kerabat. Awalnya Juno berniat mengajak Chika ikut serta, tapi tidak jadi begitu tahu kalau Eyang kondisinya sedang drop.
Omong-omong, Juno sudah memperkenalkan Chika kepada keluarganya sejak setahun lalu. Sejak itu, Chika jadi dekat sekali dengan mama dan kakak perempuan Juno, yaitu Jesi karena dia sering diajak ke rumahnya. Chika juga sudah memperkenalkan Juno ke keluarganya dan hubungan mereka pun lumayan dekat, walau tidak sedekat Chika dengan mama dan kakak Juno.
Ah, bicara soal Chika, Juno jadi rindu. Maka dari itu, setibanya di kamar, Juno langsung mengeluarkan ponsel dan merebahkan badannya di kasur. Pertama kali mengaktifkan ponsel, pemuda itu langsung menge-chat sang pacar.
'Hei, lagi apa? Aku baru balik nih dari Sydney.'
Satu menit, dua menit menunggu tak ada jawaban dari Chika. Juno berpikir mungkin saja pacarnya itu tidak sedang memegang ponsel saat ini, tapi dia tetap menunggu balasan sambil membalas chat dari teman-temannya yang lain. Ada beberapa notifikasi dari grup angkatan yang membahas soal ospek jurusan. Juno baru saja akan menimpali pembahasan di grup saat tiba-tiba Chika menghubunginya.
Sambil tersenyum semringah, Juno pun menjawab, "Hei!"
"Junoooo, kangen ihhh!"
Sikap dan nada bicara manja yang Chika tunjukkan mau tak mau membuat Juno terkekeh. Ya ampun, dia benar-benar rindu pada pacarnya! Kalau saja ini belum malam, sudah pasti Juno mau mengajak Chika ketemuan.
"Aku juga kangen, Chik. Kangen banget malah."
"Ciye yang kangen. Cowoknya aku bisa kangen juga nih?" Juno bisa mendengar Chika terkikik di ujung sambungan.
"Aku masih manusia biasa, Chik. Masih punya rasa kangen lah, apalagi kalo yang dikangenin kamu."
"Dih, gombal! Diajarin sama siapa sih kamu gombal begitu? Temen-temen baru di teknik pada tukang gombal, ya?"
Juno tertawa makin kencang. "Tau aja kamu. Eh btw, lagi apa? Fangirling, ya?"
"Iya nih, lagi mantengin pacar-pacar aku di Korea. Habisnya pacar benerannya aku ke Sydney sih."
"Lho kan ini aku udah balik. Kamu masih mau genit aja nih sama oppa-oppa kamu?"
"Hmm, gimana ya? Kalo dikasih oleh-oleh sih kayaknya aku nggak mau genit ke Oppa lagi deh."
"Haha, itu sih udah aku siapin."
"Emang beneran kamu yang siapin? Bukan Tante Manda ato Kak Jesi?"
Pertanyaan Chika membuat Juno meringis. Dia tidak bisa menjawab karena memang oleh-oleh untuk Chika justru mamanya yang menyiapkan, bukan dia sendiri. Sebenarnya Juno memang ingin membeli barang sebagai oleh-oleh untuk Chika, tapi dia tidak tahu mau membeli apa. Alhasil, yang repot memilih oleh-oleh justru mamanya dan itu juga dengan bantuan Jesi.
Sepertinya Chika paham alasan di balik keterdiaman Juno selama beberapa detik ini. Gadis itu berdecak lalu berkata, "Ya udah sih, nggak papa. Mau itu dari kamu pribadi ato Tante Manda dan Kak Jesi, aku tetep seneng kok."
Juno hanya terkekeh. Tak lama kemudian, dia terkesiap pelan. "Oh ya, besok ketemuan, yuk! Aku mau ngasihin oleh-olehnya ke kamu."
Juno pikir Chika akan langsung menjawab dengan antusias seperti biasanya, tapi hal itu tidak ia dapati selama beberapa detik setelah melontarkan ajakan. Di ujung sambungan, Chika justru terdiam.
"Chik?" tegur Juno kemudian.
"E-Eh, iya kenapa?"
Sikap Chika yang tampak gelagapan rupanya membuat Juno keheranan. "Kamu ngelamun, ya?" tanyanya.
"E-Enggak kok. Aku nggak ngelamun. Itu ... aku ... mm ...."
"Kenapa sih, Chik? Kok gelagapan gitu? Kamu nggak bisa besok?"
Lagi-lagi Chika terdiam cukup lama, namun kali ini Juno lebih sabar menunggu. Dia tidak mencoba menegur Chika yang sebenarnya bisa saja kembali melamun seperti tadi. Lagi pula, dia juga mengerti apa alasan di balik sikap aneh sang pacar. Pasti berhubungan dengan eyangnya.
"Hm, aku kabarin besok aja, ya? Soalnya aku masih nggak tau bisa apa enggak."
Jawaban Chika ternyata tidak membuat Juno kecewa sama sekali. Pemuda tampan itu justru menyunggingkan senyum lega sekaligus maklum seraya membalas, "Oke, nggak papa kok. Aku free seharian, jadi nanti kalo kamu bisa kabarin aja mau ketemuan jam berapa. Tapi kalo emang bener-bener nggak bisa, ya udah. Kita ketemuannya habis ngampus aja, gimana?"
"Hm, oke." Jeda sebentar sebelum Chika melanjutkan, "Ya udah, aku tutup ya? Kamu istirahat gih! Pasti capek kan habis dari Sydney?"
"Hehe, iya. Ya udah, kamu juga bobok gih! Jangan kebiasaan begadang mulu, nggak baik buat kesehatan kamu. Bye!"
"Bye!"
Percakapan dua sejoli itu pun berakhir begitu saja dengan meninggalkan kerutan dalam di dahi Juno. Entah kenapa, dia merasa kalau akhir-akhir ini sikap Chika kelihatan aneh. Dia jadi sulit sekali ditemui, walau komunikasi di antara mereka masih terbilang lancar. Juno tahu kalau itu pasti karena Eyang, tapi dia juga merasa ada hal lain yang menyebabkan Chika bersikap tidak seperti biasanya. Gadis itu seolah menghindarinya.
Tak ingin berspekulasi macam-macam, Juno segera mengenyahkan perasaan aneh yang menderanya dan segera pergi ke kamar mandi guna membersihkan diri lalu tidur.
*****
Selesai mengobrol dengan Juno via ponsel, Chika memutuskan untuk keluar dari persembunyiannya, yaitu kamar mandi. Bukan tanpa alasan Chika menelepon sang pacar di tempat itu, dia hanya tidak mau ada orang yang mendengar percakapan mereka.
Chika sudah membuka pintu kamar mandi saat tiba-tiba dia berteriak, "Ya ampun!" Tak lama kemudian, gadis itu mengelus d**a lalu menggerutu. "Iih, lo tuh ngapain sih berdiri di situ? Bikin kaget, tau nggak?!" semburnya.
Ternyata Chika kaget karena melihat sosok tinggi menjulang yang sudah berdiri di depan pintu kamar mandi saat ia keluar tadi. Sosok itu tidak lain dan tidak bukan adalah Raka pastinya. Seolah tidak punya rasa bersalah sama sekali, pemuda itu hanya mendengus dan berkata, "Minggir! Lo mau berdiri terus di situ?"
Chika melongo tak percaya melihat sikap menyebalkan Raka itu. Dia berkacak pinggang sambil berujar, "Lo itu udah salah, nggak mau minta maaf, malah mau nyelonong aja? Wah ...." Chika mengakhiri kata-katanya sambil menggeleng tak habis pikir.
Raka membalas kata-kata Chika dengan dengusan sinis. "Kalo ada yang harus marah, itu gue, bukannya elo." Chika tampak tidak terima dan hendak menimpali, tapi Raka buru-buru melanjutkan, "Lo pikir berapa lama gue berdiri di sini cuma buat nungguin lo telponan sama cowok lo, hm?"
Seketika wajah Chika berubah. Yang tadinya mengeras, jadi mengendur dalam hitungan detik. "L-Lo tau ... gue telponan ... sama Juno?"
"Suara lo kedengeran dari sini."
Mampus! Chika refleks membatin. Entah apa yang dirasakan gadis cantik itu saat ini, tapi tiba-tiba ada perasaan aneh yang menyambangi benaknya. Apa ini yang namanya rasa takut karena ketahuan selingkuh? Nggak mungkin! Jelas-jelas sebelum resmi menikah dengan Raka, dia sudah jauh lebih dulu pacaran dengan Juno. Eh, tunggu! Tapi kan statusnya kini seorang istri? Itu jauh lebih sah dan halal jika dibandingkan dengan status pacar. Kalau begini masalahnya, itu artinya Chika memang baru saja ketahuan selingkuh dengan Juno, kan?
Astaga ... kenapa semuanya jadi serba rumit seperti ini sih?! Jadi siapa sebenarnya yang sedang diselingkuhi oleh Chika? Raka atau Juno?
"Lain kali kalo mau telponan nggak usah pake acara ngumpet di kamar mandi segala! Toh, sejak awal gue juga tau kok kalo lo masih berhubungan sama cowok lo itu." Raka menjeda sejenak demi memperhatikan ekspresi Chika yang tampak kaget. "Asal lo tau aja, gue nggak masalah kok kalo lo masih pacaran sama dia. Dan gue juga nggak akan bilang ke Opa dan yang lainnya."
"Eh, lo serius?!" Wajah Chika tampak cerah seketika. Binar-binar kegembiraan terpancar jelas dari hazelnya.
Raka mengangguk sebagai balasan.
"Lo sama sekali nggak keberatan? Nggak ngerasa diselingkuhin ato gimana gitu?"
Kali ini Raka mengangkat bahunya tak peduli. "Sejak awal lo itu bukan milik gue, jadi buat apa gue merasa dikhianati?" Pemuda itu pun melewati Chika dan berjalan masuk ke kamar mandi.
Chika tidak bisa menahan diri untuk tidak tersenyum lebar saat ini. Saking merasa girangnya dia sampai tidak menyadari bahwa ternyata Raka masih setia berdiri di depan kamar mandi dan belum masuk ke sana. Raka berada tepat di belakang punggungnya.
"Tapi ada satu hal yang harus lo inget, Chik."
Merasa terkejut, Chika langsung berbalik dan menatap Raka bertanya-tanya, meminta penjelasan. Senyum lebar dan manisnya luruh dalam sekejap.
Sambil menatap Chika serius, Raka katakan, "Lo nggak bisa terus-terusan nyembunyiin status kita dari cowok lo itu. Cepat ato lambat, dia pasti bakalan tau. Entah itu dari mulut lo sendiri, ato malah dari mulut orang lain. Tapi gue rasa, akan lebih baik kalo dia denger kejujuran dari mulut lo langsung."
Deg!
Tiba-tiba saja Chika merasakan kalau tubuhnya kaku. Dia bahkan tidak sempat merespon kata-kata Raka sampai pemuda itu kembali melanjutkan, "Karena kalo sampe dia tau dari orang lain, rasanya akan jauh lebih menyakitkan. Gimana pun juga kita ini udah terikat, jadi sekalipun dia yang duluan pacaran sama lo, tetep gue suami lo. Paham, kan?"