"Berdua aja sama Raka?!"
Jantung Chika seolah jatuh ke perut saat mendengar perkataan Opa Alaric yang baru saja memberitahunya soal rencana kepergian beliau ke Singapore bersama Armand dan Mbak Asri. Baru Chika ketahui kalau Opa memang sudah menjalani rawat jalan di salah satu rumah sakit Singapore selama beberapa tahun ini. Mereka biasanya menghabiskan waktu selama beberapa hari atau bahkan pekan di sana. Chika juga sedikit curiga kalau mereka sengaja melakukan itu agar dirinya dan Raka bisa berdua saja di rumah. Bisa saja mereka mengulur waktu kepulangan hanya untuk mendekatkan dia dan pemuda itu.
Opa dan Armand tertawa. Chika mengerucutkan bibir karenanya.
"Kalian kan suami-istri apa salahnya sih tinggal berdua aja di rumah? Kenapa kamu sekaget itu, Chik?" tanya Opa usai meredakan tawanya. Chika menggeleng lemah dan mengembuskan napas lesu.
Chika punya alasan yang cukup kompleks kenapa dia bersikap seperti ini. Raka sudah mendiamkan dirinya selama beberapa hari karena kejadian tempo hari. Sebenarnya, tanpa adanya hal ini pun dirinya sudah pasti akan bereaksi yang sama, merasa tak nyaman jika harus tinggal berduaan dengan Raka di rumah besar ini. Namun, dengan adanya perang dingin antara mereka berdua, sudah pasti rasanya semakin tak nyaman.
"Assalamualaikum."
Panjang umur, batin Chika begitu mendengar bariton khas yang disusul dengan kemunculan Raka di ruang keluarga. Pemuda itu muncul dengan tas punggungnya, pertanda kalau dia baru pulang entah dari kampus atau skripsian di kafe, Chika pun tidak tahu. Namun yang jelas, terlihat dari luar kalau tas Raka berisikan laptop.
"Panjang umur," decak Armand yang kini bangkit dari sofa dan merangkul sang keponakan yang dahinya penuh kerutan karena merasa bingung. Senyum jahil khas Armand pun terulas. Lelaki tiga puluhan tahun itu berujar, "Kamu jagain Chika ya selama kita ke Singapore."
"Hah?!" Rupanya reaksi Raka tak kalah mengejutkan dari Chika tadi. Hal ini membuat Alaric dan Armand saling tatap kebingungan kemudian terkekeh.
"Kamu sama Chika kenapa sih? Reaksi kalian lebay banget deh pas kami kasih tau soal ini." Armand menggeleng tak habis pikir. Dia menepuk-nepuk bahu Raka guna menenangkan. "Kalian kan udah nikah, sekamar pula. Masa iya masih canggung sih kalo di rumah berduaan aja?"
Raka hanya mendengus dan mengalihkan pandangan, ke manapun asal bukan ke arah Alaric, Armand, dan Chika. Melihat dari sikapnya ini Chika tahu pasti Raka juga merasa tak nyaman.
"Ya udah, yuk Pi mending kita siap-siap buat besok pagi," ajak Armand yang seolah memberi isyarat kepada sang ayah agar meninggalkan sepasang suami-istri yang sedang perang dingin itu berdua saja.
Selepas kepergian Alaric dan Armand ke kamar Alaric, Raka dan Chika justru terdiam di tempat masing-masing. Sibuk tenggelam dalam pikiran dengan diselimuti rasa canggung akibat pertengkaran beberapa hari lalu.
Chika menjadi orang pertama yang pulih dari keterdiaman. Gadis itu bangkit dari sofa dan berjalan meninggalkan ruang keluarga. Chika tidak tahu itu hanya perasaannya saja atau bagaimana, tapi dia merasa kalau Raka mengekorinya. Chika mendadak merasa gugup, tapi dia berpura-pura tak menyadarinya dan segera masuk kamar guna mengambil ponsel dan kembali ke ruang keluarga untuk menonton televisi. Namun, niatannya langsung batal karena mendengar Raka berujar, "Gue mau ngomong bentar."
Chika, yang posisinya masih membelakangi Raka pun berbalik secara perlahan guna memusatkan atensi kepada pemuda itu. Raut Raka tidak sedingin beberapa hari ini, justru dia tampak tak enak hati sekarang.
Chika menaikkan sebelah alisnya, merasa heran sekaligus ingin bertanya ada apa di balik sikap Raka ini. Akan tetapi, dia urung melakukannya karena Raka tiba-tiba mengatakan sesuatu di luar ekspektasi Chika. Membuat gadis itu melotot tak percaya karenanya.
"Gue minta maaf atas sikap gue beberapa hari ini. Gue salah karena udah kebawa perasaan dan marah-marah nggak jelas ke lo, padahal lo nggak tau apa-apa. Maaf ya sekali lagi."
Chika yang masih merasa kaget sampai kehabisan kata-kata untuk membalasnya. Gadis itu hanya berkedip tanpa mengatakan sepatah kata pun dan tiba-tiba saja menyentuh dahi Raka. Raka yang merasa bingung awalnya tidak bereaksi, tapi beberapa saat kemudian dia segera menepis tangan Chika. "Apaan sih lo?"
"Dahi lo gak panas kok, suhu normal. Lo berarti lagi sehat-sehat aja, 'kan? Tapi, kok ngelantur sih? Habis kepentok apaan lo? Atau, lagi kesambet?" Chika dan segala macam pertanyaannya yang terdengar menyebalkan bagi Raka yang ditanyai seperti itu. Raut wajahnya masih tidak menyangka, tapi ada unsur kepura-puraan di dalamnya, atau dengan kata lain dibuat-buat untuk menggoda Raka.
Raka berdecak dan berusaha sabar saat menjelaskan, "Gue serius, tau! Gue nggak habis kepentok atau ngelantur. Gue beneran minta maaf sama lo." Chika masih saja terkikik geli saat Raka dengan serius menjelaskan, "Kemarin-kemarin gue kekanakan banget dengan marahin lo kayak gitu, padahal itu sama sekali bukan urusan gue dan gue nggak berhak atur-atur lo. Gue udah salah karena ngelibatin perasaan pribadi gue ke dalam masalah kemarin. Maaf, karena lo harus jadi pelampiasan atas amarah gue kepada orang lain."
Chika yang mendengarkan ketulusan Raka pun mulai menanggapi dengan serius kali ini. Ada satu hal yang dikatakan oleh Raka yang membuatnya penasaran, tapi dia tidak berani bertanya lebih jauh. Gadis hanya itu mengangguk-angguk dan tersenyum tipis sebagai balasan. "Iya, gue maafin kok. Makasih juga atas bantuan lo hari itu. Gue juga minta maaf kalo seumpama ada kata-kata atau sikap gue yang nyinggung lo, sengaja maupun nggak sengaja."
Raka menanggapi dengan senyum tipis. "Sama-sama."
Kecanggungan kembali melanda. Entah kenapa dua anak manusia berbeda gender itu merasa sangat gugup kini. Udara di sekitar mereka mendadak berubah sehingga menyebabkan rasa gerah. Keduanya juga tak berani menatap satu sama lain dan terus berdiri berhadap-hadapan sambil melihat ke arah lain guna menutupi kegugupan. Wajar mereka merasa begitu karena ini pertama kalinya mereka saling meminta maaf atas pertengkaran yang terjadi.
Chika yang sudah tak tahan dengan atmosfer itu segera teringat akan niatannya mengambil ponsel. Gadis itu pun buru-buru mengambil ponsel yang tergeletak di atas nakas dekat tempat tidurnya dan berujar, "Ya udah, gue keluar dulu."
Raka terkesiap. "Oh, iya ..." Pemuda itu buru-buru melepas tas punggungnya dan meletakkannya di kasur, berusaha bersikap seperti biasa salah tingkah. Memastikan Chika benar-benar menghilang di balik pintu sebelum akhirnya mengembuskan napas panjang mengusir kegugupannya.
Senyum malu pun terukir di benaknya ketika teringat akan sikap konyolnya beberapa saat lalu. "Gue kenapa sih? Aneh banget."
Mengenyahkan perasaan aneh di hatinya, Raka pun mengambil seperangkat pakaian ganti sebelum masuk ke kamar mandi guna membersihkan diri.