It's Over Now

1157 Words
Hari ini sepertinya semesta mendukung Leta yang memang sedang tidak bersemangat menjalani perkuliahan untuk bersantai saja. Pasalnya, dari ketiga kelas yang seharusnya dia hadiri pada hari ini, semuanya kosong atau dengan kata lain tidak ada kegiatan perkuliahan. Untuk kelas metode statistik memang sudah diberitahukan sejak minggu sebelumnya, begitu pula dengan aljabar linear elementer yang diumumkan kemarin. Alasan Leta datang ke kampus pagi-pagi seperti ini adalah kelas matematika kontekstual, tapi sampai jam kuliah selesai sang dosen tak kunjung datang juga. Mengembuskan napas panjang pertanda lelah, Leta memeriksa jam tangannya. Ini masih terlalu dini untuk pulang, sedangkan dia juga suntuk berada di rumah. Alhasil, Leta putuskan untuk pergi ke kantin atau perpustakaan dan menunggu sampai agak sore untuk pulang. Andai saja Chika berada di kelas yang sama dengannya, Leta tidak perlu merasa kesepian karena berjalan sendirian di koridor gedung matematika seperti ini. Namun tak apa, dengan begini Leta jadi memiliki waktu untuk me time. Kemarin Chika sudah meluangkan banyak waktu untuk menghiburnya, jadi Leta tidak ingin mengganggu sang sahabat lagi. Tujuan Leta adalah perpustakaan MIPA. Dia berniat menyalin atau merapikan materi perkuliahan di buku catatannya sambil menunggu waktu yang tepat untuk pulang. Gadis itu mengambil buku catatan, alat tulis, ponsel, serta headset dari tasnya sebelum meletakkannya di rak penitipan. Setelah memastikan kalau barang-barang yang dia butuhkan sudah dia bawa, Leta pun mengisi daftar presensi perpustakan. Lantas, dia pun mencari meja yang kosong dan duduk di sana. Kebetulan meja yang dituju oleh Leta benar-benar kosong tanpa ada yang menempati sama sekali. Rutinitas Leta sebelum mulai mengerjakan tugas atau hanya mencatat seperti ini adalah sambil mendengarkan musik, jadi begitu dirinya duduk di meja kosong tersebut, Leta langsung menyambungkan headset-nya ke ponsel dan memutar lagu secara acak. Setelah itu, barulah dia membuka bukunya dan menyiapkan alat tulis. Baru lima belas menit Leta melakukan kegiatannya, tiba-tiba ada seseorang yang mengetuk mejanya dengan jari, seakan meminta perhatian. Leta yang sadar kalau dirinya sedang memakai headset pun refleks melepaskannya dan mendongak. Seorang pemuda tampan tersenyum sopan padanya dan bertanya, "Meja ini kosong, 'kan? Boleh duduk di sini nggak? Meja lainnya penuh." Leta melihat sekeliling dan mendapati kalau meja-meja yang tadinya masih belum terlalu penuh kini sudah dipenuhi oleh mahasiswa lainnya. Gadis itu segera mengalihkan atensinya kembali kepada sosok si mahasiswa tampan. Sambil tersenyum sopan Leta katakan, "Oh iya, duduk aja nggak papa, kok." "Makasih." Laki-laki itu mengambil tempat di ujung meja, di mana posisinya kini jadi bersilangan dengan Leta duduk. Leta hendak melanjutkan aktivitasnya ketika tiba-tiba ponselnya bergetar dan menampilkan panggilan dari Teza di layar. Seketika ketegangan menyelimuti dirinya. Leta paham betul pasti Teza meneleponnya setelah tahu kalau dirinya sudah tahu soal perselingkuhannya. Namun, Leta tidak ingin menjadi pengecut karena sengaja menghindari Teza seperti yang dia lakukan sejak beberapa hari terakhir. Maka dari itu, dia mengembuskan napas guna menekan rasa marah dan kecewanya lalu menjawab, "Kenapa?" Siapapun yang mendengar nada bicaranya pasti tahu kalau Leta sedang menahan rasa sesaknya lewat satu kata yang dingin itu. Ada jeda yang cukup panjang dari ujung sambungan. Leta berpikir kalau pasti Teza merasa kaget mendengar respons darinya yang begitu dingin. Usai memulihkan diri dari keterkejutan, Teza pun menjawab, "Aku lagi di MIPA. Ada yang mau aku omongin sama kamu. Bisa ketemu sekarang, nggak?" Kali ini giliran Leta yang merasa kaget dengan alasan berbeda. Sungguh, sebenarnya kalau bisa dia tidak ingin bertemu dengan Teza lagi, tapi di sisi lain dia juga sadar bahwa apa yang terjalin di antara mereka belumlah usai kendati Teza sudah merusaknya. Dia pikir tidak ada salahnya untuk bertemu dengan kekasihnya itu karena sepertinya Teza memang ingin membahasnya. "Oke, lo sekarang di mana? Gue ke sana." Jeda agak lama lagi sebelum Teza menjawab, "Lobi gedung auditorium MIPA." "Oke." Leta buru-buru mengakhiri panggilan dan membereskan barang-barangnya, tanpa tersadar kalau ada satu barang yang rupanya tertinggal di meja saat dia bangkit kemudian mengambil tas di rak penitipan. "Lho?" Pemuda yang tadi berbagi meja dengan Leta akhirnya melihat headset berwarna putih yang tergeletak di atas meja setelah beberapa menit berlalu. Dia mengambil headset tersebut dan melihat keluar perpustakan, tapi nihil. Leta sudah tak terlihat di manapun. Menghela napas panjang nan lesu, pemuda itu berniat kembali masuk ke perpustakaan, tapi sebuah suara yang begitu lantang meneriakkan namanya menghentikan niatan tersebut. "Dewa!" Sambil menghela napas pasrah, Dewa pun memutar tubuhnya ke arah datangnya suara. Levi dengan cengirannya yang khas setengah berlari ke arahnya dan kemudian langsung merangkulnya. "Pas banget ketemu lo di sini!" seru Levi sambil mengatur napasnya. Pemuda jangkung itu menaik-turunkan alisnya. "Kantin, yuk! Theo sama Temmy lagi bimbingan, nih. Nggak enak kalo makan sendiri." Dewa berdecak. "Gue lagi ngerjain skripsi nih di dalam." "Ck, ngerjain skripsi juga tetep butuh asupan nutrisi, Wa. Mendingan makan dulu, habis itu lanjut lagi. Ntar gue juga ikut skripsian deh di dalam, soalnya ngepas banget nih, ada teorema yang gue belum paham. Mau minta dijelasin sama lo." Levi masih dengan cengiran lebarnya berusaha bernegosiasi. Dewa yang sudah sangat terbiasa dengan kelakuan sahabatnya pun mendengus dan menggeleng tak percaya. "Ya udah, tunggu bentar gue ambil tas dulu." Levi pun bersorak karena telah berhasil mengajak Dewa makan, sedangkan Dewa yang masih membawa headset milik Leta di tangannya pun mau tak mau harus menunggu sampai dirinya bertemu lagi dengan gadis itu untuk mengembalikan headset-nya. *** "Mau ngomong apa?" tembak Leta langsung begitu sampai di lobi. Teza yang memunggunginya pun membalikkan badan. Seketika tampak gugup menghadapi tatapan tajam dari Leta, pasalnya gadis itu tak pernah bersikap begitu pada dirinya. "Eh, ini soal—" "Sebelum lo mulai, gue mau bilang kalau gue udah tahu semuanya." Begitu Leta mengatakannya, Teza tampak begitu terkejut, apalagi saat menyadari kalau gadis di hadapannya mengatakan hal itu sambil menahan diri untuk tidak menumpahkan air mata. Hal ini terdengar jelas dari getaran di suaranya. "Dan asal lo tau aja, jauh sebelum Chika dan Kak Levi tau, gue udah tau duluan, tapi gue memilih diam dan pura-pura nggak tau apa pun." "Kenapa?" Teza yang sejak tadi diam pun membuka mulutnya. Ekspresi wajahnya menunjukkam kalau dia begitu terkejut mendapati fakta itu. "Kalo kamu tau dari awal, kenapa kamu diam aja? Kenapa nggak langsung—" "Karena gue udah terlalu sakit hati sama lo!" Akhirnya pecah juga tangis Leta setelah ditahan mati-matian sejak tadi. Gadis itu memang tidak terisak, tapi air mata membanjiri pipi pualamnya. "Lo tau nggak sih seberapa sakitnya gue sampai bikin gue gak sudi ketemu sama lo? Rasa sakitnya itu sampai bikin gue mati rasa." Teza yang sejak tadi menatap Leta kini hanya menunduk, merasa malu dan merasa bersalah pada saat yang sama. Lidahnya terlalu kelu untuk mengucapkan kata maaf. Teza merasa kalau dirinya terlalu hina untuk mengucapkannya kepada sosok cantik yang tengah menangis di hadapannya. "Lo nggak perlu jelasin apa-apa lagi ke gue dan lo juga nggak perlu bilang apa-apa ke gue karena gue yang akan mengakhiri semuanya." Leta menarik napas dalam-dalam kemudian berujar, "Mulai sekarang kita putus dan lo bebas ngapain aja sama cewek baru lo. Congrats, ya." Tepat setelah mengatakannya, Leta pun berbalik pergi meninggalkan Teza yang masih setia menunduk merutuki kesalahannya.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD