Chika sampai di rumah pukul 9 malam. Gadis itu menemani Leta dan memastikan sang sahabat baik-baik saja sebelum mereka pulang ke rumah masing-masing. Tadinya bahkan Chika ingin mengantar Leta pulang, tapi arah rumah mereka berlawanan sehingga Leta melarangnya. Chika pun menurut dan di sinilah dia sekarang, dapur.
Chika membuka pintu kulkas dan mengambil botol minum berisikan air mineral. Sebelum menjatuhkan p****t di kursi meja makan, gadis itu terlebih dahulu mengambil gelas dan menuangkan air ke dalamnya. Mengisinya setengah kemudian meneguknya sampai habis.
Usai menandaskan minuman, bukannya beranjak ke kamar, Chika justru meletakkan kepalanya di atas meja. Entah kenapa dia merasa sangat lelah setelah melewati hari ini. Mungkin Chika lelah bukan secara fisik, melainkan psikis. Bagaimana tidak? Hari ini banyak sekali hal yang membuatnya begitu terkejut, dimulai dari perselingkuhan Teza dan Trisha hingga permasalahan keluarga Leta. Chika tahu bahwa itu bukanlah masalahnya, tapi Teza dan Leta adalah sahabatnya, jelas dia tidak bisa mengabaikan masalah mereka begitu saja, apalagi dalam hubungan percintaan Teza dan Leta dialah yang menjodohkan keduanya dulu.
“Teza berengsek,” geram Chika sambil mengangkat kepalanya dari meja. Amarahnya yang sudah padam sejak tadi kini mendadak kembali mendidih. “Trisha juga sama aja. Pokoknya gue harus kasih mereka pelajaran.”
“Terus kalau udah kasih pelajaran mau apa?”
Pertanyaan bernada sinis itu terlontar dari mulut Raka yang baru saja memasuki dapur. Dia membawa gelas kosong yang sepertinya bekas minuman. Raka berjalan santai ke wastafel guna mencuci gelas tersebut tanpa mengindahkan sosok Chika yang memelototinya tajam.
“Biar itu jadi urusan gue! Kok lo jadi kepo sih?”
“Ya iyalah gue kepo, gimanapun juga gue yang duluan tau soal perselingkuhan itu dan gue juga udah bantu lo ngerekam semuanya. Wajar dong gue nanya gitu?”
Raka selesai dari kegiatannya, tapi dia tak kunjung beranjak dari dekat wastafel. Dia tetap berdiri di sana sambil bersedekap menatap Chika dengan penuh selidik. “Gue saranin mending lo diam dan nggak usah ikut campur sama hubungan mereka. Mereka udah sama-sama dewasa, jadi gue yakin mereka bisa selesaiin ini sendiri.”
“Masalahnya gue juga turut andil pas mereka jadian. Gue yang nyomblangin mereka—“
“Ya terus?” sela Raka. Pemuda itu kini berjalan mendekati meja makan di mana Chika masih setia duduk di sana. Tangannya berada di atas meja, menyangga tubuh tingginya yang sedang sedikit membungkuk. “Mereka ngejalin hubungan atas kemauan mereka sendiri, kan? Walaupun lo jodohin mereka, tetap mereka yang pada akhirnya memilih untuk memulai sebuah hubungan. Jadi, kalo ada masalah sama hubungan mereka, cuma mereka yang berhak selesaiin. Lo nggak perlu ikut andil.”
Chika masih saja cemberut mendengar perkataan Raka yang dirasanya benar. Ya, kata-kata memang akurat, tapi Chika benci mengakuinya, itu sebabnya dia hanya bisa diam tanpa berani menyanggah.
“Gue tau lo berempati sama Leta secara kalian sama-sama cewek.” Raka kembali menegakkan tubuhnya dan memasukkan kedua tangan ke saku celana trainingnya. “Gue juga tau lo kecewa berat sama Teza yang udah nyakitin Leta, tapi jangan memperburuk keadaan dengan lo ngelabrak Teza sama Trisha. Jangan kebawa perasaan.”
“Terus, lo sendiri gimana? Kenapa lo tadi marah banget pas tau Leta diam aja setelah Teza selingkuhin dia?” Chika melancarkan serangan lewat kata-katanya. Dilihatnya kini Raka tampak terkejut ditodong pertanyaan itu. “Yang bikin gue ngerasa aneh tuh ya, lo kan selingkuhannya cewek-cewek di kampus, tapi kenapa lo justru ngerasa tersakiti pas liat Leta diselingkuhi?”
“Lo nggak tau, kan apa aja yang udah gue alami selama ini?” Raka meninggikan suaranya. Wajahnya kini memerah dan matanya berubah tajam. “Gue tanya, pernah nggak lo diselingkuhi Juno?”
“Rak, lo—“
“Kalo lo nggak pernah diselingkuhi, bersyukurlah. Asal lo tau, ya, apa yang gue lakuin sekarang itu adalah akibat dari apa yang pernah gue rasain dulu. Dan kalo lo ngeuh, cewek-cewek yang selingkuh sama gue adalah cewek-cewek yang emang pantes dimainin. Mereka sampah, bukan cewek baik-baik kayak Leta. Leta sama sekali nggak pantes digituin, itu sebabnya gue marah.”
Sadar kalau dirinya telah terbawa emosi, Raka merilekskan wajahnya. Dia mengembuskan napas perlahan sambil memejamkan mata.
Chika yang terkejut melihat perubahan sikap Raka hanya bisa terpaku, mencerna semua perkataan pemuda di hadapannya.
Raka terkekeh sinis dan berujar, “udahlah, ngapain juga gue omongin semuanya ke lo. Lo juga nggak akan ngerti, kan? Terserah deh lo mau labrak Teza sama Trisha atau gimana bodo amat. Lagian itu juga urusan lo, bukan urusan gue.”
Usai berkata demikian, Raka pun pergi meninggalkan dapur dengan amarah menggebu. Chika yang masih syok dan terheran-heran hanya mampu membisu. Setelah punggung Raka tak terlihat lagi barulah dia menoleh ke arah perginya pemuda itu dan bergumam, “kok hari ini Raka aneh banget sih?”
***
Chika berangkat ke kampus tidak sepagi kemarin. Wajahnya tampak lesu, pun dengan langkah kakinya yang terasa berat. Energinya seolah sudah tersedot seharian kemarin dan kini yang ada hanyalah sisa-sisanya. Sebelum berangkat ke kampus pun dia tidak berselera untuk makan. Sikapnya ini sempat mengundang kecurigaan Opa. Beliau mengira Chika sedang bertengkar dengan Raka—yang jika dipikir-pikir lagi ini tidak sepenuhnya salah karena semalam mereka memang berdebat. Bahkan, semalam Raka memilih untuk tidur di lantai dengan beralaskan selimut cadangan dan bangun pagi-pagi sekali agar tidak bertemu dengan Chika.
Sebenarnya Chika tidak terlalu memusingkan pertengkaran mereka semalam, hanya saja dia dibuat penasaran dengan sikap Raka yang tidak seperti biasanya. Sehebat apa pun pertengkaran mereka, Raka tidak pernah sampai menghindarinya. Terlebih lagi, masalah Teza dan Leta yang belum selesai terus membuatnya kepikiran.
“Jadi pengin kopi deh,” gumam Chika usai melihat seorang mahasiswi keluar dari minimarket kampus dengan membawa sebotol kopi kemasan. Dia pun masuk ke minimarket tersebut, tapi belum sempat dia menghampiri rak yang berisikan kopi, dia justru berpapasan dengan sosok yang menjadi sumber kemarahannya kemarin di kasir. Sosok yang membuatnya ingin memaki dan memukulinya jika bertemu. Siapa lagi kalau bukan Teza Adinata, sang sahabat?
“Lo ….” Chika sudah bersiap menyumpahi Teza yang begitu terkejut melihatnya. Namun, dia urungkan sekuat tenaga. Alih-alih memaki, Chika mengatupkan kembali bibirnya dan berdesis, “kebetulan kita ketemu di sini. Gue mau ngomong sama lo.” Tanpa basa-basi dan tanpa menunggu jawaban sang lawan bicara, Chika menarik tangan Teza guna meninggalkan minimarket. Membawa pemuda itu ke tempat yang cukup sepi agar mereka bisa bicara dengan leluasa.
“Kenapa? Lo mau maki-maki atau mukulin gue kayak Kak Levi? Silakan! Maki dan pukul gue aja sampai lo puas!” cecar Teza langsung sambil menujukkan pipinya. Dia bahkan menarik tangan Chika agar memukulnya, tapi dengan kasar dihempaskan oleh sang empunya tangan.
“Heh, asal lo tau, ya!” Chika membentak. “Lo itu terlalu berengsek buat gue maki-maki atau pukulin. Tenaga gue terlalu berharga buat ngeladenin orang kayak lo. Lagian, gue rasa Leta lebih berhak lakuin itu.”
Teza diam dan menunduk, tak berani menatap langsung netra sang sahabat.
Chika menghela napas kasar dan kembali bersuara, “lo mau tau apa tujuan gue nyeret lo ke sini? Gue cuma butuh penjelasan kok, Za. Kenapa sih lo setega itu sama Leta? Leta salah apa sampai lo—“
“Leta nggak salah apa-apa, kok. Gue-nya aja yang b**o ngira kalau gue udah bisa lupain Trisha, padahal belum sama sekali.”
Chika terkejut mendengar kata-kata pemuda di hadapannya. “Za—“
“Gue tau gue berengsek banget, Chik. Gue mulai sebuah hubungan tanpa terlebih dulu nuntasin perasaan gue ke orang lain. Gue juga ngiranya gue udah move on, Chik. Tapi, pas gue sama Trisha deket lagi dan kali ini respons dia lebih baik daripada dulu, gue mulai yakin kalau apa yang gue rasain ke Trisha itu benar dan gue mulai ragu sama perasaan gue ke Leta.”
“Tapi lo sama Leta udah jadian selama hampir tiga tahun dan lo baru sadar sekarang? Za, bahkan dulu lo yang nembak Leta duluan! Masa iya lo nggak ada rasa ke dia?”
“Gue pernah ada rasa sama dia, Chik!” Kali ini suara Teza meninggi. Pemuda itu diam sejenak guna menetralkan napasnya yang sempat menggebu selama beberapa detik. “Gue pikir gue ada rasa sama dia, sampai akhirnya Trisha datang lagi ke dalam kehidupan dan bikin gue ragu sama perasaan gue sendiri.”
Chika semakin menatap Teza tak mengerti. Sungguh, dia sampai tidak tahu harus merespons bagaimana lagi. Kalimat demi kalimat yang terlontar dari mulut sang sahabat seketika membuatnya linglung.
“Maaf, Chik, gue—“
“Jangan minta maaf ke gue, Za. Gimanapun juga yang lo sakitin itu Leta, bukan gue. Tapi asal lo tau, Za, gue kecewa banget sama lo. Setidaknya kalo lo emang udah gada rasa ke Leta, putusin dia baik-baik, bukan lo selingkuhin—“
“Terus, gimana sama lo? Lo juga gitu kan ke Juno?”
“Hah?”
Teza tertawa sinis, raut penyesalan yang ditunjukkan olehnya beberapa saat lalu berubah menjadi sinis. “Lo sendiri juga nggak jujur dari awal kan ke Juno kalo lo udah nikah sama orang lain. Lo mau beralasan apa? Kalo lo nggak tega ngomong semuanya ke Juno? Karena lo masih sayang sama dia? Ujung-ujungnya lo juga sama aja kayak gue, Chik. Lo juga nyakitin Juno semakin dalam karena nggak jujur dari awal.”
Chika membuka mulutnya guna menimpali, tapi dia katupkan kembali. Bongkahan amarah sudah bergemuruh di dadanya, tapi alih-alih ingin menumpahkan sumpah serapah, caci maki, atau apa pun untuk menepis anggapan Teza, Chika hanya bisa diam. Sejatinya dia menahan diri agar tidak menangis karena hantaman rasa sakit yang turut datang saat Teza mengatainya seperti itu.
“Situasi lo sama gue beda, Za.” Akhirnya Chika meloloskan kata-kata dengan mulutnya yang sedikit terkatup, menahan tangis. “Gue nggak ada pilihan selain nerima perjodohan itu dan terpaksa bohongin Juno, sedangkan lo? Lo punya pilihan untuk jujur dari awal, tapi lo nggak lakuin itu. Gue tahu, mungkin lo ngerasa gue seburuk itu, tapi buat gue ini soal situasi kondisi dan pilihan.”
Giliran Teza yang diam dan hanya membuang pandangan.
“Lo tau, Za? Gue kenal lo dari SMP dan gue nggak pernah sekecewa ini sama lo. Kita bukan sekali-dua kali berantem, tapi kali ini gue rasa ini adalah puncaknya.” Chika menarik napas dan mengembuskannya perlahan. “Gue tau, mungkin dengan gue konfrontasi lo kayak gini bikin lo muak sama gue, jadi gue minta maaf karena udah ikut campur ke dalam masalah hubungan kalian.”
Usai berkata begitu, Chika pun berbalik pergi meninggalkan Teza tanpa sepatah kata pun. Hari itu, tanpa perlu banyak diperjelas lagi, persahabatan Chika dan Teza berakhir.