Aku tiba-tiba terbangun di sebuah ruangan yang dingin. Dinding batu berwarna hijau muda, gorden putih, jendela kaca dan ranjang tempatku berbaring. Semuanya tidak terlihat kuno.
Ini rumah sakit?
Mungkin insiden itu yang membuatku kembali ke dunia nyata. Syukurlah, aku tidak harus menghadapi situasi mengancam nyawa lagi di tempat aneh itu.
Akan tetapi, di mana semua orang?
Aku tidak melihat siapa pun di sekitar. Ibu, Dion, Kak Teta dan Yull. Di mana semua keluargaku? Ruangan ini terlalu sunyi, sampai-sampai bisa terdengar jelas udara AC yang sedang berhembus.
Tubuhku seperti terkunci di ranjang ini, tidak bisa digerakkan sama sekali. Hanya bola mataku yang bergerak-gerak sejak tadi.
Sekelebat cahaya tiba-tiba masuk dari celah pintu. Seorang perempuan dalam balutan gaun merah pekat berjalan mendekat ke arahku. Rambut pirang dan kulit pucatnya seperti tidak asing.
Gwen?
Saat perempuan itu mengikis jarak, aku semakin yakin dia memang Gwen Patricia Willson. Hanya saja, warna manik matanya hijau emerald. Berbeda dengan manik mataku yang berwarna hazel. Mungkin itulah wujud Gwen yang asli, dia benar-benar indah seperti objek lukisan.
Aku sudah kembali ke duniaku, kan?
Lantas kenapa aku melihat Gwen di sini?
Dia menyentuh punggung tanganku yang dipasangi selang infus. "Naina, jiwaku tidak bisa kembali. Berhati-hatilah dengan orang itu."
Tubuh Gwen langsung melebur di udara setelah mengucapkan kalimat yang tidak aku pahami. Dia ingin aku berhati-hati dengan siapa? Aku mencoba menggerakkan bibirku perlahan-lahan.
"Gwe ... n"
"Gwe ... n."
"Kau sudah sadar?"
"Hey, kau dengar aku?"
Suara itu seolah memanggil jiwaku kembali ke alam sadar. Membuatku langsung terbangun dengan napas tersengal-sengal seperti habis marathon. Beberapa saat kemudian kusadari bahwa tempat ini masih saja sama. Aku belum kembali sama sekali.
Ternyata suara yang memanggilku tadi milik William. Hanya dia yang berada di pinggir ranjang saat mataku terbuka. Entah kenapa mimik wajahnya yang datar itu membuatku kesal dan segera bangun dari ranjang.
Kemudian aku teringat kembali mengenai serangan naga api tersebut.
"Bagaimana dengan Catherina?" tanyaku pada William.
"Dia baik-baik saja, tidak usah berpura-pura peduli."
Ya ampun, dia masih saja julid seperti biasa. Bisa-bisanya dia berbicara seperti itu pada orang yang sedang sakit. Sebentar, tapi kenapa aku tidak merasa sakit sama sekali?
Aku meraba-raba tubuhku, maksudku tubuh Gwen di depan William. Tidak ada bekas luka bakar sama sekali, padahal aku ingat dengan jelas bagaimana api merayap di gaun yang aku pakai.
"Kenapa kau menyelamatkan Catherina waktu itu?" William tiba-tiba memberi pertanyaan aneh, aku mengerutkan dahi.
"Waktu itu? Sudah berapa lama aku tidak sadar?"
William berdecak, mungkin kesal karena aku membalas pertanyaannya dengan pertanyaan lain.
"Kau pingsan selama tujuh hari," ucapnya tak acuh.
Kedua alisku mengerut. Seingatku kecelakaan itu baru saja tejadi. Kenapa aku bisa pingsan selama tujuh hari?
"Kau tahu cara berhitung, kan?" tanyaku. Sekadar ingin memastikan William tidak salah hitung jumlah hari.
"Jangan mengalih pembicaraan!" Dia membentak.
Sabar, orang cantik harus sabar. Tempramen William benar-benar buruk, seperti ada petasan yang siap meledak setiap kali dia berbicara.
"Katakan padaku kenapa kau menyelamatkan Catherina?" William kembali mempertanyakan alasanku menyelamatkan Catherina dari serangan naga.
Aku mendengus sebal. Dia ini seperti dilahirkan untuk menjadi musuhku saja.
"Memangnya harus ada alasan untuk menyelamatkan seseorang?" Aku balik bertanya. Jakun William bergerak naik turun, dia tampak seperti sedang menelan ludah.
"Pasti kau melakukannya untuk mencari perhatian dan dianggap sebagai pahlawan, kan?"
Aku benar-benar tidak mengerti kenapa ada manusia yang bisa membenci seseorang sedalam ini. Kami baru kenal seminggu lebih, tetapi dia selalu melihat sisi buruk dari apa pun yang aku lakukan.
Jika dia tidak menyukai Gwen karena merusak rumah tangga Elleona, aku masih bisa memahaminya. Akan tetapi, sikap William sekarang sungguh keterlaluan. Kecelakaan yang kualami bahkan tidak berkaitan dengan Elleona dan Edmund.
Aku menarik napas dalam, kemudian berjalan menuju pintu kamar. Sebelum keluar, aku mengatakan sesuatu yang berasal dari lubuk hatiku terdalam.
"Aku tidak tahu bagaimana kau tumbuh besar, sehingga kau selalu melihat segala sesuatu dari sisi buruknya. Tapi setidaknya jangan menilai ketulusan seseorang dari sudut pandang serendah itu. Aku tidak pernah berpikir untuk mempertaruhkan hidupku sendiri hanya untuk mendapatkan simpati dari orang lain."
Setelah itu, aku meninggalkan William di kamarku dengan perasaan kesal yang memuncak. Sejak mengenalnya, aku tidak menemukan sedikit pun keramahan dalam diri William. Hanya ada kemarahan di matanya.
Aku jarang tersinggung dengan ucapan orang lain, tapi kata-kata William entah kenapa membuat hatiku sakit. Mungkin karena aku bisa melihat jelas kebencian yang ada di matanya.
Padahal aku benar-benar tidak memikirkan hal lain saat melindungi Catherina. Aku hanya melakukan apa yang manusia biasa akan lakukan di dalam kondisi itu.
Saat ini hanya Goliath yang bisa aku pikirkan. Aku mencarinya di sepanjang halaman belakang istana. Pergi ke rumahnya, tetapi dia tidak di sana. Entah bagaimana kondisi Goliath setelah terkena api dari naga waktu itu.
"Goliath, kau di mana?" Aku memanggil namanya, tetapi tidak ada respon. Jangan-jangan telah terjadi sesuatu yang buruk pada Goliath sehingga dia tidak kembali.
"Goliath!"
"Goliath!"
"Goliath!"
Sambil memanggil namanya, aku terus menelusuri bukit di belakang istana. Tak lama kemudian, ada pergerakan dari semak yang sepertinya menuju ke hutan rimbun. Goliath ada di sana, tampaknya dia akan masuk ke dalam hutan.
Aku kembali memanggil namanya, tetapi kucing besar itu tidak menoleh sama sekali. Tidak mau kehilangan jejak Goliath, aku berlari mengejarnya dari belakang.
"Perhatikan langkahmu."
"Kau mengejar kucing besar itu?"
Entah sedang berhalusinasi atau tidak, aku mendengar bisikan-bisikan kecil dari sekitar hutan.
"Kau sangat cantik."
"Kucing besar itu juga sedang mengejar sesuatu."
Mulai merasa ada yang tidak beres, aku mengedarkan pandangan mengelilingi hutan. Tidak ada satu orang pun sosok manusia di sana. Hanya ada pohon-pohon yang batangnya dipenuhi akar, tanaman jamur yang sepertinya menyala, lumut dan beberapa jenis tanaman rambat yang aku tidak tahu namanya. Lantas, siapa yang sedang berbisik di telingaku?
Jangan katakan bahwa di hutan ini ada dedemit. Membayangkannya saja membuatku merinding.
"Sudah lama aku tidak melihat manusia masuk ke sini."
"Matanya benar-benar indah."
"Hey, aku menyukai baju dan sepatumu!"
"Siapa itu?" Aku meninggikan suara melengking yang dimiliki Gwen. Tiba-tiba terdengar pekikan kecil seperti suara tikus yang sedang ketakutan. Mereka takut dengan suaraku?
"Siapa yang berbicara padaku?" Kali ini aku merendahkan intonasi suara.
"Aku di sini!"
"Aku di sini!"
"Kami di sini!"
Pohon dan tanaman di sekelilingku tiba-tiba bergetar serentak. Dari celah dahan pohon keluar beberapa mahkluk bersayap seukuran burung gereja, tetapi bentuknya seperti manusia dalam ukuran paling mini. Kulit mereka berwarna kehijauan seperti batu giok. Jadi mereka yang baru saja berbicara padaku?
Astaga, apa aku baru saja melihat kaum peri? Salah satu dari mereka terbang dan hinggap di lenganku. Bentuk wajah makhluk kecil itu sangat cantik dan simetris sempurna. Rambutnya berwana putih panjang dengan iris mata kuning yang berkilau. Bahkan aku tidak pernah menemukan manusia secantik mereka.
Ini sebuah fenomena yang sangat langka. Aku harus memberitahu seluruh penghuni kampung mengenai berita menakjubkan ini.
"Kalian ... benar-benar ada?" tanyaku yang sangat takjub.
"Aku tahu namamu," bisik peri yang berdiri di bahuku.
"Aku juga tahu namamu."
"Kami juga!"
Mereka semua seperti senang dengan kehadiranku di sini. Aku mengatur napas agar mereka tidak takut dan lari. Maklum, suara yang dimiliki Gwen sangat tidak sopan jika masuk ke telinga.
"Apa kalian tahu ke mana perginya Goliath?" bisikku pelan.
"Dia pergi ke Barat."
"Dia ke Selatan."
"Tidak! Dia melewatiku."
"Aku yakin dia ke Barat!"
Ternyata tidak ada gunanya bertanya pada mereka. Sama saja seperti bertanya pada kaum perempuan untuk memilih seblak atau bakso.
Di depanku ada tiga cabang jalan yang kelihatannya mirip, mungkin karena semuanya ditumbuhi tanaman serupa.
Karena aku menyukai sesuatu yang lurus, aku akan memilih melewati jalan berbelok ke kanan. Sebab selalu ada ketidakberuntungan setiap kali aku mengikuti kata hati. Beberapa peri mengikuti langkahku dengan terbang di sekitar pohon.
"Goliath! Di mana kau?"
"Goliath!"
"Kau dengar aku?"
Tendengar suara auman Goliath sayup-sayup. Dia pasti tidak jauh dari sini. Mungkin jika berjalan sedikit lagi, aku akan menemukan kucing besar itu.
"Awas!" Para peri itu berteriak serentak.
Tiba-tiba seperti ada yang memegang kedua belah kakiku dan membuatku berteriak kaget. Tidak ada siapa pun di sekitar. Aku hanya menginjak tumpukan daun kering.
Aku mencoba melangkah lagi, tetapi kali ini sangat berat. Seolah ada banyak tangan yang memegang kakiku.
"Siapa kau!" Aku berteriak, mulai panik.
Perlahan daun-daun kering yang bertebaran di tanah membentuk putaran angin seperti p****g beliung kecil.
Dalam sekejap mata dari tumpukan daun-daun tersebut muncul makhluk yang bentuk tubuhnya seperti manusia, tetapi hanya memiliki tinggi rata-rata delapan puluh sampai satu meter. Makhluk apa lagi itu?
Tuh, kan? Benar dugaanku, di hutan ini banyak dedemitnya. Saat-saat seperti inilah yang membuatku paling mengutuk diri sendiri, karena aku tidak bisa pingsan. Coba saja aku ini spesies manusia lemah tak berdaya yang sedikit-sedikit jatuh pingsan. Pasti aku tidak perlu lebih lama menatap wajah menyeramkan mereka. Tau-taunya sekali bangun sudah di alam kubur.
Dari fisik makhluk itu saja aku sudah yakin mereka bukan manusia. Berbadan kurus, kepala besar dan tidak memiliki rambut. Makhluk itu juga mempunyai hidung dan telinga besar. Sedangkan matanya ada tiga. Dua mata seperti manusia dan satu matanya lagi terletak di dahi.
"Si–siapa kalian!" Aku yakin suaraku saat ini sudah gemetar, semoga tidak kencing di celana. Maksudku, kencing di gaun.
Makhluk berpakaian lusuh itu serentak tertawa berjamaah. Aku bukan ingin body shaming, tetapi ternyata mereka tidak memiliki gigi. Terlihat seperti kakek-kakek ompong.
Aku mengedarkan pandangan ke sekeliling, para peri tadi tidak terlihat lagi. Mungkin mereka ketakutan sehingga lari bersembunyi.
Sepertinya makhluk aneh itu berjumlah sekitar dua puluh atau lebih. Bagaimanapun, aku kalah jumlah dari mereka.
Perlahan aku berjalan mundur. "Aku tidak bermaksud mengganggu kalian, aku hanya ingin mencari kucingku yang tersesat di hutan ini. Tapi sepertinya dia tidak ada di sini."
"Saatnya membunuh pengkhianat!" seru salah seorang dari mereka dengan suara serak yang menyeramkan.
Aku bukan pengecut, tetapi dalam kondisi ini hanya satu hal yang bisa kulakukan.
Lari!
Memasuki hutan yang terlihat sama. Aku tidak tahu apakah aku berlari keluar atau justru masuk lebih dalam. Tubuh Gwen ternyata sangat lincah dan ringan, mungkin dia rajin berolahraga.
Makhluk-makhluk aneh itu terus saja mengejar seraya berteriak. Aku tidak mengerti kenapa mereka ingin membunuhku. Mereka juga menyebutkan kata pengkhianat.
Siapa Gwen Patricia Willson sebenarnya? Banyak sekali kesialan yang menimpaku sejak masuk ke tubuh perempuan ini.
Aku berlari sambil memandang ke belakang sampai tidak sadar tubuhku tiba-tiba menabrak gundukan tanah sebatas pinggang. Terjatuh dengan posisi muka mencium tanah itu benar-benar menyakitkan. Hidungku rasanya perih sekali.
"Tertangkap!"
Tidak ada tenaga lagi yang tersisa di tubuhku. Hanya bisa pasrah ketika mereka menyeret kakiku sambil bernyanyi kecil dalam bahasa yang tidak aku mengerti.
Entah dari arah mana, seekor hewan besar menghambur ke kawanan makhluk aneh itu hingga membuat mereka melepaskan kakiku.
"Goliath!"
Akhirnya aku menemukan kucing besar good looking itu. Tampaknya Goliath sedang dalam mode ganas. Dia bahkan menyeringai menunjukkan taring tajam yang mirip seekor macan kumbang.
Goliath menyerang semua makhluk itu dengan brutal. Aku tidak sanggup menyaksikan dia mencabik-cabik tubuh mereka dengan taring dan cakarnya.
Hari sudah mulai gelap. Pertarungan Goliath dengan makhluk itu seperti tidak ada habisnya. Dia tampak kewalahan melindungiku dari serangan mereka. Anehnya, para makhluk itu seperti tidak pernah mati. Tubuh mereka kembali menyatu bahkan setelah hancur berkeping-keping.
Seumur hidupku, baru pertama kali aku hanya bisa berdiri ketakutan tanpa berdaya melakukan apa pun. Aku merasa tidak berguna dan hanya menjadi beban di saat seperti ini.
Lalu entah bagaimana salah satu dari mereka berhasil mendekatiku. Makhluk itu tampak jauh lebih menyeramkan di malam hari. Dia memegang benda mirip belati dari kayu.
"Kau harus mati!" Makhluk itu berlari sambil menghunuskan benda tajam tersebut kepadaku.
Namun, tiba-tiba sesuatu yang tampak seperti kilatan cahaya melewati tubuh makhluk itu hingga hancur menjadi abu.
"Raja William?"