BAB 8

889 Words
Enam bulan yang lalu, wanita bergelar menantu itu menangis terisak menahan gejolak rasa sakit yang ditorehkan oleh keluarga suaminya. Tangisnya tak dipedulikan, rasa sakit yang menggerogoti hatinya tiada disembuhkan, dan kehadirannya tiada diharapkan. Cacian, makian, hinaan, semua rasa sakit yang ia terima tak akan bisa disembuhkan hanya dengan sebuah kata maaf. Kini wanita yang bergelar mertua tersebut, tiada berdaya di atas kasur. Ia sering kali berteriak untuk sekedar meminta minum. Ia tidak bisa berbuat seenaknya seperti dulu. Penyakit strok yang dideritanya kurang lebih sebulan terakhir, membuat yang lain kewalahan untuk mengurusnya. Walau hukuman dari Tuhan telah menimpanya, tak ubahnya membuat wanita paruh baya tersebut berubah menjadi lebih baik. Tubuhnya memang tak bisa digerakkan secara sempurna, namun ia masih bisa berteriak memaki pada menantu yang sejak dulu ia benci. “Ibu bisa sabar tidak? Sinta capek Bu. Dari pagi ibu teriak-teriak terus. Minta duduk, minta baring lagi, minta jalan ke Taman, minta jalan ke pasar,” lihatlah Bu! Ibu sekarang sudah kayak mayat hidup. Bisanya menyusahkan saja,” anak yang sejak dulu begitu ia manjakan membalasnya dengan memaki dan membentak setiap wanita paruh baya itu meminta tolong. Sementara di balik pintu, menantu yang tak diharapkan kehadirannya, menitikkan air mata. Ingin sekali Mita memarahi Sinta yang keterlaluan pada ibunya, namun ia tak bisa melakukannya. Karena sampai saat ini, saat tubuhnya sudah terbaring tak berdaya, perlakuannya pada Mita tetaplah sama. “Tega kamu sama ibu Sinta. Ibu dulu mengurusmu dengan baik. Sekarang kamu perlakuan ibu seperti ini? Kamu sama saja sama si Mita, tidak tahu diri,” umpatnya. “Urus saja diri Ibu sendiri! Aku capek mengurusmu, Bu. Baru sebulan Ibu sakit, sudah membuat aku hampir gila.” “Anak kurang ajar!” Saat mendengar derap langkah kaki mendekat, Mita lekas bersembunyi. Sesaat setelah Sinta keluar, Mita masuk ingin menemui ibu mertuanya, barang kali ibu mertuanya butuh sesuatu. “Ada yang bisa Mita bantu Bu?,” Mita menawarkan. “Halah tidak usah sok baik kamu. Pergi sana! Urus saja anakmu, tak usah pedulikan Ibu,” Bu Lina membuang muka ke sembarang arah. “Bu, istigfar Bu! Allah sedang memberikan ujian pada Ibu. Bertobatlah Bu! Siapa tahu Allah memberi kesembuhan pada ibu?” “Tobat, tobat. Kamu pikir Ibu sakit karena ujian? Ini penyakit pasti perbuatan tetangga yang syirik pada Ibu. Mereka iri dengan kekayaan Ibu, makanya mereka mengirim guna-guna pada Ibu.” “Astagfirullahalazim, bisanya Ibu berburuk sangka pada mereka. Ini murni ujian dari Allah Bu. Bertobatlah, sebelum terlambat!” “Kamu mendoakan Ibu celat mati? Sana keluar! Menantu durhaka!” “Ngapain sih Mbak Mita masuk ke kamar ibu? Yang ada penyakit ibu tambah parah kalau ada kamu Mbak. Sudah tahu ibu tidak suka sama kamu Mbak, jadi tidak usah dekat-dekat sama ibu!” Mita yang geram lebih memilih keluar dibanding harus meladeni adik iparnya yang kurang ajar itu. ****** Tiga bulan berlalu, Bu Lina semakin parah keadaannya. Kini ia mulai mau meminta tolong pada Mita. “Ini Bu makan dulu! Mita sudah buatkan masakan kesukaan Ibu.” Mita menyuapi ibu mertuanya dengan sayur bening dan tempe mendoan. Bu Lina menerima suapan demi suapan dengan lahapnya. “Nah gitu dong bantu jaga Ibu, jangan bisanya cuma tidur saja. Sinta bilang kamu tidak pernah membantunya merawat ibu. Capek lah adik iparmu jaga ibu sendirian,” ucap bapak mertua Sinta yang lewat di depan pintu. Deg Sudah satu bulan lebih Mita merawat ibu mertuanya, namun Sinta mengadu Mita tidak pernah membantu, sungguh keterlaluan. Setiap hari ia mengurus ibu mertua dengan sabar. Walaupun sembari menjaga Rival ia tetap mengambil tugas menjaga ibu mertuanya. “Sudah Bu?” “Sudah, Ibu sudah kenyang.” Mita menaruh piring bekas di atas meja kamar ibu mertuanya. Setelahnya memberikan minum ibu mertuanya dengan sendok. “Mbak, sana istirahat! Biar Dimas yang jaga ibu,” Dimas yang baru selesai Salat, bergantian ingin menjaga ibunya. “Iya Dimas, Mbak mau menidurkan Rival dulu. Kasihan dia kayaknya mengantuk sekali.” “Iya Mbak, sekalian Mbak tidur juga.” “Iya.” ***** “Capek saya Bu. Istrinya mas Rangga sama sekali tidak mau membantu. Anaknya saja yang di urus. Pas saya tinggal pergi saja, ibu sampai menangis kelaparan. Durhaka kan Bu? Padahal apa pun dulu sudah ibu saya berikan. Tinggal di rumah ini juga gratis. Masih saja jahat sama mertua,” tidak sengaja Mita mendengar percakapan adik ipar dengan para tetangga yang duduk di teras sembari ngerumpi. Sekuat tenaga Mita menjaga dan mengendalikan diri agar tidak terpancing, namun amarahnya meledak juga. Dengan sekuat tenaga ia menampar pipi Sinta, hingga Sinta mengaduh sakit. Sinta langsung menangis dan ibu-ibu langsung bubar. “Apa salahku, Mbak? Tega kamu mbak!” ucap Sinta sembari memegangi pipinya yang memerah. “Kamu masih berani bertanya? Bertahun-tahun aku bisa menahan emosiku, kali ini tidak bisa lagi Sinta. Sudah capek-capek aku membantu menjaga ibu dan melakukan semua pekerjaan di rumah ini, bisa-bisanya kamu bilang aku tak pernah bantu. Mata kamu buta apa bagaimana Sinta?” teriak Mita. Mita yang polos, yang hanya bisa mengalah dan menangis, kini sudah sepenuhnya melawan. “Kalau mengingat kejahatan ibu dulu berat aku mau mengurusnya, tapi melihatnya lemah seperti sekarang, aku pun tak sejahat itu. Aku akan tetap mengurus ibu. Tapi aku minta kamu jaga ucapan kamu. Hargai aku sedikit saja di rumah ini!” Sinta langsung melengos masuk dan membanting pintu kamarnya kuat. Tak ia pedulikan kakak iparnya yang tengah emosi karena kelakuannya.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD