BAB 7

1289 Words
Wanita bergelar istri itu bersusah payah, berjuang, agar bisa melahirkan dengan normal. Sementara Rangga merasa tidak tega, melihat istrinya yang menahan sakit karena kontraksi. Dengan bantuan Bidan, Mita melahirkan secara normal. Bayi berjenis kelamin laki-laki itu sangat tenang saat berada dalam dekapan sang ibu. “Bu Mita sudah boleh pulang hari ini. Segera urus biaya administrasinya ya Pak, biar lebih cepat,” ucap salah satu pegawai di klinik tersebut pada Rangga. Sementara Dimas, Sinta, dan bu Lina berada di ruang tunggu. Bu Lina dan Sinta tidak mau masuk sekedar melihat sang cucu untuk pertama kalinya, atau melihat keadaan menantunya selepas melahirkan. “Dim, antar Mas bayar administrasi dong,” Rangga meminta Dimas untuk menemaninya. Mereka gegas menuju ruang administrasi, untuk melakukan p********n. “Bu, uang Mas Rangga kurang untuk membayar. Tolong pinjamkan tiga ratus ribu Bu, untuk membayar kekurangannya!” “Ibu tidak ada uang. Kamu saja yang kasih pinjam ke kakakmu sana!” sahut bu Lina tidak senang. “Iya nih, sudah tahu bapak belum pulang dari kota. Mana ada ibu uang? Jadi anak tidak pengertian sekali,” sela Sinta sembari menatap tidak suka pada Dimas. “Yang benar Ibu tidak punya uang? Lalu kemarin yang di toko emas itu siapa, ya?” pancing Dimas. “Hah, siapa yang di toko emas? Mana ibu tahu?” sahut bu Lina dengan wajah merah yang tidak bisa disembunyikan. “Bantu Mas Rangga Bu! Masa mengeluarkan uang tiga ratus ribu saja keberatan buat cucu sendiri?” “Ini! Cerewet banget sih? Bikin kepala Ibu pusing saja,” bu Lina memberikan uang tiga lembar seratus ribuan pada Dimas. Dimas kembali menemui kakaknya yang tengah menunggu di ruang administrasi. ****** “Sinta, sini bantu Mas jagakan Rival sebentar. Mas mau antar mbak Mita ke kamar mandi,” titah Rangga pada sang adik. Namun Sinta tidak gegas menjawab. Ia sibuk menatap ponselnya sembari melirik sinis pada kakak iparnya. “Sini, biar Dimas yang jaga Mas,” Dimas mengambil alih bayi mungil yang berada di pangkuan sang ayah. “Aduh, keponakan Om ganteng banget sih,” godanya saat bayi mungil itu berada di pangkuannya. “Nanti jadi anak pintar dan anak baik ya sayang! Jangan jadi anak pembangkang dan manja.” “Apa maksudmu? Kamu menyindirku? Sinta menatap nyalang pada Dimas yang tengah menimang ponakannya yang menggeliat karena kaget mendengar suara Sinta. “Jangan teriak-teriak! Berbicaralah sopan sedikit pada kakakmu!” sahut Dimas pelan. “Dih, ngapain juga menghormati orang kayak kamu? Sana jadi budaknya kakak ipar kesayanganmu itu! Kamu ‘kan cuma peduli sama dia. Buat apa aku menghormati kakak tidak berguna sepertimu?” “Jangan keterlaluan kamu Sin! Mbak Mita itu sudah jadi bagian dari kita. Kamu harus menghormatinya!” “Kamu saja, aku tak sudi,” sahutnya acuh. Oeek....Oeek “cup....cup...cup...anak ganteng Ibu menangis, Nak.” “Iya ini Mbak, sepertinya dia haus,” sahut Dimas sembari memberikan Rival pada Mita untuk disusui. “Terima kasih Om, sudah bantu jaga Rival,” ucap Mita. “Sama-sama Mbak. Ya sudah Mbak duduk di sini saja! Kalau mau makan bilang saja, nanti Dimas ambilkan ya.” “Baiklah, om Dimas baik sekali.” Kini Rival sudah tertidur nyenyak di kamarnya. Sementara Mita pun tertidur nyenyak di samping anak bayinya, karena hampir tiap malam begadang menyusui Rival yang tak tidur. “Dasar malas! Ini baru jam sepuluh sudah molor aja. Mita! Bangun!” Bukan hanya Mita yang terbangun, tetapi bayi mungil yang berada dalam dekapan sang ibu, ikut terbangun karena kaget. “Mita mengantuk Bu. Mita setiap hari begadang jaga Rival,” sahut Mita. “Ibu tidak perlu berteriak, Rival kaget Bu kasihan,” protes Mita tidak ikhlas dengan cara kasar ibu mertuanya membangunkannya. Berteriak, menyiramnya dengan air, itu yang selalu ibu mertuanya lakukan, saat Mita tertidur di siang hari. Padahal jika anak gadisnya yang tidur, Bu Lina membiarkannya. “Bukan urusan Ibu. Mau kamu mengantukkah? Mau anak kamu kaget? Sungguh Ibu tidak peduli.” “Kamu harus dengarkan ibu, Dek! Ibu ‘kan sudah bilang jalan tidur siang. Apalagi masih di bawah jam dua belas, nanti darah putih naik ke mata,” Rangga yang baru keluar dari kamar mandi ikut menyahut. “Ini kenapa lagi Rival menangis kejer begini? Diamkan dia! Mas pusing. Dia itu kontak batin sama kamu. Kamu jangan banyak mikir! Pasti dia menangis begini karena kamu tidak betah tinggal di sini.” “Namanya istri kamu ini tidak becus mengurus anak, makanya begitu. Makanya punya istri jangan di manja! Menjaga dan mendiamkan anak saja tidak bisa.” Rangga pun keluar kamar karena kepalanya teramat pusing. “Ini semua gara-gara Ibu. Kalau saja Ibu tidak berteriak, Rival masih tertidur nyenyak. Ibu bisa seenaknya padaku, tapi tidak akan aku biarkan ibu bertindak seenaknya pada anakku.” “Selama aku masih hidup, tidak akan aku biarkan kalian menyakiti anakku.” “Halah siapa yang mau peduli sama kamu dan anakmu itu? Secepatnya aku akan mencarikan istri untuk Rangga. Bersiaplah ditendang anakku suatu saat nanti! Jangan berharap kamu bisa bahagia selama kamu masih bertahan sama Rangga.” Bu Lina pun meninggalkan Mita yang tengah kewalahan menenangkan Rival yang terus menangis. “Ya Allah ganjarlah mereka sesuai dengan perbuatan mereka! Kesabaranku benar-benar mereka uji. Aku mohon campur tanganmu ya, Allah!” Mita berbicara sembari terisak dalam diam. Dadanya sesak dan penuh dengan amarah yang selalu bertambah setiap harinya. Dengan susah payah, Mita mencoba membuat anaknya tenang. Perlahan Rival mulai tenang dan berhenti menangis. Ia coba menguasai emosinya. Setelah setengah jam menangis tanpa henti, akhirnya Rival mulai tenang dan kembali tertidur sembari menyusu pada ibunya. Mita terus menangis tanpa suara. Hanya Dimas satu-satunya orang yang menghargainya di rumah itu. Kalau Dimas sudah tidak ada di rumah, maka tidak ada lagi yang membelanya. Sedangkan suaminya sendiri tidak pernah tegas pada ibu dan adiknya, sehingga mereka selalu berbuat seenaknya pada Mita. “Menangis saja terus! Bosan Mas melihat kamu bisanya cuma menangis saja,” gerutu Rangga saat kembali masuk ke kamarnya. “Ceraikan aku Mas. Ceraikan aku!,” teriak Mita tanpa Rangga duga. “Tidak usah mencari perkara. Kamu kira enak main cerai-cerai saja? Ya sudahlah malas aku di rumah. Kamu itu setelah melahirkan jadi menyebalkan. Bikin aku tidak betah di rumah ini.” “Egois kamu Mas! Kamu sama saja sama ibumu itu.” “Terserah kamu mau ngomong apa? Aku tidak peduli lagi. Awas saja kalau sampai aku pulang itu anak rewel, tidur saja kalian di sofa luar! Aku terganggu dengan tangisannya tiap malam, membuat tidurku tidak nyenyak.” ***** “Apa sih berisik saja bisanya? Urus anakmu dan jangan banyak bicara! Sejak ada bayi sialan ini, bikin kepalaku tambah pusing setiap harinya,” bentak bu Lina. Sedangkan Rangga langsung menyelonong pergi tanpa memedulikan lagi perasaan istrinya, yang semakin tertekan mentalnya. “Astagfirullah, jadi begini kelakuan ibu saat Dimas tidak ada di rumah. Pantas saja Sinta melakukan hal yang sama, tahunya belajar dari ibu,” Dimas yang baru datang dari rumah temanya, memergoki ibunya sedang memaki kakak iparnya. “Bela saja terus perempuan miskin ini! Ibu sudah muak melihat dia dan bayinya di rumah ini. Gara-gara membela dia, kamu sampai durhaka pada ibu. Ibu muak, Ibu muak!” Bu Lina membanting pintu kamar dengan kuat, sehingga membangunkan kembali Rival yang tengah tertidur pulas. “Mbak! Maafkan aku! Ibu sudah keterlaluan. Sini biar Rival aku gendong! Mbak harus kuat demi Rival. Aku janji akan menasihati ibu pelan-pelan. Aku tidak menyangka ibu setega ini padamu, Mbak.” Dimas bingung, ingin sekali ia memeluk kakak iparnya yang tengah menangis tersedu, namun ia sadar bukan muhrimnya, dan berdosa bila bersentuhan. Ia hanya bisa menenangkan lewat kata-kata. Mita tidak lagi bersuara. Ia menangis, sambil mengumpat dan menyumpahi orang-orang yang sudah menyakitinya dengan doa dan air mata. Tidak berlangsung lama, hanya hitungan bulan, orang-orang yang menyakitinya mulai diterpa karma oleh perbuatan jahat mereka.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD