CERMIS 1 : KERAJAAN GAIB? (17)

1357 Words
Episode : Kepingan Rahasia Kelam Masa Lalu (2)   “Kak Fabian, Fina mau yang itu,” rengek Fina dengan suara kurang jelas saat melihat Fabian menusukkan potongan kecil daging sapi di piringnya dengan ujung garpu. Mata Fina terlihat sangat berminat. Tatapan mendamba dari seorang Anak kecil, diiringi dengan gerakannya menunjuk apa yang dia maui. Mendengarnya, Sang Ibu langsung terkaget. “Jangan, Fina! Yang ini saja! Biar Ibu yang potongkan buat kamu!” cegah Sang Ibu kala melihat gelagat Fabian akan menyendokkan potongan daging di piringnya ke piring Fina. Potongan yang sudah kecil-kecil, khas pekerjaan Bu Endah sebelum menyendokkan makanan ke piringnya sendiri. Betapapun banyak Pekerja di rumah megah yang mereka diami, namun Bu Endah masih saja melakukan hal-hal kecil macam itu. Satu hal kecil lagi yang membuat Ibu kandung Farah dan Fina panas hati. “Huh! Dia sengaja. Mau pamer. Mau menetapkan standard yang tinggi sebagai Ratu rumah tangga di sini,” gumam Sang Ibu super pelan. Namun gumaman itu terdengar sekilas di telinga Farah. O, jadi benar kata Ibu. Bu Endah itu suka berpura-pura menjadi Orang baik. Pasti tadi dia berpura-pura sakit juga. Tuh, kan...,sekarang pura-pura muntah segala. Biar disayang sama Bapak. Cari perhatian Bapak, pikir Farah sebal, kala mendengar suara orang sedang muntah dari arah kamar mandi. “Ih... hueeek..., jorok! Farah jadi nggak selera lagi nih makannya,” keluh Farah, sengaja melebih-lebihkan reaksinya. Fabian yang mendengarnya tidak tinggal diam. Ia langsung mengangkat wajahnya dan menatap pada Adik sambungnya itu. “Jangan didengarkan, Farah. Maafkan Ibuku, ya? Mungkin Ibu sama Bapak lupa menutup pintu kamar mandi, jadi suara muntahnya Ibu terdengar sampai kemari. Kamu lanjutkan saja makannya, ya?” kata Fabian. Satu-satunya Orang dewasa yang tertinggal di ruang makan itu, langsung menatap tak suka pada Fabian. Dasar Anak kecil! Tahu apa kamu! Bicaramu sudah sama persis dengan cara bicara Ibumu! Sok baik! Bisa-bisanya kamu mencontek kelakuan Ibumu padahal kamu ini Seoran Anak Laki-laki! Kata Orang Dewasa tersebut di dalam hatinya. Baru sekejap ia menikmati mengintimidasi Fabian dengan tatapan tak sukanya, ia segera terdistraksi oleh suara Anaknya yang kecil. “Bu..., Fina mau yang itu...,” rengek Fina keras kepala. “Diam! Yang ini saja. Kemarikan piringmu! Cepat!” Bentakan Sang Ibu tak hanya membuat Fina kecil cemberut, tetapi juga menyurutkan gerakan Fabian yang menyorongkan piringnya ke arah Fina. Fabian bahkan tak mau menatap ke wajah Sang Empunya suara. Entah enggan, entah takut. Fina terpaksa menuruti perkataan Ibunya. Apalagi bentakan Sang Ibu juga ditingkahi dengan tatapan tak suka dari Farah. Farah hanya tahu, Fina tidak boleh terlalu dekat dengan Fabian. Harusnya dia. Iya, dia yang dekat dengan Fabian, bukannya Fina yang masih kecil. Kan, bagi Farah, Fabian itu Kakaknya. Ngapain sih si Fina harus manja-manja begitu sama Kak Fabian? Aku saja kalau bermain sama Kak Fabian juga nggak manja. Aku biasa saja. Dia ini meniru kebiasaan Bu Endah ke Bapak, kelihatannya, pikir Farah dengan cemburu. “Kamu tetap harus makan, Endah. Makan ya, walau sedikit? Perutmu itu tetap harus diisi. Kalau kepalamu masih pusing, nggak apa, kamu makan di dalam kamar saja. Ayo kuantar ke kamar sekarang. Nanti aku suapi saja. Atau..., kamu mau makan apa? Yang segar-segar? Yang asam supaya tidak mual lagi? Biar nanti aku suruh Anak-anak di dapur menyiapkan semuanya buatmu,” perkataan Pak Handara yang telah kembali dengan menuntun Bu Endah kembali ke ruang makan membuat Farah dan Sang Ibu menoleh serempak, tanpa dikomando. “Ibu sakit lagi ya, perutnya?” tanya Fabian sambil menatap Ibunya dengan penuh perhatian, ketika posisi Bu Endah telah berada di dekatnya. Bu Endah memaksakan sebuah senyum dan menggeleng lemah. “Enggak kok, Sayang. Ibu istirahat dulu ya. Kamu habiskan makanannya ya,” ucap Bu Endah pelan. Diusapnya sesaat kepala Fabian, lalu melayangkan pandangan matanya ke yang lainnya dan tersenyum tipis. “Iya, Bu,” sahut Fabian pendek dan meneruskan makannya dalam diam. Farah mengerling ke arah Ibunya yang tampak menunduk. Kenapa Bu Endah pakai manja begitu ke Bapak? Apa Ibuku juga begitu ke Bapak? Kelihatannya nggak. Apa Bapak nggak sayang sama Ibuku? Bu Endah itu kelihatannya baik-baik saja, hanya sedikit pucat. Tapi kenapa mau disuapi segala sama Bapak? Seperti Anak kecil saja. Dasar nggak tahu malu, pikir Farah sebal. “Farah, kalau kamu besar nanti, kamu jangan mudah percaya dengan sikap halus atau rangkaian kata yang terdengar manis. Tidak semua yang demikian mencerminkan yang sesungguhnya. Banyak sekali orang yang suka berpura-pura. Malah kadang-kadang, kamu sendiri juga harus berpura-pura untuk mencapai tujuanmu. Kamu harus banyak belajar dan membiasakan diri untuk itu. Jangan memperlihatkan rasa tidak sukamu secara terang-terangan kepada orang lain. Itu akan memudahkan mereka untuk mengalahkanmu, memanfaatkanmu,” perkataan Sang Ibu seperti terngiang kembali di telinga Farah saat ini. Pesan panjang yang tak sepenuhnya dapat ia cerna dengan baik. Sebabnya jelas, setiap kali dia bertanya lebih lanjut, maka Sang Ibu akan diam seribu bahasa. Ah, aku nggak tahu. Tapi aku bisa merasakan bahwa Ibu banyak menyimpan kesedihan. Itu saja. Ibu aku sudah terlalu banyak menderita. Nggak ada yang sayang sama Ibu. Benar, itu saja yang perlu buat kuketahui, kata Farah dalam hati. Farah kecil hanya berpikir bahwa karena kesedihan yang bertumpuk pulalah, maka Sang Ibu tak mampu untuk bebas mengungkapkannya. Maka sudah menjadi tugasnya untuk menerkanya, merangkainya sendiri, juga berusaha mencernanya tanpa harus banyak bertanya. Dipikirnya, semakin banyak ia menanyai Sang Ibu, justru hanya akan menyakiti perasaan Ibunya saja karena harus mengingt-ingat sesuatu hal yang tidak enak. Walau sesungguhnya aku sangat ingin tahu sejelas mungkin, Bu. Tapi aku harus bagaimana? Mungkin memang aku harus berpikir ekstra keras, mengumpulkan sendiri semua keterangan, mengamati setiap peristiwa yang terjadi di sekitarku, dan menerjemahkan sendiri sikap dan pembawaan Ibu. Yang jelas, Bu, Ibu jangan takut. Aku sayang sama Ibu, walau sering kali aku juga takut sekaligus kesal, di saat Ibu memarahiku. Di saat Ibu melarang aku untuk dekat dengan Kak Fabian. Kak Fabian itu menyenangkan Bu, dan aku memang membutuhkan Seorang Kakak untuk melindungiku, untuk aku ajak bermain bersamaku, batin Farah dengan hati berat. Detik itu ia merasa, ‘perintah’ Sang Ibu untuk menjauhi Bu Endah dan Fabian sejatinya bukan perkara mudah. Pasalnya, hati kecilnya kadang juga membisikinya, bahwa Bu Endah sebetulnya punya perhatian dan sayang sayang padanya. Sementara Fabian, jelas merupakan Teman main yang mengasyikan. Terlebih jarak usia mereka juga cukup jauh, sehingga sikap dewasa Fabian sangat menonjol. “Bu Endah itu sepertinya bersikap hangat sekali sama Kak Fabian. Kadang aku merasakan, sebenarnya dia juga ingin memperlakukan aku dan Fina sehangat itu. Tetapu seperti ada sesuatu yang mencegahnya. Tapi kenapa aku merasa tatapan matanya amat tulus? Ah! Aku bingung! Tapi Ibuku sendiri bilang, dia tidak baik. Dia jahat. Dia yang membuat Ibuku jadi sedih dan muram. Berarti memang dia pandai berpura-pura!” Seringkali sebelum Farah jatuh tertidur di malam hari, ia menatap Sang Adik yang sudah terlebih dahulu terlelap di tempat tidur satunya, dan bergumam sendirian. “Bu, kalau Ibu minta supaya aku menjauhi dan membenci Bu Endah, aku bisa kok, melakukannya buat Ibu. Tidak apa-apa. Aku kan punya Ibu. Tapi tolong Bu, jangan minta aku untuk menjauhi dan memusuhi Kak Fabian juga. Harus kugantikan dengan Siapa, Kak Fabian itu? Kalau aku menjauh dari Kak Fabian, nggak ada untungnya buatku, Bu. Yang ada, si Fina yang makin akrab sama Kak Fabian. Dan yang ada, semua perhatian dan kasih sayang Kak Fabian tercurah ke di sebagai satu-satunya Adiknya dia. Bu..., aku ini nggak punya Kakak..., Ibu bisa mengerti kan?” gumam Farah sendirian, sambil melirik penuh kecemburuan ke arah Sang Adik yang bahkan tidak mendengarkan ucapannya yang berbalut dengan keresahan dan ketidaknyamanan itu. Barangkali Sang Adik malah sedang bermimpi indah, bermain kejar-kejaran serta petak umpet dengan Sang Kakak Lelaki lalu dibelikan gulali yang super manis. Ah. Gampang kalau begitu, aku berlagak menuruti saja perkataan Ibu. Kan Ibu sendiri yang mengajari supaya jangan terlihat menyolok. Ya sudah, kalau Ibu sedang lengah, baru aku bermain dengan Kak Fabian. Sementara kalau di depan Ibu, ya aku berlagak tidak suka kehadiran Kak Fabian di dekatku. Beres, kan? Dengan begitu, Ibu nggak akan marah, dan hati aku sendiri juga nggak kesepian, pikir Gadis kecil itu akhirnya. Seolah telah menemukan jalan keluar atas dilema yang tengah ia hadapi, Farahpun segera jatuh tertidur usai berpikir demikian. * $ $ Lucy Liestiyo $ $ 
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD