Episode : Kepingan Rahasia Kelam Masa Lalu (1)
Lantas Farah menggoyang-goyangkan kepalanya dengan keras. Ia meraup wajahnya dengan kedua telapak tangannya.
Gadis itu mencoba keras untuk menghalau selaksa bayangan masa lalu yang selama ini hanya tersimpan rapi di memory otak kirinya, tetapi kini mencuat perlahan, tanpa kendala. Bayangan masa kecilnya yang bak slide film. Di momen ini, segala potongan kenangan tersebut bagaikan tengah diputar, tepat di pelupuk matanya...
...
Farah berlari-lari, berniat secepatnya mencapai dan memasuki kamar Ibunya. Napas Gadis kecil agak terengah.
“Bu...! Ibu...!” panggil Gadis kecil itu dengan semangat, bagi baru saja mendapatkan sesuatu yang tak ternilai harganya.
Yang dipanggil menoleh dan segera menyuruh Farah untuk masuk, mengisyaratkan untuk menutup daun pintu kamar serapat mungkin. Paham akan isyarat Sang Ibu, Farah bergegas melakukannya dengan patuh.
“Bagaimana, Farah?” tanya Sang Ibu tak sabar. Bagaikan Seorang Komandan menunggu Anggota Pasukan khususnya melaporkan hasil temuannya.
Farah segera menyelinap ke kamar Sang Ibu dan mengikuti arahan Sang Ibu untuk segera menutup pintunya.
“Ibu, tadi kan Farah lewat di depan kamarnya Bu Endah. Terus kebetulan pintunya setengah terbuka. Secara nggak sengaja Farah mendengar Bapak sama Bu Endah sedang bercakap-cakap,” lapor Farah setelah ia mengatur napasnya usai berlari-lari demi mencapai kamar Ibunya ini.
Sekilas Farah melihat Sang Adik tertidur di atas pembaringan besar Sang Ibu, belum dipindahkan ke kamar mereka berdua.
Sang Ibu tampak bersemangat. Ia menyempatkan mengecek keadaan di luat kamar dulu. Dirapatkannya sebelah telinganya ke dekat dinding, berfokus penuh, seolah mau memastikan tidak ada Orang yang melintas dekat kamar tidurnya. Wajahnya tampak berseri. Ia tak dapat menyembunyikan rasa bangganya. Seakan-akan, dirinya telah berhasil membentuk dan mendidik Putri kecilnya untuk misi khusus demi kebaikan mereka bersama.
“Ssst! Sini, sini Farah. Kamu bicaranya pelan-pelan. Jangan sampai ada yang mendengar,” bisik Sang Ibu sambil meletakkan jari telunjuknya di depan bibir dan menarik tubuh Farah, menaruhnya di pangkuannya.
“Kamu ingat, kan Farah? Nggak boleh percaya sama siapa saja di rumah ini, kecuali Ibu. Mereka semua hanya baik di luarnya saja,” Sang Ibu membisikkan rangkaian kalimat yang sama, yang nyaris setiap hari ditanamkan ke dalam pikiran Putri Sulungnya itu.
Farah mengangguk-angguk dengan patuh.
“Iya. Farah tahu, Bu. Farah hati-hati, kok. Kan Ibu yang bilang ke Farah, kita harus pandai melindungi diri kita dan harus selalu waspada,” ucap Farah pula.
Sang Ibu memeluk Farah dari belakang dan menciumi kepala Farah.
“Kamu memang pintar. Kamu benar-benar Anak Ibu yang sangat bisa dibanggakan, Farah. Ibu sayang sama kamu. Kalau begini, rasanya semua penderitaan Ibu saat kecil , terlupakan semua. Kamu yang mengobatinya karena kamu mau menurut dan mendengarkan perkataan Ibu,” bisik Sang Ibu.
Farah terdiam.
Ia sudah cukup banyak mendengar dari mulut Sang Ibu, perihal penderitaan hidup yang dialami Sang Ibu semenjak kecil. Hidup berkekurangan, Orang Tua yang terlibat banyak hutang dan meninggal lantaran sakit parah, dibuang begitu saja oleh Sanak saudara, dan sebagainya. Sayangnya, hampir di semua kisah yang dituturkan, selalu bersifat satu sisi saja. Penderitaan. Ketidakadilan hidup. Nasib buruk. Ini membuat Farah prihatin dan tak rela Sang Ibu menderita.
“Tapi setiap kali kamu membantah Ibu, rasanya hati Ibu sakit sekali. Ibu jadi teringat sama perlakuan Sanak Saudara Ibu,” tambah Sang Ibu lirih, seperti tengah berbicara kepada dirinya sendiri saja.
Farah merasa sedih mendengarnya. Rasa bersalah dan penyesalan menyapa Gadis kecil itu.
Ia menoleh dan menatap wajah murung Ibunya.
Tangannya yang mungil membelai wajah Ibunya lalu berkata, “Ibu nggak boleh sedih lagi, ya. Farah janji kalau mau selalu menuruti Ibu.”
“Farah memang Anak pintar,” puji Sang Ibu.
Sang Ibu mendekapnya lebih erat lagi.
Farah merasa sangat nyaman dalam dekapan Sang Ibu.
Rasa sayangnya kepada Sang Ibu membuatnya secara alami memosisikan diri sebagai Pelindung bagi Sang Ibu. Karenanya meski dirinya kerap diomeli karena melanggar perintah Sang Ibu, dia tak dapat marah, apalagi mempunyai rasa benci barang sedikit saja. Sebaliknya, dia kasihan.
“Tadi ada yang melihatmu tidak? Kamu cukup hati-hati kan, Farah?” tanya Sang Ibu kemudian.
Farah diam sesaat untuk mengingat-ingat.
“Enggak, Bu. Enggak ada siapa-siapa kok,” lapor Farah yakin setelahnya.
“Bapak sama Bu Endah tahu tidak kalau kamu sengaja mendengarkan pembicaraan mereka?” tanya Sang Ibu lebih detail.
Usai menggeleng, Farah pun langsung membisiki Ibunya.
“Apa? Kamu mendengarnya dengan jelas?” sentak Sang Ibu dalam kekagetan bercampur kegeraman.
Farah mengangguk.
Ia menatap wajah Sang Ibu dalam cemas dan heran. Air muka Sang Ibu tampak berubah, bagai mendapatkan sebuah berita buruk saja. Seketika berbagai pertanyaan menghinggapi kepala Bocah kecil itu. Sejumlah pertanyaan yang tak sanggup ia sampaikan lantaran ia sendiri juga belum mengerti sepenuhnya. Pasalnya, dia hanya tahu, Sang Ibu menyuruhnya untuk memata-matai dan mencuri dengar pembicaraan antara Bu Endah dengan Ayah kandungnya.
Farah memegangi tangan Sang Ibu.
“Bu..., kenapa? Apakah itu artinya, akan membuat hati Ibu susah?” tanya Farah.
Sang Ibu tak menjawab dan hanya memeluk tubuh Farah kecil dari belakang, lalu mengusap-usap kepala Farah.
“Bu..., Ibu kenapa menangis?” tanya Farah saat mendapati mata Sang Ibu berkaca-kaca.
Gelengan tegas dari Sang Ibu serta usapan tangan yang dengan kasar menghapus air mata yang bergulir di pipi itu, mendadak membungkam mulut Farah. Yang terpikir oleh Farah, betapa tegarnya Ibunya ini. Bahkan menangis di depan Orang lain pun pantang dilakukannya, meski itu adalah Anaknya sendiri.
Kasihan Ibu. Aku sayang sama Ibu, batin Farah.
Selalu begitu. Sang Ibu tidak pernah memerinci apa yang menjadi kesusahan hatinya. Sementara yang Farah tahu, wajah Bu Endah selalu berseri, berbeda dengan wajah Ibunya sendiri kerap terlihat tak bahagia dan tertekan. Dan tanpa dia harus bertanya pun, dia tahu pastilah Bu Endah yang membuat Ibunya tidak bahagia.
Aku akan membalasnya buat Ibu. Ibu tenang saja. Tunggu waktunya aku bertindak. Semoga kesempatan itu ada, janji Farah dalam hati.
Yang ada di dalam pemikiran Farah kecil adalah, siapa pun Orangnya yang tega menyakiti hati Ibunya, akan dilawannya, dengan caranya sendiri. Ya, cara yang dia juga tak tahu apa dan bagaimana melakukannya. Yang ia tahu hanya satu, memang tidak mungkin membalas perlakuan Sanak Saudara Ibu kandungnya yang konon telah membuat Sang Ibu menderita.
Pasalnya, Sang Ibu juga tidak memberi tahu Siapa mereka, di mana tempat tinggal mereka, dan apakah mereka masih hidup atau sudah meninggal. Setahunya, Sang Ibu tidak pernah berhubungan dengan Orang-orang yang disebut ‘Sanak Saudaranya’ itu. Makanya, pada akhirnya Farah menduga, kalau ada yang membuat Ibunya bersusah hati, ya jelas, Bu Endah Orangnya!
Sekitar tiga minggu berikutnya ketika mereka semua tengah duduk di meja makan untuk menyantap sarapan pagi bersama, mendadak Farah melihat wajah Bu Endah yang seperti menahan mual.
“Bu, perut Ibu mual lagi, ya?” tanya Sang Ayah yang segera menaruh peralatan makannya.
Bu Endah sempat menggeleng dan mengisyaratkan agar Ayahnya dan yang lain meneruskan acara makan mereka.
Lalu Farah melihat Bu Endah beranjak meninggalkan meja makan sambil menutup mulutnya. Dan Sang Ayah mengikuti Bu Endah dengan mimik muka panik.
“Bu Endah kenapa Bu? Dia sakit, ya?” tanya Farah kecil kala memergoki kerlingan tajam Ibunya yang tertuju ke arah Bu Endah.
Sang Ibu hanya menempelkan telunjuk di depan bibir. Gerakan singkat yang membuat Farah mengurungkan selaksa pertanyaan lain yang sempat membersit di dalam pikirannya.
Oh iya, kan Ibu selalu berpesan ke aku. Kata Ibu, aku nggak boleh terang-terangan bersikap nggak suka kalau ada Bapak. Kok aku suka lupa ya begini sih! Untung saja barusan aku diingatkan lagi sama Ibu, pikir Farah.
*
$ $ Lucy Liestiyo $ $