Episode : Dicekam Oleh Sebuah Rasa Takut Yang Teramat Besar
Daya pikir Shania seketika terganggu akibat pening yang bersarang di kepalanya. Rasa pening yang masih begitu kuat mengintimidasinya.
Shania mencoba sekuat tenaga untuk melawan rasa pening yang memberati kepalanya itu. Shania menarik napas dalam-dalam, bagaikan menyerap energi baik di sekitarnya dan memusatkan kekuatan yang ia miliki.
Dia benar-benar memusatkan pikirannya sekarang, sungguh berusaha untuk tetap sadar dan dapat menguasai dirinya. Walau untuk itu dia harus berkeras membelalakkan matanya yang mulai merasa sedikit perih. Ya, dia pantang terlarut dalam situasi asing yang dihadapinya.
Dan sebagaimana yang sudah-sudah, usaha Shania yang satu ini juga tidak berhasil sedikit pun. Kenyatannya, semakin ia mencoba untuk melawan, semakin lemas rasanya seluruh badannya. Sama saja dengan mengeluarkan energi yang begitu besar untuk hasil berupa nol besar. Tetap saja nol, sebesar apa pun itu. Sia-sia, tiada gunanya sama sekali.
Terlebih lagi, rasa pening di kepalanya juga tak tahu diri dan terasa kian memuncak saja dari waktu ke waktu. Seakan-akan, sekarang malah ada sepasang tangan raksasa yang mencengkeram batok kepalanya, menekannya dengan kuat. Shania sampai menggigit sedikit bibirnya demi menahan rasa sakit yang terasa menusuk-nusuk itu. Dahi Shania sampai berkerut-kerut karenanya.
Astaga! Belum pernah aku merasakan sakit kepala yang separah ini! Bahkan ketika beban kerjaku bertumpuk dan bertepapatan dengan siklus bulananku. Ampun, sakitnya! Aku nggak kuat, ini! Keluh Shania dalam diam, sambil memejamkan matanya sesaat.
Dipikirnya dengan begitu, rasa peningnya dapat mereda sepenuhnya. Di detik ini dia masih merasakan, ada hal yang ganjil. Shania merasakan betapa badannya tak seketika berhenti bergerak. Tenti saja ia terheran.
Apa ini? Kok aku merasa ada yang terus menggerakkan aku? Dan seakan aku mendapat pemahaman yang lebih mirip instruksi, bahwa aku tak boleh melawan kemauannya, melainkan menurutinya saja? Batin Shania dalam rasa bingungnya.
Sehingga pada akhirnya ia memutuskan untuk menyerah saja, pasrah dengan kekuatan tak kasat mata yang tampaknya masih gigih menguasai dan menggerakkan dirinya. Ia tak mau keadaannya menjadi semakin memburuk dan berakibat dirinya malah tidak sadarkan diri, atau lebih buruk dari itu, kehilangan nyawa. Ya, mendadak saja kemungkinan buruk itu terlintas di benak Shania, menghadirkan rasa ngeri yang tak terelakkan.
Lalu sembari tetap memejamkan matanya, ia membayangkan dirinya tengah tidur sambil berjalan. Ia memutuskan untuk mengikuti saja ‘irama’ yang mengendalikan pergerakannya. Pikirnya, ini merupakan satu-satunya pilihan terbaik yang menurutnya dapat dilakukannya.
Sesaat kemudian, Shania merasa tubuhnya dihempaskan begitu saja, ke dasar danau. Shania membulatkan matanya. Seketika dia terbelalak. Pemandangan yang asing dan sulit dicerna oleh akal sehat, terhampar di depan matanya.
Di depannya ini, ia menyaksikan sejumlah Wanita berparas rupawan berdiri berderet dengan jarak yang amat teratur.
Mereka semua berpakaian serba indah dan berwarna-warni. Yang tampak kontras adalah karena masing-masing dari mereka berdiri tegak, bersikap siaga dan memegang senjata yang berbeda-beda di tangan mereka. Ada yang berbentuk sangkur, ada yang menyandang busur panah, beberapa juga membawa pedang yang terhunus dan roda besi yang bergerigi tajam, sampai bola api yang menyala-nyala. Selebihnya, tidak ada lagi jenis senjata yang dikenali oleh Shania di alam nyata. Semuanya membuat dirinya terkesima. Dia seperti tengah menyaksikan satu tim Pasukan terlatih saja. Pasukan pilihan yang bertugas menjaga kedaulatan sebuah teritori.
Otak Shania yang terbilang cerdas itu tak mampu untuk mencerna pemandangan tak lazim di depannya. Mempercayai apa yang tengah dilihatnya saja rasanya demikian sulit. Satu hal saja yang ia tahu, saat ini mata mereka menatap ke obyek yang sama, yakni dirinya. Dan tatapan mata mereka merupakan tatapan tajam, tatapan yang penuh kewaspadaan.
Shania sampai bergidik ngeri karenanya.
Belum habis rasa terkejut Shania, dua Orang dari kumpulan Wanita cantik itu sudah lebih dahulu melakukan gerakan serentak tidak terbaca olehnya. Mereka berdua meringkus dirinya. Lalu dengan Dalam satu gerakan yang super cepat, mereka menyeret Shania dengan kasar.
Shania berang. Dia merasa tak melakukan kesalahan apapun sehingga harus diperlakukan sekasar itu.
“Hei! Apa-apaan ini! Mengapa kalian sekasar ini padaku? Lepaskan aku!” Protes Shania dengan marah. Kalimat pertama yang diucapkannya secara spontan semenjak dirinya ‘tercebur’ ke dalam danau. Dua Wanita cantik yang telah meringkusnya justru mendengkus kesal akan ‘keberanian’ yang diperlihatkan oleh Shania.
Shania merasa gemas jadinya. Di detik ini sedikit kesadaran menyapanya. Dipikirnya, barangkali mereka marah kepadanya karena dirinya telah memasuki wilayah mereka.
Heh! Tapi aku bukan memasuki area kalian, tahu! Aku ini diseret masuk kemari! Dan itu sama sekali bukan mauku! Nggak sepantasnya kalian begini kepadaku! Bicarakan baik-baik saja, bisa kan?Dipikir kalian, aku suka berada di sini, tempat aneh ini? Enggak! Sama sekali enggak! Bantah Shania tak terucap.
“Hei! Lepaskan aku! Kalian mau bawa aku kemana ini? Aku ini nggak bersalah! Jangan kasar kepadaku!” seruan Shania sudah bercampur keluhan karena dia juga kurang yakin akan dibebaskan begitu saja oleh dua Orang yang dinilainya berkelakuan bar-bar ini.
Usai mengatakan hal itu, Shania sedikit kagum dengan dirinya.
Wah! Kok aku bisa bicara di dalam air begini? Nggak pakai tersedak, pula! Hebat juga aku! Pikir Shania kemudian.
Tersadar bahwa dirinya dapat berbicara secara normal di dalam air tanpa resiko tersedak atau menelan air, Shania tak mau menyia-nyiakan keistimewaan ‘yang didapatnya’ itu. Ia memanfaat sebaik mungkin dengan terus berteriak-teriak meminta agar dirinya segera dilepaskan.
Dua Wanita yang meringkus Shania merasa terganggu teriakan Shania.
Tampaknya toleransi mereka terhadap Shania sudah tak ada lagi, Mereka berdua menjadi geram dan membentaknya serentak, “Diam!”
Shania tak terima dibentak macam itu.
“Aku nggak mau diam! Bilang aku mau dibawa kemana? Dan apa yang kalian kehendaki dari aku? Kalian mau aku melakukan apa? Bilang saja! Tidak perlu dengan tindak kekerasan macam ini!” tentang Shania dengan nekad.
Seolah enggan menyahuti Shania, dua Wanita di kanan kirinya memilih diam saja.
Sejatinya Shania kesal karena teriakannya setelah itu juga tak dihiraukan oleh mereka. Sampai ia merasa bosan dan lelah sendiri. Sedangkan untuk melepaskan diri dari cekalan mereka juga begitu sulitnya. Bila diukur-ukur, cekalan tangan mereka pada lengan kanan maupun kirinya begitu kuat, bisa jadi dapat mengalahkan kekuatan tangan Lelaki kekar yang terbiasa melatih ototnya di gym secara berkala dan rutin. Akibatnya, Shania kalah telak dan merasa sia-sia saja membuang tenaganya untuk berteriak serta berontak.
Lantas sekali lagi, tubuh Shania dicampakkan begitu saja, bagaikan barang rongsokan yang sudah tak diinginkan lagi bahkan oleh seorang Pemulung sekalipun.
Kali ini entah bagaimana cara dua Orang Wanita cantik tadi melemparnya, dirinya dapat ‘terjatuh’ dengan posisi kedua lututnya beradu dengan dasar danau dan wajah tertunduk menatap dasar danau. Posisi yang mirip dengan Seorang Hamba Sahaya yang tengah menghadap Sesuatu atau Seseorang yang amat agung. Kemudian dengan bahasa isyarat, kedua Wanita cantik yang menyeretnya tadi, memaksa Shania untuk menyembah Sesuatu, ataukah Seseorang yang ada di depan sana.
Alih-alih menuruti perintah tersebut, Shania justru terang-terangan menengadahkan wajahnya. Dengan nyalinya yang kembali muncul di waktu yang cukup singkat itu, ia nekad melakukannya lantaran benar-benar ingin tahu apa gerangan yang ada di depannya dan mengapa dirinya seperti dicegah untuk menatap langsung.
Tetapi saayangnya, gerakan yang ia lakukan langsung terhambat.
Kedua Wanita cantik yang tetap berjaga di samping kanan dan kirinya itu serentak menekan wajah dan tengkuk Shania agar tetap dalam posisi menunduk, tanpa adanya aba-aba yang datang kepada mereka. Sialnya lagi, mereka berdua terus melakukan aksi serupa tanpa mengatakan sepatah kata saja kepada Shania. Seolah suara mereka terlampau mahal untuk diperdengarkan kepada Shania.
Dan dasar keras kepala, Shania langsung melakukan perlawanan kembali. Ia tetap berusaha untuk mengangkat wajahnya. Akan tetapi setiap kali ia melakukannya, mereka berdua sigap memosisikan kepalanya agar terus menunduk. Bagaimana mungkin hal ini tidak membuatnya geregetan?
Sialan benar mereka berdua ini! Dipikirnya aku semudah itu menyerah! Nggak! Enak saja! Sudah memperlakukan aku dengan kasar dan semena-mena begini! Kurang ajar! Maki Shania dalam hati.
Bagai menemukan kembali kekuatan serta keberaniannya, Shania tak mau menyerah, dilawannya mereka, begitu terus.
Hingga akhirnya terdengar Suara tegas di depannya, “Sudah! Tinggalkan dia di situ!”
dada Shania berdesir mendengar suara yang berkarakter kuat itu. Suara yang membuatnya ingin tahu dimiliki oleh Siapa.
Maka bersama perginya dua Wanita berparas rupawan tadi, Shania dapat mendongak dengan bebas.
Kini ia dapat melihat secara terang apa yang ada di depan matanya. Di hadapannya, sejarak sekitar lima atau tujuh meter jauhnya, hadir Wanita yang mendatanginya di dalam mimpi. Shania nyaris tak percaya akan penglihatannya. Ia memerhatikan secara saksama. Semua nyaris sama.
Bedanya, Wanita di depannya ini terlihat jauh lebih cantik serta lebih langsing. Rambutnya tidak disanggul seperti yang ia lihat dalam mimpinya, melainkan dibiarkan digerai dan jatuh melewati pundak kanannya. Sebuah mahkota yang tampak berat bertengger di puncak kepalanya. Mahkota yang tampaknya dari diamond asli. Selagi otak Shania mengkalkulasi berapa kira-kira berat mahkota berbentuk indah itu, pandangan matanya terus menelusuri figur Wanita tersebut.
Hampir saja Shania berdecak kagum menatap leher jenjang Wanita itu.
Selanjutnya Shania memerhatikan pula cara duduk Wanita itu, yang tampak demikian anggun dan berwibawa, seolah tengah menunjukkan kekuatan yang ia miliki. Terakhir, yang mencuri perhatian Shania adalah pakaian yang dikenakan oleh Wanita itu. Pakaian yang sungguh indah gemerlapan bak pakaian yang biasa dikenakan oleh para Ratu di negeri dongeng. Sudah begitu, liontin yang dikenakan oleh si Wanita juga berkilau. Silau mata Shania jadinya.
Beberapa saat kemudian Wanita itu tersenyum samar, lantas ia memperlihatkan gelagat akan bangkit dari duduknya
Gerakan Wanita tersebut teramat ringan halus, serta nyaris sulit diikuti dengan pandangan mata Shania. Lantas begitu Wanita tersebut telah sepenuhnya berdiri dan mulai bergerak maju, tetap saja susah bagi Shania untuk mengamati langkahnya. Wanita itu bak tengah melangkah di atas kapas.
Pergerakan yang mencengangkan, bahkan hingga ia berjalan anggun ke arah Shania.
“Shania,” ucap Wanita itu dalam suara yang lembut tetapi mengandung ketegasan.
Tentu saja Shania bingung, bagaimana mungkin namanya dikenal, di tempat yang baru saja didatanginya ini? Dan bagaimana mungkin Wanita ini menyapanya dengan mantap, seolah telah mengenalnya demikian lama? Sedangkan dirinya sama sekali tidak mengenal Wanita di depannya. Ketemu muka juga baru satu kali ini.
Wanita itu tidak peduli dengan kebingungan Shania. Ia tetap tersenyum anggun, dan menatap lekat dengan tatapan yang sulit dimengerti oleh Shania.
“Ses.. – Si .. apa A.. An. da..?” terucap juga kalimat tanya ini dari celah bibir Shania, walau terdengar terbata-bata.
“Dan mengapa Anda tahu nama saya adalah Shania?” tambahnya kemudian. Pikirnya, sudah kepalang tanggung, suarakan saja apa yang hendak diketahuinya.
Wanita itu mengurai senyumnya.
Hati Shania berdebar-debar menanti jawabannya.
“Aku adalah Fatin. Dan aku sudah lama menunggumu untuk menyerahkan kekuasaan atas kerajaan ini kepadamu. Tugasku di tempat ini sudah selesai. Kamu, Shania, yang akan melanjutkannya. Ke depannya nanti adalah waktumu untuk memerintah di sini,” kata Wanita itu ketika menyerahkan sebuah gulungan kertas berwarna emas ke tangan Shania.
Shania terbengong menatap paras Wanita itu. Tidak disentuhnya sama sekali gulungan kertas berwarna emas yang diulurkan kepadanya.
Ia tak hendak membantah, hatinya benar-benar terguncang.
Mendengar nama ‘Fatin’ disebut dengan begitu jelasnya, dia seperti menangkap adanya tanda bahaya. Dia tahu, nama itu tidak asing. Dia ingat pula, Fabian pernah menyebut nama itu sebagai Ibu tirinya. Di atas semuanya itu, dia juga tahu kisah yang melatar belakangi kepergian Fatin dari rumah mewah milik Orang tua Fabian.
Pun begitu, sedikit keraguan menyapanya.
Hampir saja ia bergumam sendirian, “Tapi, bagaimana mungkin? Bukankah Bu Fatin itu pergi meninggalkan rumah begitu saja? Bagaimana mungkin tiba-tiba dia ada di sini? Ini sungguh janggal dan tidak masuk akal!”
Shania menggoyang-goyangkan kepalanya, mendapati ada lagi hal yang mengusik pikirannya kala mencermati Wanita anggun di depannya, yang baru saja berbicara dengannya.
Wanita ini, mengapa saat dia berbicara kepadaku, mulutnya sama sekali tidak bergerak sedikit saja? Tidak seperti aku? Juga berbeda dengan dua Orang yang meringkus diriku sebelumnya? Dia seperti berbicara kepadaku lewat hubungan batin. Dan anehnya, aku dapat menangkap jelas apa yang disampaikan olehnya. Lalu apa ini, dia menggandengku dan mencoba mendudukkanku di singgasananya yang indah. Nggak, nggak, aku nggak mau! Ini bukan tempatku! Aku mau pulang! Aku nggak mau di sini! Aku merasa Wanita ini berbahaya buatku! jerit Shania dalam hati.
Kepanikan yang luar biasa langsung merundung diri Shania.
Lebih dari itu, sekejap kemudian dia juga merasa dicekam oleh rasa takut yang amat besar. Shania merasa dirinya tengah tenggelam ke dalam sebuah lubang gelap dan sempit, tanpa diketahui Satu Orang pun, sehingga tak memungkinkan dirinya untuk sekadar berteriak minta tolong demi memberi tahukan kepada Orang di luar lubang nan dalam tempat ia terperosok, perihal keberadaannya. Ia dilanda putus asa. Tidak berdaya. Seakan-akan maut sudah menjelang dirinya, dan ada tepat di depan matanya.
*
* * Lucy Liestiyo * *