CERMIS 1 : KERAJAAN GAIB? (14)

1278 Words
Episode : Perbedaan Pendapat Antara Farah Serta Fina (1) Situasi di dalam kamar Fina tampak relatif hening. Tidak ada percakapan verbal antara dirinya dengan Sang Kakak, Farah.  Namun hening yang ada itu bukanlah berarti tenang. Bukan pula berarti perasaan mereka baik-baik saja. Baik Fina maupun Farah, sama-sama merasakan keadaan yang mencekam. Hati mereka sama-sama berdebar. Pikiran mereka sama-sama kacau. Resah dan gelisah menguasai benak dua Kakak beradik ini. Hanya saja, mereka memanifestasikan hal itu dengan sikap yang berbeda. Fina duduk terpekur di atas peraduannya, sibuk memikirkan segala rencana untuk menghindarkan diri mereka berdua, atau jika itu tidak mungkin, maka akan diutamakannya keselamatan dirinya dahulu. Sementara Farah, meluapkan gundah gulana dan rasa takut di hatinya dengan cara berjalan kian kemari di depan Fina. Awalnya Fina masih bersabar melihat tindakan Sang Kakak, namun kemudian tiba saatnya dia merasa Kakaknya ini sungguh keterlaluan dan mengganggu konsentrasinya. Gadis Remaja itu menggeleng-gelengkan kepalanya sembari berdecak gemas. Kepalanya seolah berdenyut tanpa henti sedari tadi. “Bisa diam nggak sih, Kak Farah? Aku pusing tahu nggak, harus melihat Kak Farah berjalan mondar-mandir seperti setrikaan rusak sedari tadi sambil meremas-remas tangan begitu. Aku kasih tahu, Kak1 itu nggak ada manfaatnya sama sekali, sungguh! Mendingan duduk saja Kak! Aku jadi nggak bisa mikir nih!” tegur Fina setengah memohon, setengahnya lagi memarahi Sang Kakak. Ia sadar, ia sudah tak sanggup berpikir lagi. Ia merasa hatinya berdebar kian kencang dari waktu ke waktu. Ia bahkan curiga, sebentar lagi jantungnya bisa melompat keluar kalau keadaan terus diperburuk ulah mondar-mandirnya Farah yang mempengaruhi tingkat stress-nya. Selaksa kemungkinan buruk menghantui Putri Bungsu Pak Handara itu. Dan sudah jelas, ulah Farah yang bukannya duduk diam itu membuatnya makin terbeban saja. Beruntung, teguran Fina barusan tampaknya membuahkan hasil. Farah sedikit tahu diri. Ia menghentikan ulahnya mandir-mandir tidak jelas. Namun tetap saja, tangannya yang saling meremas itu tak seketika berhenti. “Aku.., aku takut, Fina. Aku.., takut sekali!” keluh Farah pelan setelahnya. Nada putus asa tersirat jelas dalam kalimatnya. Sorot mata Farah mengharapkan dukungan Sang Adik, melalui wajahnya yang ia setel demikian memelas. Mendengarnya, Fina malahan menjadi gusar. Gadis yang belum lama memasuki usia remaja itu menyilangkan tangannya ke d**a, mengambil sikap tubuh bersedekap. Bentuk sikap defensif yang diperlihatkannya secara terang-terangan kepada Sang Kakak Perempuan. “Kak Farah pikir aku tidak takut, ya? Aku juga takut, tahu?” bentak Fina yang masih saja tak habis pikir dengan kecerobohan sang Kakak Perempuan ini. Hati Gadis itu masih dilanda rasa dongkol. Farah menatap Fina dengan pandangan kecewa, apalagi saat mendapati sikap defensif Fina. Tak dapat ditahannya rasa jengkelnya karena tak mendapatkan kesan Adiknya sedikit saja berempati kepada apa yang menimpanya, atau apa yang akan dihadapi mereka sebentar lagi. “Ya ampun! Kamu ini keterlaluan sekali, Fina. Kamu seperti tidak peduli sama Kakak kandungmu sendiri,” keluh Farah. Fina meradang mendengarnya. “Nggak peduli bagaimana?” sahut Gadis itu. Farah memejamkan matanya lantas menggeleng-gelengkan kepalanya. “Hhhh..! Masa masih perlu aku sebutkan secara gamblang? Apa kamu tidak tahu betapa aku tengah dalam kesulitan yang besar sekarang ini? Oh! Aku merasa seperti Seorang Yatim piatu saja, dan sebatang kara, pula sekarang ini! Ibu...! Ibu...! Aku mau ikut Ibu saja!” mendadak Farah tampak meratapi nasibnya yang dirasanya malang. Dia merasa menemui jalan buntu, tiada jalan keluar. Hanya saja, dia juga menolak keras kemungkinan buruk yang bakal menimpa dirinya. Lantaran sebal, Fina ikut menggeleng-gelengkan kepalanya. Ia menatap gemas pada Farah. “Tolong Kak Farah, nggak perlu pakai drama dan menempatkan diri seolah Kakak adalah seorang Korban.” Tegas suara Fina. Farah terkesiap mendengarnya. Namun rupanya ucapan Sang Adik belum tuntas. “Faktanya, Kak Farah itu tak lain Si Pembuat gara-gara, tahu nggak? Kalau ada yang boleh bersikap merengek dan berlagak sebagai Korban saat ini, harusnya aku! Aku, yang nggak tahu apa-apa dan bakal terseret masalah!” keluh Fina dengan nada menyalahkan. “Fina..., kamu!” Mata Farah mendelik saking kaget dengan ucapan pedas Sang Adik. Dia tidak terima diperlakukan sekurang ajar ini. Di matanya, tetap saja Fina adalah Adiknya, Orang yang lebih muda darinya, dan sudah sepatutnya mendengarkan serta menuruti perkataannya. “Nggak usah pakai melotot begitu, Kak!” balas Fina tak mau kalah. “Fina...! Kamu jangan keterlaluan, kataku!” tegur Farah tak senang. Fina melengos menanggapi Kakaknya. “Aku keterlaluan? Kak Farah yang keterlaluan! Sudah berbuat salah, masih saja begitu. Sadar diri Kak! Ada yang lebih penting untuk kita pikirkan sekarang. Ibarat menunggu hukuman, sekarang ini kita sudah mendekati hitung mundur. Dan aku.., aku..,” Fina menggantung ucapannya, tampak didera keraguan. Si Anak bungsu dari Pak Handara itu membuang muka lalu mengabaikan Farah. Ia berjalan dan mengempaskan tubuhnya di atas kasur. Dibenamkannya wajahnya ke sarung bantal. Farah tercengang. Ia menghentikan ratapannya. “Apa yang kamu lakukan, Fina? Katamu tadi, mau membantu berpikir supaya hukuman dari Bapak bisa lebih ringan,” pinta Farah. Fina enggan menyahuti Sang Kakak, walau hatinya sungguh-sungguh ingin menyahut, “Masih tanya, Kak? Pikirmu masih perlu bertanya seperti itu kepadaku? Aku menyesali kebodohanmu! Aku nggak bisa bayangkan bagaimana kehidupan kita di luar rumah ini. Pasti berat. Aku sudah nyaman tinggal di sini. Oh, enggak. Biar Kak Farah saja yang mengalami hidup susah di luar rumah ini. Aku kan sama sekali tidak bersalah dalam hal ini dan tidak tahu. Akan kusangkal semua fakta bahwa aku memergokimu berbicara dengan Kak Shania. Kenapa jadi aku yang disuruh mikir!” Farah mundur beberapa langkah dan menyandarkan punggungnya ke dinding. “Fina, Fina! Kamu itu sungguh terlalu! Hanya beberapa hari kak Fabian dan Kak Shania di sini, sudah dapat merubahmu jadi begini. Padahal sehari-hari kita berdua begitu kompak. Fin, ingat! Kita ini Saudara sekandung.., jangan pernah kamu bantah fakta itu! Kita berdua satu Ayah dan satu Ibu. Semestinya hubungan kita sedekat dan sekuat itu. Sedangkan ke Kak Fabian, kamu itu hanya satu Ayah. Ya apalagi ke Kak Shania. Kenal dan ketemu muka juga baru beberapa hari terakhir ini. Dia kan hanya Saudara Ipar. Kamu sungguh konyol..,” desah Farah dengan pikiran penat. Fina memejam mata mendengarnya. Tapi aku tahu hatimu Kak! Benar kita bersama setiap harinya. Tapi Kak Farah selalu cemburu kalau Bu Endah mengajakku ke kota dan memborong banyak barang. Bu Endah membelanjakan macam-macam untuk kita berdua. Padahal kan Bu Endah mengajakmu juga. Kak Farah saja yang aneh. Kak Farah itu sangat susah untuk dimengerti. Kadang seperti Orang yang ingin menjadi satu-satunya yang diperhatikan di rumah ini, kadang seperti nggak mau didekati sama Bu Endah dan sengaja ingin membuat Bu Endah marah dan tersinggung, batin Fina. Rasanya hati Fina ingin menjerit sekeras mungkin. Diurungkannya niatnya untuk mengerling sejenak ke arah Sang Kakak dan mencari tahu apa yang sedang dilakukan oleh Kakaknya itu. Kenapa sih sikapmu seperti itu Kak? Beliau memperlakukan kita sewajarnya. Memangnya aku nggak tahu, aku sering memergoki cara Kak Farah menatap Bu Endah kok, kalau Bu Endah sedang bercengkrama sama Bapak. Kak Farah seperti nggak suka. Kenapa coba? Namanya juga pasangan Suami Istri ya wajar kalau bercengkrama. Mau bermesraan juga urusan mereka. Bu Endah memang bukan Ibu kandung kita, tapi kan yang penting Bu Endah tidak pernah abai sama kita. Ya bagaimana bisa abai sama Orang yang tinggal satu rumah? Bahkan sama Warga desa yang tidak ada hubungan keluarga saja Bu Endah begitu peduli! Pikir Fina, sambil mengingat potongan peristiwa yang dialaminya sendiri olehnya. Fina ingat jelas, pada waktu dirinya sedang berjalan-jalan dengan Bu Endah, Warga desa memuji dan mengatakan tentang kemiripan mereka berdua. Sampai kadang terselip keinginan di benaknya, untuk menjadi Anak kandung dari Bu Endah saja, dan mendapatkan kesempatan terlahir dari rahim Wanita itu, menjadi Adik kandung dari Fabian. Menjadi Saudara yang Satu Ayah dan Satu Ibu dengan Kakak Laki-lakinya itu, dan bukannya dengan Seorang Farah yang sering dirasakannya tidak tulus dan menyimpan rahasia sendiri. *                                                                                              $ $   Lucy Liestiyo   $ $
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD